Akhirnya, industri miras yang sebelumnya masuk dalam kategori bidang usaha tertutup, kini ditetapkan sebagai DPI (Daftar Positif Investasi). Hal ini berdasarkan Perpres no 10 tahun 2021. Beleid ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.
Kebijakan pemerintah ini sontak membuat tokoh-tokoh Islam bersuara.
Anggota DPR dari Fraksi PPP, Illiza
Sa'aduddin Djamal selaku pengusul Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman
Alkolhol mengatakan, "Kami bukan anti investasi tapi kami berharap
investasi itu yang tidak membahayakan masa depan anak cucu kita di masa yang
akan datang, terutama soal bahaya miras ini," Dia menambahkan
pihaknya ingin aturan tentang minuman keras tidak hanya memikirkan tentang
ekonomi atau investasi, tetapi juga keselamatan moral dan akhlak bangsa
sebagaimana yang dilansir kompas.com.
Kerusakan akibat konsumsi miras sudah jamak diketahui. Meningkatnya
angka kecelakaan lalu llintas, tingginya kriminalitas, kekerasan dan kerusakan
akhlaq adalah sederet akibat miras yang sudah dirasakan langsung di
tengah-tengah masyarakat. Belum lagi jika ditambah dengan gangguan kesehatan
akibat minum miras. Mestinya kerusakan-kerusakan akibat miras inilah yang
dikedepankan dan dipertimbangkan. Bukan sekedar pertimbangan ekonomi.
Pengesahan Perpres ini dinilai sarat
dengan kepentingan ekonomi. Wakil Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menganggap bahwa negara sudah tidak peduli
dengan kepentingan rakyat. Ia menilai pemerintah sekarang bersifat liberal dan
kapitalis dan telah melupakan dasar negara Indonesia yakni Pancasila. “Ini jelas-jelas tampak lebih mengedepankan
pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” demikian
ujarnya sebagaimana dilansir kompas.com.
Realitasnya ekonomi Indonesia memang
limbung dihantam pandemi. Berbagai langkah penyelamatan ekonomi yang dilakukan
pemerintah tak kunjung membuahkan hasil. Upaya menambah utang terus dilakukan
hingga menembus angka Rp.6.000 Trilyun. Sungguh angka yang tidak sedikit. Upaya
menarik dana dari masyarakat juga kian marak dilakukan. Iuran BPJS, listrik,
pajak hingga wakaf tunai pun dikejar oleh pemerintah, konon demi menyelamatkan
ekonomi yang sudah hancur lebur. Dan bisa jadi investasi miras ini dilakukan
juga demi mendongkrak angka-angka yang menjadi indikator kesehatan ekonomi.
Namun tentu disayangkan jika untuk
menyelematkan ekonomi, negara harus mengorbankan masa depan generasi yang akan
datang. Bukankah justru langkah ini menjadi kontraproduktif? Kalaupun dikatakan
investasi ini hanya bisa dilakukan di empat propinsi saja, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua
dan Sulawesi Utara, tapi industri ini diijinkan sampai pedangan
kaki lima. Artinya akses untuk mendapatkanya menjadi semakin terbuka lebar. Dan
sekalipun hanya dibatasi pada 4 propinsi saja, apakah ini menjamin peredaran
dan dampak negatifnya juga beredar hanya pada 4 propinsi itu saja?
Maka kebijakan ini memang patut dipertanyakan, akankah kebijakan
ini mampu mengeluarkan Indonesia dari persoalan ekonomi yang dihadapinya?
Bukankah ini semakin menambah deretan persoalan baru di tengah-tengah
masyarakat?
Jika
investasi miras ini dijadikan jalan pintas untuk mengembalikan perekonmian
Indonesia, sungguh ini adalah jalan pintas yang tak pantas dilakukan. Mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Dan Islam secara tegas mengharamkan
miras. Bagaimanapun keluarnya keputusan ini sangat menyakitkan hati kaum muslimin. Di tengah pandemi,
kebijakan pemerintah kian hari kian menyudutkan dan menyesakkan dada kaum
muslimin.
Bagi
kaum muslimin, jelas ini langkah yang harus ditentang. Bukan hanya karena
dampak buruknya, tapi karena ini sudah terkategori pelanggaran terhadap syariat
Islam. Khamr yang hukumnya haram,
mestinya harsu dijauhkan dari kehidupan kaum muslimin. Sebab Allah telah mengharamkannya dengan
sangat jelas. Allah berfirman:
يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ
وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan."
(QS Al Maidah: 90)
Demikian
pula Islam melarang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Menyelesaikan
problem ekonomi yang kompleks harus tetap berpegang pada perintah dan
larangan-Nya. Islam bahkan menunntun umatnya menyelesaikan berbagai persoalan
dengan tuntas. Islam tak pernah mengajarkan umatnya menyelesaikan masalah dengan
menambah masalah baru, apalagi sampai menimbulkan dharar dan mengakibatkan dosa
yang akan mengantarkan pada azab Allah di neraka. Naudzubillahi min dzalik.
(Kamilia Mustadjab)
0 Komentar