Kontra kebijakan tampaknya kerapkali kita saksikan tiada henti. Watak rezim semakin memperlihatkan bagaimana keputusan-keputusan yang diambil, seiring jalan justru kian tak sejalan dengan kepentingan rakyat. Kali ini untuk menyembuhkan sakit di bidang ekonomi setelah hantaman pandemi. Seperti kita ketahui, rezim sedang berupaya dengan banyak jalan untuk kembali menyehatkan perekonomian.
Teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dalam kebijakan itu salah satunya diatur mengenai investasi minuman beralkohol atau minuman keras (miras).
Melalui kebijakan itu pemerintah membuka pintu untuk investor baru baik lokal maupun asing untuk minuman beralkohol di 4 provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
Papua Menolak Keras Kebijakan Investasi Miras
Anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI dari Papua Filep Wamafma justru menolak keputusan pemerintah untuk membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau minuman beralkohol di Papua ini.
"Persoalan hari ini di Papua enggak hanya persoalan politik, tapi pelanggaran-pelanggaran hukum dan kriminal diakibatkan oleh minuman beralkohol. Sehingga kita sebagai senator mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan persoalan di Papua," kata dia.
Ia menilai langkah pemerintah pusat itu bertentangan dengan pelbagai peraturan daerah yang sudah dibuat oleh Pemda setempat terkait pelarangan minuman beralkohol.
Gubernur Papua Lukas Enembe diketahui sebelumnya sempat meneken Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih.
Lalu dengan adanya kebijakan investasi miras ini, maka akan berkebalikan dengan pernyataan tokoh-tokoh agama di Papua yang kerap menggaungkan larangan mengkonsumsi minuman keras.
"Apabila pemerintah mengizinkan minuman beralkohol di pasok di Papua, apa artinya Pemda dan rakyat tokoh agama dan tokoh gereja selalu berkeinginan agar miras itu haram di Papua?" cetusnya.
Melihat persoalan itu, Filep menegaskan agar pemerintah pusat mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut. Ia tak ingin bila persoalan keamanan dan kriminalitas yang kian kompleks di Papua makin dibuat ruwet oleh aturan tersebut.
Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan Perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba juga memberi isyarat menolak Miras dan Narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua.
Majelis Rakyat Papua (MRP) secara tegas menolak investasi produksi minuman keras di wilayah tersebut. "Kami menolak dengan tegas. Jika mau investasi di Papua, silakan, tapi bawa yang baik-baik. Jangan bawa yang membunuh generasi muda Papua," kata anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Dorius Mehue.
Dorius yang juga ketua Persekutuan Wanita Gereja Kristen Indonesia (PW GKI) Papua menekankan, dampak minuman keras di Papua selama ini sangat merugikan warga. "Pertama, warga minum-minum, kemudian mabuk, dan dari situasi itu muncul banyak kekerasan," ujarnya.
Bahkan teranyar, kasus miras yang terjadi di tanah Papua yakni Wakil Bupati Yalimo berinisial ED (31) yang menabrak polwan Bripka Christin Batfeny (36 th) hingga tewas. Ternyata penabrak positif di bawah pengaruh minuman keras.
Lalu, apa artinya investasi miras di Papua, sementara kasus kriminal meningkat justru karena persoalan miras?
Berbagai Kalangan Ramai-ramai Menolak Kebijakan Investasi Miras
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluapkan kekecewaan atas kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma'ruf Amin yang membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil.
"Semestinya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu tidaklah akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak serta akan menimbulkan kemafsadatan [kerugian] bagi rakyatnya," jelas Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI dalam keterangan resmi yang diterima CNBC Indonesia, Minggu (28/2/2021).
MUI memandang keputusan Jokowi yang membuka investor untuk membuka usaha miras menunjukkan pemerintah telah memposisikan manusia dan bangsa sebagai objek yang bisa dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan bagi pemerintah.
Dengan kebijakan ini, katanya, bangsa ini telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini.
"Di mulutnya mereka masih bicara dan berteriak-teriak tentang pancasila dan uud 1945 tapi dalam prakteknya yang mereka terapkan adalah sistem ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa," tutur Anwar.
Sementara Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai dengan dibukanya investasi minuman beralkohol akan berdampak buruk secara jangka panjang. Selain kesehatan, berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
"Apalagi kalau produk mirasnya ditawarkan ke pasar dalam negeri. Sebaiknya aturan ini direvisi lagi dengan pertimbangan dampak negatif dalam jangka panjang. Ini bukan sekadar pertimbangan moral tapi juga kerugian ekonomi dari sisi kesehatan," tuturnya.
Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay pun meminta pemerintah segera mengkaji ulang Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2021 tersebut. Dia mengatakan, pasal-pasal dalam perpres tersebut sangat potensial menimbulkan polemik dan keresahan di tengah masyarakat.
"Saya yakin bahwa manfaat dari investasi dalam bidang industri miras sangat sedikit, sementara mudaratnya sudah pasti lebih banyak. Karena itu Perpres tersebut perlu di-review, kalau perlu segera direvisi, pasal-pasal tentang miras harus dikeluarkan," kata Saleh di Jakarta, Minggu, 28 Februari 2021
Menyingkap Bisnis Oligarki Kapitalis di Balik Investasi Miras
Apabila investasi miras hanya diperbolehkan di beberapa provinsi, pertanyaannya apakah nanti miras tersebut tidak didistribusikan ke provinsi lain?
Kita ingat bahwa ketika belum ada aturan khusus seperti Perpres 10/2021, perdagangan miras sangat banyak ditemukan di masyarakat. Dengan perpres tersebut, tentunya dikhawatirkan peredaran miras lebih merajalela.
Selain itu, juga sangat dikhawatirkan akan maraknya miras oplosan, ilegal, dan palsu. Miras oplosan, ilegal, dan palsu ini dikhawatirkan akan beredar di luar provinsi yang diperbolehkan dalam perpres. Padahal, sudah tak terhitung lagi jumlah korban yang berjatuhan akibat miras oplosan.
Wajar saja mayoritas masyarakat Indonesia menolak miras. Karena bukan lagi hanya bentuk kekhawatiran, akan tetapi miras telah terbukti menjadi pemicu tindakan kriminalitas. Dan justru miras menjadi salah satu penyumbang terbesar problem kriminalitas yang tak kunjung usai di tanah air, bahkan terus-menerus menanjak.
Jika alasannya untuk mendatangkan devisa, pemerintah tampaknya perlu menghitung dan mengkalkulasi ulang. Berapa pendapatan yang bisa diperoleh negara dari miras tersebut? Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan mudarat dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat miras tersebut.
Sudah tak bisa dipungkiri lagi, devisa yang dihasilkan dari beleid soal investasi miras tidak terlalu besar namun justru menyebabkan dampak kerusakan yang jauh lebih besar. Termasuk ancaman bagi generasi milenial yang saat ini pun sudah tenggelam dalam kubangan miras.
Sistem ini seringkali meniscayakan kebijakan yang diambil tidak pro rakyat. Pertama, tidak dibutuhkan oleh rakyat. Kedua, justru membahayakan rakyat. Kalaupun ada manfaat (dalam kacamata kapitalis), sangat sedikit dibanding mudarat secara sosial dan kesehatan yang harus ditanggung rakyat.
Terbukti pula pengalaman di negara maju yang justru tekor mengeluarkan banyak biaya untuk mengatasi dampak miras dibanding income-nya. Secara logis saja, masih banyak bisnis lain yang halal dan lebih menguntungkan daripada miras.
Alasan yang masuk akalnya ialah bisnis ini hanya untuk kepentingan para oligarki kapitalis. Karena bisnis miras relatif mudah dan murah produksinya tetapi dapat meraup keuntungan materi yang besar.
Dari sini jelas pemerintah sangat otoriter apabila sampai tidak peduli dengan suara rakyat. Secara hukum pun bertentangan atau melabrak tujuan hukum positif (pancasila dan UUD 45) yang secara telak mengcounter alasan legalisasi kebijakan ini. Pemerintah hanya berpegang dengan payung hukum omnibuslaw yang dari awal sampai sekarang justru banyak dianggap bertentangan dengan pancasila dan hanya berpihak kepada oligarki kapitalis. Inilah wujud platform demokrasi yang gagal melindungi akal rakyatnya.
Asas Manfaat dalam Sistem Kapitalisme-Sekularisme
Dalam sistem kapitalisme-sekularisme, sudah menjadi habit bahwa manusia menilai sesuatu dengan standar apakah mendatangkan manfaat atau kerugian. Jika sesuatu dinilai bermanfaat, maka hal itu adalah kebaikan. Sebaliknya, jika sesuatu dinilai sebagai kerugian, maka hal itu merupakan keburukan.
Namun sayangnya, dalam sistem ini memandang standar baik atau buruk adalah bersumber dari hawa nafsu manusia. Contohnya memandang baik upaya memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol). Karena hal ini bisa mendatangkan manfaat berupa pendapatan negara, melestarikan kearifan lokal, menggerakkan sektor budaya dan pariwisata, membuka lapangan kerja, dan mendapatkan cukai.
Tapi di sisi lain, mengabaikan sama sekali dampak buruk miras seperti yang telah terjadi hingga saat ini. Yaitu rusaknya moralitas, meningkatnya kriminalitas, serta hancurnya kehidupan sosial.
Standar penilaian baik dan buruk tentu tidak bisa diserahkan pada hawa nafsu manusia. Pasalnya, manusia tidak akan bisa menilai secara hakikat dampak manfaat maupun mudarat sesuatu. Serta dengan kelemahan yang ada pada dirinya, maka manusia seringkali berpijak pada hawa nafsu semata.
Padahal, untuk persoalan miras ini, Allah Swt telah menyatakan dengan tegas dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 90)
Dibukanya investasi haram ini tentu lebih berpeluang untuk menghancurkan rakyat dan bangsa sendiri. Maka sama saja, kebijakan ini justru akan membunuh rakyatnya sendiri. Sudah menjadi realita, betapa efek multiplayer dari miras ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Akankah kebijakan membunuh ini kita biarkan saja? Tentu tidak. Maka sebagai rakyat Indonesia, dan kaum muslimin khususnya, harus menolak dengan keras kebijakan investasi miras ini. Bahkan tak cukup di sini, juga pada kebijakan-kebijakan kontra dan tidak pro rakyat lainnya di sistem kapitalisme-sekularisme yang terus saja justru menyumbang mudarat dan keburukan bagi rakyatnya. []
Wallahu a'lam biashawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar