Ketika Kritik Menuai Pelik

             



Kritik terhadap pemerintahan Jokowi mulai ramai diperbincangkan sejak mantan walikota Solo itu meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Statemen yang disampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, 8 Februari lalu langsung mendapat respon dari ekonom Kwik Kian Gie.

Dalam cuitan di akun twittwernya @kiangiekwik, Kwik menuliskan kekhawatirannya. "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil."

Demokrasi memang butuh kritik. Sebab secara konsep, demokrasi memang didesain agar kekuasaan tidak dimiliki hanya oleh satu pihak. Konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menunjukkan bahwa yang diinginkan adalah rakyat bisa mengontrol pemerintahan dan memilih aparatur pemerintahan sebagaimana diinginkannya.

Namun kenyataannya, demokrasi justru akan berjalan kearah sebaliknya. Sistem yang cacat sejak lahir ini, menurut para pakar, akan mengantarkan pada kekuasaan tirani dan berakhir pada kegagalan. Plato (472-347 SM) menyatakan liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya. Sebab demokrasi mendewakan kebebasan individu  secara berlebihan. Akibatnya timbullah anarki yang memunculkan kekuasaan tirani.

Itu sebabnya tingkat partisipasi publik dijadikan salah satu indikator penting yang selalu diukur dalam negara demokrasi. Tujuannya untuk memastikan agar negara tersebut tetap berjalan pada rel yang seharusnya dan tidak terjerembab jatuh pada kekuasaan tirani. Jelaslah bahwa kritik (dalam arti adanya partisipasi publik) menjadi poin penting bagi demokrasi.

Peliknya, kritik yang dilancarkan sering kali berujung pada bui. Tak lama berselang dari pernyataan Jokowi, Novel Baswedan diperkarakan ke polisi akibat cuitannya saat menanggapi wafatnya ustadz Maaher Ath Thuwaillibi.  Kasus ini mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa pihak otoritas akan membungkam setiap kritik yang ditujukan kepadanya. Dengan kata lain diam mungkin akan lebih selamat.

Bukan kali pertama, jauh sebelum permintaan kritik disampaikan Jokowi, praktik seperti ini kerap terjadi. Karena begitulah watak asli demokrasi. Artinya partisipasi publik (baca: kritik) ini juga harus dalam kendali. Jika tidak, pihak otoritas akan kehilangan trust dan kekuasaan akan lenyap.  Kekuasaan akan beralih pada pihak yang dipercaya oleh masyarakat.

Oleh sebab itu demokrasi tidak pernah mentolerir segala bentuk kritik yang sifatnya fundamental dan destruktif yang akan merobohkan sistem demokrasi. Kritik semacam ini tak boleh tumbuh subur di alam demokrasi. Sebab ini mengancam kepentingan penguasa. Bahkan mengancam esksistensi demokrasi itu sendiri.

Disinilah peliknya urusan kritik mengkritik dalam sistem demokrasi. Bagi masyarakat, tak mudah memberikan kritik dalam kondisi seperti ini. Bagi pemerintah, tak mudah juga menolak kritik jika distrust masayarakat sudah terbentuk. Berbagai kepentigan dan spekulasi terjadi dan saling berkelindan sehingga membuat persoalan kian rumit. Endingnya yang mengkritik masuk bui. Pelik bukan? Inilah lemahnya demokrasi, tak mampu membangun kritik tanpa persoalan pelik sesudahnya.

Berbeda dengan sistem Islam yang justru mendorong setiap warga negara kritis terhadap berbagai kebijakan negara. Muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) adalah bagian dari aktivitas dakwah. Pelakunya mendapat pahala yang sangat besar disisi Allah swt. Dalam hadits Rasulullah saw :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”(HR. al-Hakim dan HR. al-Thabrani)

Mengkritik penguasa pahalanya disetarakan dengan pahala syahid. Pelakunya diganjar dengan surga. Inilah yang mendorong warga Daulah Islamiyah tidak takut menyampaikan kritikannya pada kebijakan Khalifah yang dianggap melenceng dari syariat.

Kejadian itu diabadikan dalam kitab Ad Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syeikh Jalaluddin As Suyuthi pada bab penjelasan Surat An Nisa: 20. Dikisahkan Umar bin Khattab berpidato di depan khalayak dan menetapkan besaran mahar tidak melebihi apa yang pernah diberikan Rasul saw pada istri-istrinya. Usai pidato, seorang perempuan mendatangi Umar memprotes kebijakan tersebut sambil membacakan QS. An Nisa: 20. Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan revisi atas ketetapannya sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya

Demikianlah dalam Islam, muhasabah lil hukkam hukumnya wajib dilakukan ketika melihat penyimpangan dalam pelaksanaan hukum syara. Nah jika kita menginginkan sistem yang sehat seperti itu, mengapa tak beralih pada sistem ini? Mengapa juga kita masih bertahan dengan sistem demokrasi yang sudah diakui kebobrokannya oleh para pakarnya sendiri? Wallahu a’lam (Kamilia Mustadjab)

Posting Komentar

0 Komentar