Kebijakan Ambyar, Bekasi Banjir Besar




 Tercatat sebanyak 21 wilayah terendam banjir dan satu wilayah di Kota Bekasi yang mengalami longsor pada Minggu (24/1/2021). Peristiwa itu terjadi setelah hujan mengguyur Kota Bekasi. Penyebab banjir selain karena intentisitas curah hujan yang terjadi di Kota Patriot menurut Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto Tjahyono, ada beberapa penyebab lain diantaranya daerah resapan air di Kota Bekasi berkurang sehingga air hujan semakin cepat masuk ke sungai. Daerah resapan air di Kota Bekasi berkurang terjadi beriringan dengan maraknya pembangunan di Kota Bekasi. Kemudian masih terdapat sampah produksi masyarakat yang tidak terangkut Pemkot Bekasi melalui Dinas Lingkungan Hidup, minimnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai dan juga karena pengelolan sampah dari hulu dan hilir yang belum dilakukan secara optimal. Oleh karenanya, kata Tri, perlu kerja sama semua pihak untuk meminimalisir terjadinya banjir di Kota Bekasi. "Perlu semua stakeholder bisa bergerak bersama dan terfasilitasi oleh Pemerintah," https://bekaci.suara.com/read/2021/01/25/073000/simak-ini-5-penyebab-banjir-bekasi-selain-curah-hujan?page=all

Kebijakan Ambyar Pemerintah 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut setidaknya ada 232 kejadian banjir yang terjadi sepanjang Januari hingga 8 Februari 2021. Data ini melengkapi ratusan bencana lain yang juga terjadi di periode sama, seperti tanah longsor, puting beliung, letusan gunung api, dan lain-lain. Tercatat, total bencana di periode ini lebih dari 386 kejadian (bbc.com, 11/2/2021). Tak terkecuali, wilayah Bekasi tak luput dari  banjir. 

Cuaca ekstrem diperkirakan akan berlangsung hingga bulan depan, sampai-sampai pihak otoritas menjadikan situasi ini sebagai sebab utama terjadinya berbagai bencana hidrometeorologi dan tanah longsor.

Atas alasan ini, banyak pakar yang melayangkan kritikan. Menurut mereka, bencana terus meningkat bukan semata faktor cuaca, tetapi disebabkan krisis iklim yang diperparah ulah tangan manusia. Termasuk kebijakan pembangunan yang tak memperhatikan daya dukung lingkungan. Seperti yang terjadi di Bekasi, maraknya pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan membuat situasi menjadi semakin buruk.  Restorasi dan perbaikan infrastruktur sungai di Kota Bekasi tidak bisa mengimbangi tingginya sedimentasi dan tingkat kerusakan lingkungan. Pembangunan juga mengakibatkan daerah resapan air menjadi minim, sebab pembangunan yang ada tidak memperhatikan hal tersebut. Belum lagi di Bekasi pengangkutan sampah produksi masyarakat belum terlaksana secara maksimal, apalagi dengan kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk tidak membuang sampah sembarangan. Akhirnya sampah memenuhi aliran sungai, sehingga sungai menjadi tidak maksimal lagi untuk menampung air.

Jika dicermati, semua ini pun ternyata berujung pada kebijakan negara, baik yang menyangkut pengelolaan tata ruang maupun tata wilayah, serta terkait berbagai kebijakan eksploitasi alam atas nama pembangunan yang melibatkan pihak swasta yang cenderung memikirkan keuntungan materi semata dan abai terhadap aspek penjagaan dan kelestarian lingkungan. Banyaknya proyek pembangunan di Bekasi, meninggalkan dampak buruk bagi lingkungan, salah satunya menyebabkan sedimentasi atau pengendapan di air sungai yang mengakibatkan aliran sungai terhambat. Empat  proyek nasional di Bekasi mulai dari Becakayu, LRT, Kereta cepat dan Tol Japek dua faktanya banyak dituding sebagai penyebab banyaknya tertutup saluran air

Sementara sejauh ini strategi pemerintah dalam mengatasi berbagai bencana, termasuk banjir, memang belum menyentuh akar persoalan. Melainkan hanya menitikberatkan pada upaya penanggulangan semata. Bahkan bisa dikatakan strategi yang ambyar karena tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas. Pemerintah masih fokus pada upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Yang menyedihkan, dampak berbagai bencana yang terjadi sebelumnya juga belum tuntas teratasi. Rakyat yang menjadi korban masih merasakan sulitnya menata ulang kehidupan di tengah situasi ekonomi dan dampak pandemi yang makin berat. Sementara berharap perhatian besar penguasa kepada mereka, hanyalah angan sia-sia. Pemberian bantuan ke korban banjir berupa sembako dan kebutuhan logistik lainnya tidak menyelesaiakn masalaha juga. Karena yang dibutuhkan masyarakat adalah solusi konkret yang mampu memnghentikan penderitaan ini mengingat banjir sendiri begitu banyak mendatangkan kerugian. 

Cara Pandang Yang Benar Terkait Bencana

Harus ada perubahan mendasar atas cara pandang aspek bencana dan paradigma pembangunan yang dilakukan penguasa. Selama faktor alam dianggap satu-satunya penyebab bencana dan pembangunan jauh dari paradigma Islam yang menebar kebaikan, selama itu pula tidak akan muncul dorongan untuk mencari penyelesaian. Bahkan, kebijakan penguasa akan menjadi sumber kerusakan.

Penerapan sistem sekuler kapitalistik neoliberal telah membuka ruang besar bagi berkembangnya perilaku mengeksploitasi dan merusak di tengah-tengah masyarakat.

Dalam sistem ini, negara menjadi alat  pengesahan munculnya kebijakan dan praktik pembangunan yang justru hanya memenuhi syahwat para kapital. Sekalipun dampaknya akan merusak alam, lingkungan, dan kemanusiaan, serta memandulkan kemampuan negara untuk menjadi pengurus dan penjaga umat. Akhirnya, terbuktilah bahwa kerusakan itu akibat tangan manusia sendiri, tetapi mereka tidak menyadari.

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak merasa.” (QS al Baqarah [2]:11-12)

Di dalam Islam, terkadang bencana  memang harus disikapi sebagai bentuk ujian keimanan yang harus diterima dengan penuh ikhlas dan kesabaran. Namun, tak sedikit pula bencana yang sejatinya akibat kejahilan dan dosa-dosa yang telah diperbuat manusia.

Allah Swt. berfirman,  “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Al-Rûm [30]: 41)

Maka yang pertama kali harus dilakukan saat terjadi bencana adalah muhasabah dan bertobat. Lalu memperbaiki perilaku yang menyalahi syariat, baik dalam level individu, masyarakat, maupun negara. Menghadapi bencana yang kian merajalela tidak cukup hanya muhasabah dalam level individu semata, apalagi hanya sekedar melempar kesalahan pada alam. Melainkan harus melakukan muhasabah dan tobat dalam level bermasyarakat dan bernegara.

Caranya dengan segera mencampakkan sistem sekuler kapitalistik neoliberal dan kembali pada sistem kehidupan Islam yang menjadikan ketaatan pada perintah Allah dan Rasul-Nya sebagai landasan. Penerapan sistem Islam secara kafah dipastikan akan mencegah munculnya perilaku yang mengeksploitasi dan merusak. Sebab, misi penciptaan manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya akan senantiasa terjaga dengan adanya syariat Islam yang turun sebagai rahmat, bukan sebagai laknat.

Para penguasa pun akan selalu terjaga dari pengurusan yang menimbulkan mudarat. Maka, Islam tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang. Islam juga membatasi pengelolaannya sebagai kewenangan negara sebagai pemelihara urusan rakyat yang menjadi pemiliknya.

Penguasa dalam Islam bahkan akan memastikan semua proyek pembangunan ditujukan semata-mata demi kemaslahatan umat. Mereka paham amanah kepemimpinan adalah urusan yang tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. 

Dalam skala kebijakan, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka penguasa akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut: Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Penguasa akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Atau jika ada pendanaan yang cukup, penguasa akan membangun resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan.

Secara berkala,penguasa mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, tapi juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.

Penguasa dalam Islam akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana dan petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search and rescue), serta keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.

Untuk menyadarkan pada level individu, penguasa dalam sistem Islam terus menerus menyadarkan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Hal ini didasarkan ketetapan syariat terkait perintah hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Penguasa juga akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, penguasa akan memotivasi secara spiritual bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT. Ini bisa dilakukan dengan jalan mengerahkan para alim ulama. Jadi fokus penguasa bukan hanya kepada pemberian bahan logistik saja.

Dari sini terlihat sekali perbedaan pengurusan yang dilakukan dengan landasn Islam dengan kapitalis yang telah sengaja menjerumuskan rakyatnya pada penderitaan berkepanjangan, lantaran menghamba pada kekuatan asing dan uang.  Sungguh apa yang dilakukan penguasa model seperti itu nantinya akan mendapat balasan yang amat berat di akhirat.


Oleh Hanum Hanindita, S.Si (Guru STP Khoiru Ummah Kranggan)




Posting Komentar

0 Komentar