Terhitung 100 tahun (hijriyah) sudah, kaum muslimin kehilangan perisai, pelindung serta pemersatu umat, Daulah Khilafah Islamiyah. Sejak saat itu pula kekuatan kolonial barat kian merajalela dan menjadikan tanah negeri-negeri muslim bagaikan papan catur yang begitu mudah diadu domba serta disulutkan api konflik. Celakanya, tak jarang para agen regional ikut bermain dalam upaya mereka menancapkan kepentingan tuan-tuan mereka dengan imbalan keuntungan politik dan finansial, sekalipun hal tersebut pada akhirnya harus merenggut jutaan nyawa manusia.
Yaman adalah satu dari sekian banyak korban perang proxy Anglo-Amerika, yang justru “diperjuangkan” oleh agen lokal dan regional AS dan Inggris. Dimana sejak Khilafah hancur berkeping-keping pada keruntuhannya 100 tahun lalu, peradaban Yaman pun turut luluh lantak. Bahkan berbagai perang sipil pun silih berganti menyelimuti kehidupan rakyat Yaman.
Setelah keruntuhan Ottoman berdirilah negara Yaman Utara, yang dimana kehidupan rakyatnya tidak pernah lepas dari bayangan perang sipil berkepanjangan. Sedangkan wilayah Yaman Selatan menjadi bagian dari koloni Inggris sebagai bagian dari India Britania, yang kehidupannya banyak mendapat tekanan melalui kebijakan-kebijakan otoriter pihak Inggris. Kondisi sekarat yang dialami Yaman Selatan pun kemudian memicu upaya pemberontakan guna melepaskan pengaruh Inggris atas wilayah tersebut. Pada akhirnya sejak 30 November 1967, Yaman Selatan berdiri.
Setelah bertahun-tahun berselang, nyatanya kehidupan umat di wilayah utara dan selatan Yaman tak kunjung membaik. Perang saudara di kedua wilayah turut silih berganti terjadi dan tak kunjung mereda. Sedangkan hubungan antara kedua wilayah pun berfluktuasi antara berdamai dan bermusuhan. Hingga akhirnya pada tahun 1972, kedua negara terlibat perang yang sesungguhnya perang tersebut ditunggangi oleh dua blok yang saling berseberangan, blok barat dan blok timur. Kondisi perang di Yaman terus terjadi hingga kemudian kedua negara bersepakat untuk mewujudkan penyatuan kedua negara pada tahun 1990.
Sekalipun kedua negara pada akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai dan bahkan bersatu dalam satu negara, nyatanya kondisi tersebut tidak serta-merta menggiring rakyat Yaman pada kesejahteraan. Peta pemegang kekuasaan Yaman diwarnai dengan agenda suku, regional dan agama yang kian meruncing di antara para elit politiknya. Perselisihan politik yang terus-menerus terjadi menjadikan pemerintah Yaman menjadi penguasa yang tidak becus, korup dan hanya mementingkan urusan kelompok atau golongan. Hal ini kemudian memicu banyak tragedi berdarah seperti kerusuhan pangan secara masif di kota-kota besar pada tahun 1992 dan perang saudara di tahun 1994.
Dan kini UNICEF telah menobatkan Yaman sebagai negara dengan krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Dimana konflik kepentingan antara koalisi Arab Saudi yang didukung negara adidaya Amerika dan gerakan militan Houthi yang didukung Iran, telah benar-benar menghancurkan infrastruktur dan kehidupan rakyat Yaman. Sentimen Sunni dan Syiah pun terus-menerus didengungkan oleh pihak barat, guna semakin meruncingkan permusuhan antara Iran dan negara-negara Sunni di wilayah Arab lainnya.
PBB telah memverifikasi kematian setidaknya 7.700 warga sipil pada Maret 2020, yang sebagian besar disebabkan oleh serangan udara koalisi pimpinan Saudi. Bahkan data yang dihimpun oleh ACLED (Armed Conflict Location and Event Data Project) menyebutkan bahwa perang saudara di Yaman yang berlangsung sejak 2015 tersebut telah membunuh setidaknya 100.000 jiwa, dengan 12.000 diantaranya adalah warga negara sipil (bbc.com, 19/06/2020). Ribuan warga sipil lainnya tewas karena malnutrisi, kemiskinan dan kelaparan.
Lebih dari itu, diperkirakan setidaknya 85.000 anak-anak Yaman telah meninggal antara April 2015 dan Oktober 2018 karena gizi buruk. Sementara itu, hampir 2,3 juta anak di bawah usia lima tahun di Yaman diproyeksikan menderita malnutrisi akut pada 2021, menurut analisis pada Februari lalu. Dari jumlah tersebut, 400.000 diperkirakan menderita malnutrisi akut yang parah dan dapat meninggal jika tidak menerima perawatan segera.
Dengan hanya setengah dari fasilitas kesehatan Yaman yang bisa beroperasi dengan layak, hampir 20 juta jiwa rakyat Yaman tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan yang memadai. Sedangkan 18 juta jiwa masyarakat Yaman tidak mendapat akses air bersih dalam kehidupan keseharian mereka. Yang lebih mengenaskan, 80% populasi Yaman menggantungkan kehidupan mereka pada bantuan kemanusiaan, dengan jutaan manusia hidup di ambang kelaparan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadikan Yaman sebagai tempat penjagalan umat manusia akibat perang, penyakit, kelaparan dan kemiskinan.
Padahal kondisi mengenaskan tersebut berbanding terbalik dengan masa kegemilangan Yaman terdahulu. Di bawah naungan Khilafah, Yaman dikenal sebagai 'Yaman yang bahagia' dan merupakan tanah keamanan dan kemakmuran. Bahkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Muadz bin Jabal yang saat itu diutus oleh Khalifah Umar ke Yaman untuk mengelola zakat disana, tidak dapat menemukan pihak yang berhak menerima zakat. Kala itu rakyat Yaman dilingkupi kesejahteraan dan telah terpenuhi setiap kebutuhan dasar hidupnya.
Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, kehidupan rakyat Yaman tidak pernah merasa kekurangan. Bahkan suku-suku Yaman memainkan peran penting dalam ekspansi Islam di Mesir, Irak, Persia, Levant, Anatolia, Afrika Utara, Sisilia, dan Andalusia. Suku-suku Yaman yang menetap di Suriah, kemudian memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemantapan kekuasaan Khilafah Umayyah, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Marwan I.
Selain itu di bawah kepemimpinan Islam, muslim Sunni dan Syiah yang tinggal di wilayah Yaman, Irak, dan negeri-negeri muslim lainnya senantiasa hidup berdampingan selama berabad-abad lamanya. Mereka bahkan berdoa di masjid yang sama, membai’at Khalifah yang sama, hidup diatur dengan aturan Islam yang sama, hingga berjuang bersama dalam jihad fii sabilillah melawan musuh negara Khilafah dan umat.
Demikianlah kesengsaraan rakyat Yaman tatkala negeri mereka tidak lagi mendapat perlindungan dari perisai umat, Daulah Khilafah Islamiyah. Hal yang serupa sejatinya dirasakan pula oleh negeri-negeri Islam lainnya seperti Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, Somalia, Lebanon hingga Suriah. Dimana tanpa adanya Khilafah, negeri-negeri muslim tengah dicabik-cabik oleh para penjajah barat beserta agen-agen lokal mereka melalui perang saudara, konflik politik hingga pembodohan dan kemiskinan struktural. Tidak hanya itu, para musuh Allah dengan mudahnya memisahkan umat dari penerapan hukum-hukum Allah melalui narasi kebebasan, demokrasi dan HAM. Hingga pada akhirnya para pemimpin kaum muslimin saat ini secara sukarela mencampakkan sistem Islam dan menggantinya dengan sistem kufur kapitalis-liberal.
Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya kaum muslimin saat ini hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, kelaparan, perpecahan hingga terjebak dalam perang saudara. Padahal Allah Swt telah memberikan peringatan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [QS. Ar-Rum:41].
Dan sungguh pangkal keterpurukan umat tidak lain adalah penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), kapitalisme, liberalisme dan sistem demokrasi. Dimana penerapan sistem thagut tersebut dalam kehidupan umat akan semakin menjauhkan kaum muslimin dari pertolongan Allah, dan bahkan menghantarkan umat pada kehancuran, kebinasaan dan azab Sang Pencipta.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)
0 Komentar