Lagi-lagi yang berkaitan dengan Islam kembali dipemasalahkan. Dengan penangkapan Zaim Saidi sebagai pendiri Pasar Muamalah, Depok, Jawa Barat, pada Selasa (2/2) oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskim) Plori, dikarenakan kedapatan menggunakan dinar dan dirham dalam transaksi jual beli di Pasar Mamalah tersebut. Zaim Saidi terjerat dua pasal pidana, yang pertama Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 33 Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang.
Penangkapan Zaim Saidi dirasakan berlebihan dan bisa menimbulkan permasalahan baru menurut Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah. “Kalau mau melarang tidak harus ditangkap, karena muncul sentimen, sentimen agama.” Katanya kepada Bisnis, Kamis (4/2/2021).
Piter melanjutkan bahwa kejadian tersebut berimbas pada menguatnya persepsi masyarakat yang anti Islam. Ia juga melihat bahwa masyarakat menilai pemerintah tebang pilih dalam menegakkan hukum. Selain itu, kata Piter, ada analogi kasus lain yang serupa di Jawa Tengah, yakni Pasar Papringan yang menggunakan alat tukar yang keeping bambu. Berdasarkan berbagai sumber, uang keeping bamboo dapat ditukar dengan nilai Rp2000. (kabar24.bisnis.com, 4/2/2021).
Melihat dua kasus yang serupa tersebut, yang satu ditangkap sedangkan yang lain dibiarkan menjadi sebuah indikasi hukum yang berjalan sangat timpang dan tebang pilih. Jika hal-hal yang berbau Islam atau Arab akan ditindak, sedangkan selain itu akan dibiarkan saja. Sungguh sebuah ketidak adilan yang begitu nyata terlihat.
Jika ditelusuri lebih jauh perihal dinar dan dirham, sebetulnya bukan Islam lah yang menginisiasi penggunaannya. Justru bangsa Arab jahiliyah saat itu (sebelum turunnya Islam) hanya memakai sistem barter dan belum memiliki alat tukar atau mata uang. Emas dan perak dalam konteks ini dinar dan dirham adalah mata uang milik bangsa Romawi dan Persia.
Kata dinar sendiri berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma. Beredarnya dinar dan dirham di jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam (di bawah pengaruh Romawi) dan Yaman (di bawah pengaruh Persia). Hingga akhirnya penggunaan dinar dan dirham pun diadopsi oleh bangsa Arab pada saat itu hingga sampai pada zaman nabi Muhammad Saw diutus menjadi utusan Allah.
Ketika Islam diturunkan, Nabi pun menetapkan penggunaan dinar dan dirham sebagai mata uang yang sah dipakai dalam perniagaan. Taqrir nabi inilah yang menjadi ketetapan pemberlakuan hukum Syara dinar dan dirham sebagai mata uang dalam Islam. “Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.” (HR. Al-Nasa’i dan Abu Daud).
Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham pada saat itu, Nabi Muhammad Saw dibantu oleh sahabatnya, yakni Arqam bin Abi Arqam, ia adalah seorang ahli tempa emas dan perak pada masanya. Umar bin Khatab pun memerintahkan agar dinar dan dirham tersebut untuk diberi tulisan hamdalah dan Muhammad Rasulullah.
Dinar dan dirham yang menggunakan material berharga, yakni emas dan perak, membuat nilainya yang selalu stabil (jikapun ada penurunan hanya sedikit) membuatnya sangat pantas menjadi mata uang. Hal itu pula yang membuat dinar dan dirham dipakai untuk untuk menunaikan zakat. Imam Hanafi, misalnya, penah berkata “Bahwa ukuran nisab zakat yang disepakati ulama, bagi emas 20 mitsqal dan telah mencapai haul (satu tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham.”
Imam As Syafi’I dalam kitab Al- Umm juga pernah berujar, “Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasanya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).” Jika dikonversi dengan timbangan sekarang, 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham setara dengan 2,975 gram perak. Selain zakat yang disandarkan kepada emas dan perak, hukum atau sanksi baku untuk pencurian dan diyat juga batasannya disandarkan kepada emas dan perak.
Menjadi suatu kewajaran jika sebagai umat Islam menginginkan bisa kembali menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang dan alat transaksi. Karena hal tersebut telah dicontohkan secara jelas dan gamblang oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Selain juga realnya nilai intrinsik yang melekat pada emas dan perak, sehingga lebih meyakinkan sebagai alat tukar dalam transaksi. Bukan seperti sekarang yang hanya menggunakan selembar kertas, dimana nilai bawaan dari kertas tersebut sangatlah rendah. Hanya karena ada legalitas Undang-Undang saja hingga akhirnya uang kertas flat tersebut seolah menjadi berharga.
Pergeseran nilai-nilai dan juga sistem yang memaksa umat Islam saat ini menjauh dari dinar dirham ini. Terpaksa menggunakan mata uang kertas yang beredar tanpa back up nilai di dalamnya, membuat negeri ini akan dengan mudahnya tergantung oleh Negara lainnya. Negeri ini akan dengan mudah diserang secara mata uang oleh Negara lain yang lebih berkuasa. Tentunya saat ini yang sedang berkuasa adalah mata uang dari Negara-negara adidaya seperti Dollar, Euro, bahkan Yuan.
Michael Maloney di dalam Guide to Investing in Gold and Silver mengatakan, “Emas dan perak telah merevaluasi diri selama berabad-abad dan menyerukan agar uang kertas flat untuk mempertanggung jawabkan diri. Saat melakukannya, emas dan perak menyeret uang tipuan ke nasibnya yang layak. Kedua logam mulia itu selalu melakukannya dan akan terus melakukannya. Boleh dibilang, itu sama pastinya dengan matahari terbit.”
Rasulullah Saw bersabda, “Akan datang suatu masa pada umat manusia, pada masa itu tidak ada yang bermanfaat kecuali dinar (uang emas) dan dirham (uang perak).” (HR. Imam Ahmad).
Dalam sabdanya yang lain, “Apabila di akhir zaman, manusia dikalangan mereka itu harus menggunakan dirham-dirham dan dinar-dinar sehingga dengan kedua mata uang itu seorang laki-laki menegakkan agama dan dunianya.” (HR. Imam At-Thabrani). Wallahu a’lam bis-showab.
Oleh Anjar Rositawati
-----------
Follow kami di
Facebook : fb.com/MuslimahJakarta
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
Twitter : https://twitter.com/MJ_Officiaal?s=08
0 Komentar