Usianya renta dan semakin menua. Tubuhnya lemah karena sakit telah menggerogotinya dalam waktu yang lama. Hingga dengan berat hati ia harus menunda keinginan terbesarnya, membersamai Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah.
Memang, ia salah satu sahabat yang mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tetap tinggal di Mekkah. Namanya Dhamrah bin Jundab. Para ulama berbeda pendapat terkait nama aslinya. Beberapa riwayat ada yang mengatakan namanya Dhamrah bin al-‘Aish, Jundub bin Dhamrah al-Junda’i, dan Junda bin Dhamrah al-Junda’i.(1).
Sekalipun mendapat udzur untuk tetap tinggal di Mekkah karena kondisinya, tetap saja tidak membuat dirinya tenang. Jauh dalam relung hatinya, Dhamrah sungguh merindukan berada di dekat Rasulullah ﷺ. Ia kerap bersedih karena hal ini.
Dikala para sahabat lain ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah mengikuti Rasulullah saw. Sedangkan Dhamrah justru berjauhan dengan Rasulullah ﷺ.
Padahal ia menjadi salah satu dari sekian banyak sahabat yang menyambut risalah Islam sejak awal Rasulullah ﷺ menda’wahkannya. Banyaknya penduduk Mekkah yang masuk Islam dan memilih berjuang bersama Rasulullah ﷺ membuat kafir Quraisy naik pitam.
Hingga mereka terus membuat tekanan dan intimidasi terhadap kaum Muslimin. Makin hari makin menjadi-jadi, hingga turunlah perintah untuk hijrah.
Dhamrah memang kian melemah dimakan usia. Namun semangatnya untuk memperjuangkan Islam bersama-sama kaum Muslimin tak pernah padam. Hidup didalam masyarakat Mekkah yang masih musyrik, yang pemikiran, perasaan, dan aturannya jauh dari Islam membuat hatinya terus dipenuhi kegundahan.
Kegundahan itu terus memuncak hingga ia memutuskan menyusul Rasulullah ﷺ untuk hijrah. Meski orang-orang disekitarnya,baik anak maupun kerabatnya berusaha menahan Dhamrah. Akan tetapi Dhamrah tetap teguh,semata-mata karena dorongan keimanan telah merasuk dan mengental dalam jiwanya.
Dalam keadaan payah karena sakitnya yang bertambah, ia berkata kepada anaknya, “Bawalah aku keluar dari Mekkah. Aku bisa mati dibalut kekalutan di tempat ini, ” Anaknya berujar, “Ke mana kami bisa membawamu?”. Lantas Dhamrah memberi isyarat dengan tangannya ke arah Madinah. Yang ia maksud ialah berhijrah menyusul Rasulullah ﷺ saw. (2).
” Demi Allah, aku cukup berada dan mampu(untuk sampai ke Madinah). Aku tidaklah termasuk yang diberikan keringanan itu, karena aku bisa membiayai perjalananku dengan hartaku(3).
” Lantas Dhamrah meminta kepada keluarganya, “Gotonglah aku dan hijrahkanlah aku dari tanah musyrikin ini ke tempat Rasulullah ﷺ.
” (4).
Maka ia ditandu melewati perjalanan berat. Tidak lagi ia rasakan jauhnya jarak tempuh Mekkah ke Madinah yang mencapai 460 KM. Karena pelupuk matanya penuh air mata kerinduan terhadap Rasulullah ﷺ. Namun, belum sampai setengah perjalanan dan baru saja masuk di kampung Tan’im, Dhamrah tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan.
Dengan tangan yang bergetar, ia menjabatkan tangan kanannya ke tangan kirinya dan sebaliknya. Sambil menggegam erat tangannya, dengan rintihan di sisa nafasnya beliau berkata, “Ya Allah, ini bai’atku untukMu. Dan ini bai’atku untuk NabiMu. “
Kemudian Dhamrah pun wafat dan dimakamkan disana.
Sementara di Madinah, dalam keadaan sedang bermajelis bersama para sahabat, Rasulullah ﷺ
dikabari malaikat Jibril perihal Dhamrah. Rasul pun memberitahu kabar wafatnya Dhamrah kepada para sahabat di sekelilingnya.
Rupanya diantara mereka ada yang menyesalkan keadaan Dhamrah. Karena ia belum sampai berhijrah dengan sempurna hingga menemui Nabi saw di Madinah, “Seandainya dia sampai ke Madinah, tentu pahala hijrahnya akan lebih sempurna. “
Lantas turunlah wahyu;
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ
” ...Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah....”
(QS: an-Nisa ayat 100).
Ayat ini menjadi bantahan dari Allah yang maknanya, meskipun hijrahnya belum sempurna, kemudian kematian mendahului, tapi ia memperoleh pahala sebagai muhajirin yang sempurna.
===
Sejarah Islam telah menorehkan kisah-kisah para sahabat yang bertabur perjuangan dan tiada bandingannya. Dhamrah salah satu sahabat pilihan yang lahir dari saripati zaman. Hasil sentuhan da’wah Rasulullah ﷺ.
Dhamrah pun telah memulai langkah hijrahnya meskipun berat dan mengorbankan seluruh yang tersisa pada dirinya. Walau fisiknya tak bisa sampai ke Madinah dan bertemu dengan Rasulullah ﷺ yang ia rindukan, namun pahalanya telah tetap, sempurna disisi Allah. “faqod waqo’a ajruhu ‘alallah… ” Dan Allah sendiri yang langsung menegaskan itu.
Rajab demi Rajab berlalu. Tahun ini, 100 tahun Hijriah sudah kita hidup tanpa pelindung dan pemersatu umat,yakni negara Khilafah Islam. Tepatnya sejak 28 Rajab 1342 H hingga 1442 H. Namun merujuk pada sabda Nabi ﷺ, Khilafah ala Minhaj nubuwwah akan segera tegak kembali, tak pandang apakah ada kita didalamnya atau tidak. Bisa jadi Allah izinkan kita berbai’at kepada Khalifah, bisa jadi tidak. Bisa jadi perjuangan ini belum sampai selesai,bisa jadi tidak. Bisa karena usia yang tak sampai, bisa juga karena istiqomah yang menguap dalam dada.
Yang pasti, kita tidak akan ditanya oleh Allah akan hasil perjuangan kita, tapi seberapa usaha maksimal yang kita korbankan. Disitulah letak besaran pahala yang kelak akan kita terima. Hasil akhir kita kembalikan kepada Allah, namun sebabnya haruslah diupayakan.
Jika saat ini kita merasa belum maksimal berbuat untuk da’wah dan perjuangan Islam, maka mulai sekaranglah saatnya kita menakar kemampuan diri, apa saja yang kita punya dan apa saja yang bisa dipersembahkan dalam perjuangan di jalan da’wah.
Waktu kian terbatas. Ibarat jam pasir, pada akhirnya butir pasirnya akan habis juga turun ke bawah. Tidak ada yang bisa memastikan rentang waktu yang tersisa hingga menemui ajal, yaitu momentum yang dinanti seorang mukmin untuk bertemu Rabb yang dicintainya.
Referensi :
(1). Riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair
(2). Riwayat Ibnu Sa’d di dalam Kitab ath-Thabaqat yang bersumber dari Yazid bin ‘Abdillah bin Qisth
(3). Riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair
(4). Riwayat Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Nurina P.Sari
0 Komentar