Gelombang stigmatisasi radikalisme terus menerjang tiada henti. Berbagai upaya dilancarkan demi satu tujuan, yakni deradikalisasi yang tampaknya menjadi program utama di seluruh jajaran pemerintahan. Hingga pada setiap strukturnya serempak melakukan aksi sinergi dalam menghalau radikalisme ini.
Kita menyaksikan Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Eksttemisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) 2020-2024.
Respon pun berdatangan, pemerintah diminta menjelaskan secara detail dikeluarkannya kebijakan tersebut. Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib menilai, tidak jelasnya definisi maupun kriteria ekstremisme yang ada dalam aturan tersebut berpotensi menimbulkan aksi persekusi.(https://m.mediaindonesia.com)
Ketidak-jelasan definisi ini memang membingungkan masyarakat. Apalagi belakangan ini, ekstremisme seringkali diidentikkan dengan penampilan seseorang. Sehingga tudingan ekstremisme justru terjebak pada simbol. Belum lagi kita pun mendengar bisik-bisik bahwa Perpres ini merupakan pesanan lembaga tertentu.
Kegaduhan terus mengudara tiada henti. Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku dengan tuduhan radikalisme.
Hal ini bisa saja menjadi bukti otentik bahwa tuduhan radikal itu absurd (konyol-Red). Dengan adanya kejadian tersebut, merupakan cerminan semakin bobroknya moral sebagian elit dan tokoh yang ditunjukkan dengan lebih mengedepankan sikap permusuhan dibandingkan dialog. Terlalu mudah menuding seseorang dengan kriteria karet yang mudah ditarik ke sana-sini sesuka hati.
Inilah kondisi rezim hari ini, sedikit-sedikit melaporkan seseorang dengan tuduhan intoleran dan radikal. Bukankah sesungguhnya mereka yang melaporkan ini menunjuk muka mereka sendiri? Kok malah menjadi yang terdepan dalam bersikap intoleran. Tak ketinggalan mereka pun seolah sedang menebar kebencian.
Setelah hampir 700 orang dipenjara sepanjang 2016 hingga 2020 karena pasal karet Undang-Undang ITE, dan sebagian besarnya akibat tudingan radikal. Terbitlah wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Karena gaduhnya protes yang dilayangkan tentu saja akan berujung kian distrustnya masyarakat kepada rezim. Maka rezim pun mengambil sikap waspada.
Ada apa sebenarnya di balik gaduhnya stigma radikal di negeri ini? Bukan rahasia lagi, upaya deradikalisasi sejatinya untuk meredam bergulirnya bola salju seruan untuk menegakkan institusi khilafah. Serta penerapan formalisasi syariat Islam secara kafah. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Tudingan radikal juga dilemparkan pada kubu oposisi, serta diobral murah untuk siapapun yang mengkritisi pemerintah.
Apabila kita melihat opini yang berkembang di konstelasi politik internasional, istilah radikalisme pun begitu masif digaungkan. Hal ini menunjukkan adanya skenario global demi menyatukan opini tentang perjuangan untuk menerapkan syariat Islam dan menegakkan khilafah adalah gerakan radikal yang membahayakan.
Sehingga terjadilah politik pecah-belah dengan mengkotak-kotakkan Islam dengan cap radikal, tradisionalis, ekstremis, fundamentalis, moderat, dll. Kemudian menyematkan karakteristiknya masing-masing sesuai kepentingan yang diinginkan. Mereka membuat karakter Islam yang layak untuk diterima adalah Islam yang bisa dinegosiasikan.
Isu radikalisme pun menjadi alat strategi politik dalam rangka blame of victim. Menutupi keburukan dan kerusakan rezim, sementara korban (umat Islam dan ajarannya) didemonisasi dan dijadikan kambing hitam. Di balik itu, segala kerusakan, kebobrokan dan kegagalan yang diwujudkan oleh para pelaku demokrasi ini semakin telanjang di depan mata. Terutama dalam hal ekonomi. Tak kunjung mampu menyejahterakan rakyat dengan memenuhi kualitas hidup yang layak. Serta memberikan rasa aman dan damai.
Menurut mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam melawan radikalisme dianggap upaya pengalihan isu-isu korupsi. Isu radikalisme sengaja dibuat dan dimunculkan seperti pernah dilakukan Orde Baru.
“Radikalisme bersumber dari kesalahan yang disengaja atas tata kelola sumber daya alam dan dampak dari kesenjangan ekonomi serta keadilan sosial. Radikalisme agama sengaja dihadirkan sebagai jualan politik,” ucapnya. (www.gatra.com)
Rakyat dikaburkan pandangannya dalam menilai siapa sesungguhnya common enemy mereka. Diupayakan agar sasaran kebencian mereka salah alamat. Yaitu kepada perjuangan penerapan syariat Islam kafah dan penegakan khilafah. Padahal sikap destruktif justru nyatanya lahir dari induk rezim itu sendiri.
Entah sudah berapa banyak upaya untuk memadamkan cahaya Islam. Namun hasilnya nihil, Islam tak jua terkapar diterjang badai deradikalisasi. Gelombang kebangkitan Islam justru kian membesar. Realitanya semakin ide khilafah dimonsterisasi, malah semakin besar dan dicintai. Rakyat yang sudah jengah dan merasakan dampak buruknya sistem demokrasi ini mulai melirik ide khilafah yang begitu menarik.
Sebagai sebuah ide, khilafah seringkali dikatakan utopia. Akan tetapi tidak sedikit kalangan muslim yang meyakininya. Terwujudnya kehidupan Islam yang kafah merupakan sunatullah. Layaknya air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Cepat atau lambat, pendukungnya pasti akan semakin banyak dan khilafah akan tegak.
Puncak dari tren Islamisasi ini bukanlah radikalisme yang hanyalah wacana belaka. Tetapi akan berujung pada penerapan syariat Islam secara kafah, utuh dan holistik. Ide khilafah tidak akan pernah mati. Namun senantiasa hidup hingga kembalinya kehidupan khilafah sistem warisan Rasulullah saw, saat Allah telah izinkan berdiri kokoh pada saatnya nanti. []
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar