Innalilahi wainnailahi raji'un, kabar duka datang dari salah seorang da'i Indonesia asal Sumatera Utara yakni Ustaz Maheer Ath-Thuwalibi. Beliau meninggal dunia di rumah tahanan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (8/2).
Dikabarkan, yang bersangkutan mengembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 19.00 WIB. Kabar ini pun dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono dan kuasa hukumnya ustadz Maheer yakni Djuju Purwantoro. (Republika.co.id, 09/02/2021)
Diduga Ustaz Maheer meninggal akibat sakit yang di deritanya. Pihak kepolisian pun, tidak menyebutkan secara gamblang penyakit yang diderita ustadz Maheer. (Suara.com, 09/02/2020)
Kematian yang dialami ustadz Maheer menimbulkan banyak pertanyaan publik. Pasalnya, beliau meninggal di dalam rutan Mabes Polri. Memang diketahui bersama bahwa sebelum beliau meninggal dunia, Ustaz Maheer ditangkap oleh pihak kepolisian akibat terseret kasus ujaran kebencian di media sosial, yang pada akhirnya membuat beliau harus mendekam di dalam sel tahanan.
Namun, yang menjadi banyak pertanyaan publik ialah sebab-sebab Ustaz Maheer dapat meninggal dunia di dalam tahanan, karena sebelum masuk penjara beliau terlihat dalam keadaan sehat. Sejumlah pertanyaan pun muncul, seperti apakah pihak penyidik mengetahui bahwa Ustaz Maheer memiliki riwayat penyakit atau tidak sebelum akhirnya ditahan dalam rutan? Karena seseorang sebelum ditahan biasanya akan diperiksa berkaitan dengan kondisi kesehatannya.
Selain itu, ketika Ustaz Maheer akhirnya sakit, apakah diantarkan ke dokter hingga sembuh atau pulih dan dinyatakan dapat kembali oleh dokter? Lalu, apakah dokter yang merawat memberikan izin untuk kembali ke rutan? Apabila dokter memberikan izin kembali ke rutan, apakah sudah dipertimbangkan bagaimana teknis medis untuk merawat dan pengobatan di rutan? Dan apakah dokter sudah menjelaskan secara detail risikonya apabila memutuskan keluar dari rumah sakit? Serta masih banyak pertanyaan yang lainnya yang masih menjadi tanda tanya dan kecurigaan publik.
Bila kita menilik rekam jejak semasa hidupnya, ustadz Maheer memang dikenal sebagai da'i yang lantang dalam menyuarakan kebenaran. Beliau juga selalu menggebu-gebu dan terkenal dengan perkataannya yang blak-blakan dalam menyampaikan. Meski dibalik penyampaiannya yang blak-blakan, beliau sejatinya memiliki kepribadian yang baik dan selalu membela Islam juga umatnya.
Hal ini pun dibenarkan oleh Ustaz Abdul Somad yang menyatakan bahwa, beliau melihat Ustaz Maheer memiliki bacaan yang banyak, tulisan yang tajam, dan peduli dia dengan umat dan keadaan. (Beritadhits.id, 09/02/2021) Hanyasaja, akibat tuduhan ujaran kebencian yang dilayangkan kepadanya, membuat ustadz Maheer harus mendekam didalam penjara.
Rezim di sistem demokrasi-sekuler hari ini memang mengusung ide kebebasan termasuk didalamnya ide kebebasan berbicara, tetapi semuanya hanyalah omong kosong belaka. Terbukti setiap pihak yang bersebrangan dengan pemerintah dan lantang menyampaikan kebenaran akan terancam dirinya. Bahkan akibat adanya UU ITE yang belum lama diterbitkan, dapat dengan mudah menciduk siapa saja yang melapor dengan tuduhan ujaran kebencian dan semisalnya.
Hal itu sering sekali terjadi bagi umat Islam dan para ulamanya yang vokal membicarakan kebenaran, sehingga umat dan para ulamanya yang memperjuangkan agama-Nya dan membongkar makar rezim anti Islam, besar kemungkinan akan terus saja dikriminalisasi. Sementara bila pelakunya bukan muslim, akan sangat mungkin hanya didiamkan begitu saja.
Di sepanjang sejarah demokrasi pun terlah terbukti, kaum muslim dan para ulama yang mengkritisi kebijakan penguasa dan menginginkan syariah tegak, selalu dianggap kaum garis kanan keras dan dilabeli dengan radikal.
Ditambah lagi, kelompok ulama yang gigih membela hak-hak umat pun seingkali dipersekusi, dicari-cari kesalahannya, dibuatkan tuduhan palsu dan ditangkap. Bahkan bisa saja dipenjara atau diberi hukuman yang paling keras. Beginilah nasib ulama yang lantang menyerukan kebenaran di alam sistem demokrasi-sekuler.
Sementara, hal ini berbeda di dalam sistem pemerintahan Islam. Dimana dalam sistem ini Alquran dan sunah diterapkan secara sempurna. Para ulama yang ada justru dihormati dan dilindungi. Bahkan banyak diantara para khalifah yang menjadikan ulama sebagai guru dan penasehatnya semasa ia memerintah.
Para pemimpin islam dan pejabat negara yang dibawahnya dalam sistem Khilafah tak sungkan-sungkan dinasehati oleh para ulama. Misalnya saja, Sultan Murad, ia membiarkan saja perilaku Syeikh Aaq Syamsudin untuk memukuli anaknya Sultan Muhammad Al Fatih dengan tongkat karena malas belajar.
Sang ulama tak ingin mengistimewakan sang sultan hanya karena ia anak penguasa. Hasilnya Sultan Muhammad Al Fatih mampu menaklukan Kota Konstantinopel dan merubahnya menjadi Islambul (Full of Islam/Penuh dengan Islam). Ini hanya satu dari sekian banyak kisah Khalifah yang berhasil memimpin pemerintahan di bawah bimbingan para ulama.
Memang, ulama pada masa khilafah malah difasilitasi menjadi ulama yang punya kontribusi terhadap dunia dan hasilnya pun terbukti luar biasa. Sedangkan ulama di alam demokrasi-sekuler seringkali dipersekusi dan dipinggirkan perannya agar tidak mencampuri kekuasaan penguasa sekuler.
Karenanya, umat jangan terbuai dengan omong kosong ide kebebasan yang ditawarkan oleh sistem demokrasi-sekuler, dan sudah semestinya berharap agar sistem khilafah tegak kembali. Sebab dengan adanya sistem khilafah para ulama akan dilindungi dan akan diberikan keleluasaan dalam menyebarkan dakwah Islam. Bukan dipersekusi dan dikriminalisasi, atau bahkan meninggal dalam tahanan sebagaimana sistem demokrasi-sekuler.
Wallahu'alam bii shawab {}
Oleh Puput Yulia Kartika
0 Komentar