Entah sampai kapan pandemi covid-19 akan berakhir, hampir setahun sudah wabah ini menghampiri. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanganinya, dan tentunya hal tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit. Dilansir dari laman CNNnews.com, hal ini diungkap oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp800 triliun pada tahun 2020. Dana yang berasal dari APBN, APBD, dan dana desa.
Rupanya dengan anggaran yang ada itu dinilai belum cukup mengcover semua pembiayaan mengatasi pandemi. Sehingga ada rencana tambahan alokasi anggaran yang digagas oleh Kemenkes untuk menanggulangi pandemi covid-19 pada tahun ini sebesar Rp 134,46 triliun. Tentunya hal tersebut disoroti oleh beberapa anggota Komisi IX DPR, salah satunya oleh Fadholi dari Fraksi Nasdem. Ia meminta agar pemerintah menjelaskan apakah akan ada penurunan grafik kasus covid-19 dengan adanya anggaran yang tinggi.
“Anggaran ini kan tinggi pak.Tetapi juga perlu disimulasi, dengan penggunaan anggaran ini, covid nanti akan ada satu penurunan yang riil grafiknya.” Kata Fadholi dalam rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Selasa (9/2/2021). Penambahan anggaran yang dibuat oleh Kemenkes tersebut sebesar Rp 134,46 triliun, jika ditambahkan dengan anggaran yang telah ditetapkan tahun sebelumnya, maka totalnya hampir mencapai Rp 1000 triliun (Kompas.com, 9/2/2021).
Hal senada juga dinyatakan oleh anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani menilai bahwa paparan anggaran Kementerian Kesehatan tidak ada yang baru. Netty berharap Kementerian Kesehatan dalam memaparkan peta jalan anggaran 2021 secara komprehensif untuk reformasi dunia kesehatan (Antaranews.com, 1/2/2021).
Begitu besarnya anggaran yang diberikan untuk penanganan pandemi covid-19 tentu akan menjadi pertanyaan besar, kemana sajakah larinya dana tersebut? Melihat fakta yang ada bahwa masih banyak insentif nakes yang belum cair. Masih banyak test PCR yang dilakukan mandiri oleh rakyat, yang artinya fasilitas test gratis tidak diberikan di seluruh fasilitas kesehatan yang ada. Semestinya tidak dibedakan antara fasilitas kesehatan dari pemerintah ataupun swasta, semuanya harus dicover pemerintah jika terkait dengan pandemi ini. Sehingga dapat memaksimalkan pelayanan yang ada.
Selain usulan tambahan anggaran tadi, sebelumnya Kemenkes juga mengajukan anggaran pengadaan impor vaksin Sinovac sebesar Rp 20,9 triliun. Pengajuan tersebut disampaikan Menkes dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi IX DPR RI di Kompleks DPR, Kamis (14/1). Tentu saja hal ini mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, “Seperti kita tahu, anggaran untuk menanggulangi covid-19 ini besar sekali, karena itu KPK harus benar-benar mengawasi, jangan sampai nanti menjadi masalah di kemudian hari,”
Sahroni menilai anggaran yang besar tentu menjadi sasaran “empuk” bagi koruptor sehingga tidak saja harus diawasi, namun KPK juga harus meningkatkan pengawasannya. “Ikuti terus seluruh prosesnya, dipastikan semuanya ‘clear’ dan wajar, serta yang pasti, pengawasan yang tidak main-main karena ini soal hidup mati rakyat.” Ujarnya (Antaranews.com, 5/2/2021).
Sama halnya yang diungkapkan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan terhadap anggaran penanganan covid-19.
Wana menyebut, besaran dana penanganan virus corona rawan untuk dikorupsi. “Munculnya korupsi (dana) bantuan sosial (bansos) merupakan fenomena gunung es dari buruknya tata kelola keuangan negara. Besarnya anggaran covid-19 menjadi potensi adanya dugaan korupsi,” katanya saat dihubungi Kompas.com, Jum’at (5/2/2021).
Berdasarkan data riset milik ICW per 11 Desember 2020, pemerintah baru memberikan insentif kepada 485.557 orang tenaga kesehatan (Nakes) dengan total anggaran sebanyak Rp 45,2 miliar. Sedangkan santunan kematian baru diberikan pada 156 keluarga dari 647 keluarga nakes yang meninggal atau baru terserap sebesar 20 persen dengan jumlah anggaran Rp 46,2 miliar (Kompas.com, 5/2/2021).
Berdasarkan hal tersebut, bisa dipastikan penyerapan anggaran masih jauh dari realitas. Ketidak sesuaian antara dana yang disiapkan dengan sedikitnya penyaluran yang telah dilakukan menjadi pertanyaan. Kemana kah larinya dana yang lainnya? Apakah sudah tepat sasaran? Bagaimana bila ternyata dana tersebut tidak sampai kepada yang berhak menerima? Banyak pertanyaan bernada sumbang yang akhirnya menyudutkan pemerintah.
Jika saja pemerintah bertindak cepat dan tepat di awal masuknya virus covid-19 ini, serta lebih mementingkan nyawa rakyatnya diatas sektor ekonomi dan lainnya. Maka bisa dipastikan pandemi akan bisa segera diatasi. Nyawa rakyat, terutama nakes akan banyak yang bisa diselamatkan, terlepas bahwa sebuah kematian sudah menjadi sebuah qada atau ketetapan bagi mereka.
Ditambah pemerintah tidak lagi dipusingkan dengan anggaran demi anggaran yang mungkin akan semakin membengkak seiring dengan semakin naiknya grafik korban covid-19 ini. Belum lagi budaya korupsi yang sudah begitu mengakar di negeri ini, membuat semakin tidak efektifnya dana yang dikeluarkan berapapun banyaknya. Menjadi seperti buah simalakama bagi pemerintah mana yang akan menjadi prioritas, nyawa rakyat atau perekonomian? Yang pada akhirnya diambil kebijakan yang dianggap lebih menguntungkan dan disaat bersamaan mengabaikan keselamatan nyawa rakyatnya.
Terlihat jelas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pandemi ini tidaklah optimal. Masih ada pertimbangan untung rugi di dalam pelaksanaannya. Tentunya hal ini tidaklah mengherankan. Memang begitulah paradigma sistem kapitalis, yang selalu melihat sisi manfaat ketika melaksanakan suatu aktivitas perbuatan. Selama hal tersebut menguntungkan, maka akan dikerjakan. Jika tidak melihat ada manfaat apapun yang diperoleh maka akan ditinggalkan, terlepas apakah perbuatannya tersebut akan mendatangkan kebaikan atau keburukan bagi orang lain atau sekitarnya.
Hal yang sangat kontras di dalam sebuah sistem Islam. Dimana jaminan kesehatan sangat diperhatikan negara, karena kesehatan juga termasuk salah satu kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyat. Tidak memandang apakah rakyat tersebut termasuk yang miskin atau kaya. Semuanya memiliki hak yang sama dalam jaminan kesehatannya.
Di dalam Islam, pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar apalagi sampai memaksa untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Terlebih di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Tentu negara akan lebih mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang ada, serta menanggung seluruh kebutuhan dasar (primer) bagi rakyatnya. Yang pastinya demi melindungi keberlangsungan hidup rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari & Muslim). Wallahu a’lam bishowab.
Oleh Anjar Rositawati
0 Komentar