Kegagalan Demokrasi Sekuler dalam Mengakhiri Pelecehan terhadap Anak

 

Memasuki tahun 2021, nampaknya kondisi yang diharapkan terhadap anak yang sesuai dengan Tema hari anak nasional tahun 2020 yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” sepertinya masih akan menghadapi gunung terjal dalam meralisasikannya. Bagaimana tidak, dalam rentang tahun 2019 hingga 2020 telah tercatat peningkatan sejumlah 48% kasus pelecehan seksual terhadap anak. Selama tahun 2020, khusus untuk area Jakarta Barat saja, ditemukan enam kasus pencabulan terhadap anak (kompas.com, 30/12/2020). Angka ini mencerminkan fenomena gunung es, mengingat tak semua kasus pelecehan terhadap anak terlaporkan secara resmi. 


Sebagian kasus asusila terhadap anak ini mirisnya dilakukan oleh orang dekat dan kerabat yang seharusnya melindungi sang anak dari perilaku layaknya predator tersebut.  Seperti misalnya 3 kasus pencabulan yang terungkap akhir tahun lalu di Jakarta Barat, dilakukan oleh guru hingga orang tua kandung korban (liputan6.com, 25/12/2020)


Menyoroti hal ini, tentu pemerintah telah menyadari akan bahaya yang ditimbulkan akibat tindak kriminalitas jenis ini bagi keberlangsungan generasi penerus bangsa ini ke depannya. Berbagai upaya telah dilakukan demi memberangus tindak kejahatan terhadap anak. Upaya tersebut antara lain dengan menetapkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian disempurnakan dengan terbitnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Ketika ditimbang bahwa upaya tersebut belum memberikan hasil maksimal terhadap pelaku kejahatan terhadap anak, pemerintah kemudian memberlakukan sanksi kebiri kimiawi. Tanggal 7 Desember 2020 Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak dimana di dalam PP tersebut diberlakukan hukuman kebiri kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak (tirto.id, 04/01/2021).


Pemberian sanksi dan ancaman terhadap predator seksual anak ini dinilai skeptikal oleh banyak orang, mengingat bahwa terdapat negara lain yang telah menetapkan sanksi serupa namun pada kenyataannya tidak membuahkan efek jera yang signifikan. Apalagi sanksi tersebut ternyata tidak pula membuat para penjahat seksual lainnya menjadi giris dan takut untuk melakukan kriminalitas asusila.


Akar Permasalahan Pelecehan Terhadap Anak


Menyoroti kasus yang selalu berulang tanpa akhir yang pasti, tentu perlu dilakukan telaah kritis mengapa hal ini terus menerus terjadi. Padahal pemerintah bisa dikatakan telah melakukan hal-hal yang dianggap perlu untuk menghentikan atau minimal meminimalisasi kejahatan yang sama berulang kembali. 


Terdapat beberapa hal yang memiliki celah dalam penanggulangan kejahatan asusila terhadap anak ini. salah satunya adalah dari sisi regulasi yang dikeluarkan masih meninggalkan lubang persepsi yang bisa ditarik ulur dalam melakukan upaya perlindungan terhadap anak. Di sisi lain, kejahatan seperti ini sangat sulit untuk diajukan secara erbuka. Sebagian besar korban maupun keluarga korban lebih memilih untuk menutup rapat-rapat kondisi anak. Ketakutan akan rusaknya nama baik keluarga dan korban menjadi salah satu alasan kuat banyaknya kasus yang tenggelam menjadi rumor saja tanpa tercatat dalam laporan kepada aparat berwenang.


Kondisi ini tak lepas pula dari peran sistem kapitalis yang melingkupi negeri ini. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa salah satu pemicu merebaknya kejahatan asusila adalah karena akses pornografi dan pornoaksi yang longgar di negara ini. Tontonan dan konten porno merajalela tanpa batasan yang berarti. Maka tak heran, selama kondisi ini terus berlangsung, maka sangat kecil kemungkinan predator anak akan hilang dari bumi Indonesia.


Bercokolnya konten porno dengan minim batasan di negara ini tak lepas dari cara pandang kapitalis yang telah menghunjam ke benak mayoritas pengampu kebijakan di berbagai negeri. Keuntungan dari bisnis pornografi dan pornoaksi yang menggiurkan, berakhir pada suburnya transaksi yang melibatkan aktivitas tabu tersebut. Perihal dampak negatif yang dihasilkan, menjadi perkara sampingan yang tak serius diberantas. Wajar saja, sebab akar permasalahan yang dipertahankan adalah salah satu sumber keuntungan yang merupakan nafas bagi ideologi kapitalis yang sekuler. 


Permisifisme yang bercokol akan mempertahankan setiap akar permasalahan yang tumbuh dari sekulerisme. Pandangan yang menuju kepada keuntungan semata akan meniadakan pandangan akan halal dan haram dari sisi agama. Selama pornografi dan pornoaksi masih dianggap sebagai hal yang memiliki keuntungan, maka pemberangusan dampak akibat hal ini akan terus terjadi. 


Islam Menghilangkan Kejahatan Anak


Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 maupun aturan mengenai perlindungan kekerasan terhadap anak dan perempuan, digadang-gadang sebagai tindakan yang mampu mereduksi kejahatan seksual terhadap anak. Hanya saja, melihat track record peraturan yang sejenis yang pernah diterapkan di negara lain, maka pandangan pesimis mendominasi negeri ini. banyak yang menganggap bahwa aturan ini akan kandas sebagaimana aturan lainnya yang diimplementasikan dalam atmosfir demokrasi.


Fakta ini menunjukkan bahwa aturan apapun yang keluar dari landasan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, jelas telah gagal dalam menghapus kriminalitas terhadap anak. Hal ini dikarenakan persoalan ini tak cukup hanya diselesaikan dengan pemberian sanksi berat bagi pelaku kejahatan dan pemberian fasilitas bantuan pengobatan dan pemulihan mental bagi korban saja. Selama akar permasalahan yakni diterapkannya sekulerisme masih berlangsung, maka selama itu pula upaya yang dilakukan demi melindungi anak akan mengalami kegagalan.


Alternatif aturan yang selama ini belum diambil dalam menanggulangi permasalahan pelecehan terhadap anak adalah aturan Islam yang datang dari Allah. Di dalam Islam, perlindungan terhadap anak dilakukan secara komprehensif. Negara menerapkan aturan Islam secara menyeluruh hingga menjaga setiap celah yang berpotensi menimbulkan kerusakan dapat tumbuh di dalam kehidupan bermasyarakat.


Aturan yang mendasari pergaulan, ekonomi dan pendidikan serta kehidupan sosial dmerujuk pada Al Qur’an, Sunnah Rasul, Ijmak dan Qiyas. Setiap indiidu dituntut untuk memegang teguh aqidah Islam sehingga keimanan yang kuat menjadi perisai bagi masing-masing untuk tidak melakukan kemaksiatan. Di sisi lain, masyarakat yang tunduk pada perintah Allah menjadi pengawas yang jeli dalam menjaga agar setiap individu di dalam masyarakat senantiasa melaksanakan perintah Allah. Sementara negara, tegas menegakkan aturan-aturan Islam sehingga menjadi tameng yang kuat dalam melindungi umat dari kerusakan.


Detil penerapan aturan Islam dapat dilihat dari bagaimana Islam memandang pornografi dan pornoaksi sebagai kejahatan yang harus dijatuhi sanksi. Negara akan mencegah dan menutup setiap akses yang akan meracuni masyarakat. Sementara itu pembinaan aqidah melalui sistem pendidikan Islam diterapkan sejak dini. Setiap output pendidikan akan menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam kuat dan tsaqofah yang mumpuni. Di sisi lain, penerapan sistem sanksi dan uqubat dalam Islam yang tegas terhadap kejahatan seksual terhadap anak akan menjadi aksi preventif yang ampuh mencegah siapapun yang berniat melakukan kemaksiatan keji tersebut melancarkan aksinya.


Permasalahan pelecehan terhadap anak takkan mungkin teratasi jika masih menggunakan aturan yang berlandaskan pada sekulerisme. Demokrasi yang berlandaskan pada asas kufur tersebut telah gagal melindungi anak dari kejahatan. Akar permasalahan yakni demokrasi sekuler liberal harus diberantas dan diganti dengan sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang memiliki mekanisme perlindungan anak secara sistemis melalui berbagai peraturan yang terintegrasi. Wallahualam[]


Oleh Ghayda Azkadina


Posting Komentar

0 Komentar