Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengganti normalisasi menjadi naturalisasi. Kebijakan tersebut terlihat dalam draft revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022. Cara ini dianggap sebagai upaya untuk menanggulangi banjir di Ibu Kota (Suara.Com, 10/2/2021).
Sayangnya, baik normalisasi yang sudah berjalan sejak tahun 1997 di era Gubernur Sutiyoso. Maupun, naturalisasi yang dimulai tahun 2017 masa Anies Baswedan belum juga menampakkan hasil. Yakni Jakarta bebas banjir. Padahal, jumlah anggaran yang sudah dikeluarkan sangat besar.
Data anggaran dan banjir yang terjadi mulai era Sutiyoso hingga Anies Baswedan, menurut Dokumen Laporan Pansus Banjir DPRD DKI Jakarta Tahun 2020, Sutiyoso dengan nggaran penanganan banjir senilai Rp294,7 miliar, Fauzi Bowo sebesar Rp1,2 triliun, Joko Widodo mengeluarkan anaggaran Rp 1,3 triliun, Basuki Tjahaja Purnama dengan anggaran Rp 2,7 triliun sedangkan Anies Baswedan Rp 1,2 triliun.
Berdasarkan data di atas, sangat disayangkan, penanganan banjir selama ini belum optimal. Padahal, besaran anggaran yang digelontorkan sangat fantastis. Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, hingga saat ini masyarakat DKI Jakarta masih menderita karena banjir. Kalau bukan karena luapan sungai, banjir datang disebabkan rob dari air laut. Kondisi tersebut ditengarai Pemprov tidak memiliki konsep yang tepat dalam menentukan kebijakan program penanganan banjir.
Pertama, proyek betonisasi pada program normalisasi sungai. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Proyek tersebut telah menghabiskan dana sekitar Rp800 miliar. Namun, betonisasi yang dilakukan mulai kawasan TB Simatupang hingga Manggarai justru merusak ekosistem dan bukan solusi banjir. Normalisasi sungai dengan betonisasi akan membuat debit air semakin deras dan sungai akan semakin cepat mengalami pendangkalan (walhi.or.id, 5/6/2020).
Kedua, naturalisasi sungai yang digadang-gadang lebih unggul nyatanya bukan jalan keluar dari banjir. Warga yang tinggal di bantaran sungai direlokasi ke rumah susun (rusun). Padahal, berdirinya gedung-gedung seperti rusun dan pusat bisnis di wilayah Jakarta menyebabkan air tanah tersedot cukup banyak. Tentunya, kondisi ini membuat permukaan tanah semakin menurun di bawah permukaan laut. Ini seperti buah simalakama bagi pemerintah apalagi rakyat.
Permukaan tanah yang menurun dari tahun ke tahun membuat warga Jakarta berpacu meninggikan lantai rumah mereka. Mereka harus merenovasi rumah mereka ketika jalan ditinggikan. Meninggikan fondasi rumah bertujuan untuk mencegah banjir masuk ke rumah mereka. Di sisi lain, setiap tahun harga bahan bangunan semakin mahal (Kompas.com, 18/3/2016).
Ketiga, kesalahan menentukan kebijakan tata ruang. Peneliti senior dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jan Sopaheluwakan, mengatakan bahwa kondisi alam DKI Jakarta idealnya memiliki dua area, yakni ruang hijau untuk resapan air di daerah selatan dan ruang biru untuk menampung air di kawasan utara Jakarta. Namun, kondisi itu kini telah rusak akibat banyaknya bangunan di hampir seluruh wilayah Ibu Kota (Kompas.com, 21/1/2014).
Menurut rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta tahun 1965-1985, Kemang harusnya difungsikan sebagai daerah resapan air. Artinya, bangunan tidak boleh terlalu banyak menutupi permukaan tanah. Namun, sejak 1999 silam, Kemang diizinkan menjadi wilayah komersial. Maka, menjamurlah permukiman elit dan pusat bisnisbisnis (voi.id, 3/1/2020).
Selain itu, sekitar 3.182 hektar daerah tangkapan air di Kelapa Gading, Jakarta Utara, kawasan hutan lindung seluas 2.053 hektar di Pantai Kapuk, Jakarta Utara dan Hutan kota seluas 172 hektar di Tomang, Jakarta Barat berubah fungsi menjadi wilayah komersil, permukiman elit, mall dan apartemen. Pelanggaran rencana tata ruang itu terjadi antara tahun 1985 sampai 2006 (Kompas.com, 20/1/2020).
Koreksi mendasar dan evaluasi menyeluruh juga harus dilakukan pemerintah pada proyek reklamasi di hilir. Menurut Walhi, proyek reklamasi memiliki dampak lingkungan yang buruk. Selain menyebabkan sedimentasi dan kerusakan vegetasi pantai juga sangat mempengaruhi kehidupan dan kondisi ekonomi warga sekitar (CNNIndonesia.com, 22/2/2021).
Keempat, banjir menyisakan duka, melululantah-kan rumah, ada yang kehilangan anggota keluarga, harta benda, serta kerugian terhentinya aktivitas warga Jakarta akibat banjir. Malah pada banjir 2002 Pemda DKI Jakarta dinilai lamban mengantisipasi banjir dan menangani pengungsi. Banyak warga Jakarta yang terpaksa harus tidur di emperan jalan (hukumonline.com, 4/2/2002).
Menurut Bhima Yudhistira, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada tahun baru 2020 menyebabkan kerugian sementara yang diestimasikan melebihi Rp10 triliun. Termasuk ada harta benda, selain dari rumah yang harus direnovasi mulai yang rusak ringan hingga rusak berat, ada juga kendaraan yang terendam air. Kemudian, belanja masyarakat juga berpengaruh. Belum lagi, kerugian juga terjadi di sektor aktivitas ekonomi spesifik (BBC.Com, 5/1/2020).
Jika kita melihat fakta di atas, besarnya anggaran yang dialokasikan untuk penanganan banjir seolah sia-sia. Solusi parsial mengesankan pemerintah setengah hati. Mengapa? Karena pemerintah juga mengeluarkan aturan yang kontraproduktif dengan program untuk mengatasi banjir. Sebagian besar lahan daerah resapan dialih fungsikan menjadi perumahan. Tanah semakin banyak yang tertutup aspal.
Area mangrove yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari hantaman air laut dijadikan pusat bisnis. Di lain pihak, masyarakat marginal yang tinggal di pinggiran sungai dianggap penyebab utama tersendatnya program banjir. Padahal, pemerintah juga memberi izin pembangunan permukiman di pinggir pantai.
Hal tersebut menunjukkan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan keuntungan materi semata, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Beralihnya fungsi lahan serapan menjadi pusat bisnis dan permukiman elit menegaskan kebijakan penanganan banjir berbasis demokrasi kapitalistik mengabaikan kepentingan rakyat.
Memang, banjir yang terjadi saat ini bukan hanya pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta. Sehingga, harus ada sinergi penanggulangan di hulu dan di hilir. Namun, hal ini tidak mungkin terwujud jika masih terjadi polarisasi pandangan solusi terbaik penanganan banjir. Apalagi, hingga saat ini sistem pemerintahan yang dianut memiliki paradigma sekuler kapitalistik warisan zaman penjajahan Belanda.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem ini diganti dengan sistem alternatif yakni sistem Islam. Aturan Islam tidak hanya melindungi manusia, tetapi juga alam semesta, wallahualam.
Oleh Anggun Permatasari .
0 Komentar