Tak lama lagi Kabupaten Sukabumi akan menjadi salah satu destinasi wisata nasional dan internasional, tentunya pula akan menjadi perhatian turis nasional dan dunia. Betapa tidak, di kawasan Lido akan dibangun Taman hiburan sekelas Disneyland dan Universal Studio. Pembangunan kawasan wisata itu sebenarnya termasuk dalam mega proyek MNC Lido City. Bahkan pembangunan Movieland telah resmi dimulai pada 16/2 kemarin (okezone.com, 15/2/2021). Mega proyek MNC Lido City dikembangkan oleh PT MNC Land Tbk (KPIG atau Perseroan) dimana telah diketahui pemilik MNC Group yaitu Hary Tanoesoedibjo (radarsukabumi.com, 13/2/2021).
Di bawahnya ada PT MNC Lido Hotel, PT MNC Lido Resort, PT MNC Wahana Wisata dan PT MNC Studios International Tbk. Selain itu, melibatkan pula anak perusahaan dari perusahaan konstruksi milik negara Cina Metallurgical Corporation of China (MCC) yang telah menandatangani perjanjian dengan MNC Land di Indonesia untuk membangun sebuah taman hiburan di luar Jakarta sebagai bagian dari proyek Lido City yang juga melibatkan Presiden Donald Trump.
Taman ini diperkirakan didukung pendanaan hingga US$ 500 juta atau 6,9 miliar rupiah dalam pinjaman pemerintah Cina, dan merupakan bagian dari "resor gaya hidup terpadu", yang dikenal sebagai MNC Lido City, seperti dikutip South China Morning Post.
Proyek ini mencakup hotel-hotel bermerek Trump, tempat tinggal dan lapangan golf, serta hotel, tempat belanja dan perumahan lainnya. Ini juga merupakan proyek pertama yang menghubungkan kepentingan bisnis mantan presiden AS dengan prakarsa infrastruktur utama China, yang bertujuan menghubungkan ekonomi terbesar kedua di dunia dengan Afrika, Asia, dan Eropa melalui jaringan pelabuhan, kereta api, jalan, dan kawasan industri yang megah (dunia.tempo.co, 13/5/2018).
Perlu diketahui bahwa Proyek MNC Lido City telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata (atau yang sering disebut dengan KEK Pariwisata). Dengan didapatkannya status KEK Pariwisata, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di kawasan MNC Lido City mendapat kemudahan perizinan termasuk soal rencana membangun taman bermain sekelas Disneyland dan Universal Studio tersebut.
Selain itu, badan usaha dan pelaku usaha di kawasan MNC Lido City juga bisa menikmati berbagai kemudahan dan fasilitas insentif perpajakan sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 237/PMK.010/2020. Antara lain diberikannya insentif pajak penghasilan; pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah; bea masuk dan pajak dalam rangka impor; cukai; serta berbagai kemudahan perizinan lainnya.
Telah kita ketahui bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhitungkan dalam produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, pariwisata dan industri merupakan bagian dari prioritas pembangunan dalam sudut pandang dimensi sektor unggulan, bersama-sama dengan kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, serta kemaritiman dan kelautan. Dalam hal ini, pengembangan pariwisata nasional bertumpu pada modal potensi keindahan alam dan keanekaragaman budaya yang unik.
Target ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Pariwisata pada saat itu, Arief Yahya, bahwa sektor pariwisata mampu menjadi kontributor terbesar terhadap PDB pada tahun 2019, menggusur sektor migas yang sumbangannya terus menurun. Pada saat itu, Indonesia akan dikunjungi oleh 20 juta wisatawan manca negara (wisman) dengan devisa sekitar Rp 280 triliun. Penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata mencapai 12,6 juta orang dan indeks daya saing pariwisata Indonesia bakal berada di peringkat ke-30 dunia. Saat ini, kontribusi pariwisata ke PDB sudah mencapai US$ 13-14 miliar, sedangkan peran migas hanya US$ 18 miliar dan terus menurun (beritasatu.com).
Negara-negara yang menerapkan prinsip kapitalisme (tak terkecuali Indonesia) melaksanakan konsep pariwisata negara berdasarkan pandangan teori-teori kapitalisme. Kapitalisme pariwisata memandang bahwa manusia harus memiliki kebebasan individu (Hak Asasi Manusia). Oleh karena itu, ia berhak dan bebas untuk memenuhi keinginannya berekreasi dan menikmati keindahan alam yang ada. Dalam pariwisata pun, setiap orang yang terlibat dalam bisnis pariwisata bebas untuk meminta dan menawarkan produk-produk/fasilitas penunjang pariwisata yang ditengarai dapat meningkatkan minat berwisata, seperti seks, minuman keras, perjudian, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri, dalam rangka memenuhi kebutuhan kepariwisataan, Pemerintah membolehkan pengadaan dan perdagangan minuman beralkohol, baik dengan cara memproduksi atau mengimpor dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Impor, Pengedaran Dan Penjualan, Dan Perizinan Minuman Beralkohol, dimana dalam salah satu ketentuannya menyebutkan perdagangan minuman beralkohol dapat dilakukan di Hotel, Restoran dan Bar termasuk Pub dan Klab Malam dalam bidang Pariwisata.
Kapitalisme pariwisata menjunjung tinggi prinsip ekonomi, yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui penguasaan kepemilikan modal. Oleh karena itu, ditemukan di lokasi-lokasi pariwisata adanya pengelolaan pariwisata yang didominasi oleh modal asing. Hal ini diperkuat dengan regulasi negara yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2016, tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Kapitalisme pariwisata terwujud dalam regulasi negara, dimana dalam paham kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator, dan peran negara secara teknis harus diminimkan. Sebaliknya peran individu harus dimaksimalkan melalui regulasi yang memuluskan berperannya individu. Di Indonesia hal ini terlihat jelas dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya adalah yang telah diuraikan sebelumnya.
Kapitalisme pariwisata merupakan bentuk penjajahan dan eksploitasi sumberdaya, dimana di wilayah yang terdapat obyek pariwisata, dikuasai oleh pemodal kuat yang notabene merupakan pemodal asing. Mereka diberikan keleluasaan oleh negara untuk mengeksploitasi kekayaan negara untuk menjadi keuntungan mereka. Di sisi lain, negara hanya mendapatkan secuil penerimaan dari pajak yang belum tentu dapat dikembalikan kepada rakyat.
Dalam sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini, sektor pariwisata menjadi salah satu aspek penyokong perekonomian dan penyumbang APBN atau pendapatan negara setelah pajak. Sungguh hal ini sangat membuat miris di tengah melimpahnya sumber daya alam di negeri ini. Sayangnya, SDA itu sebagian besar diberikan kepada swasta baik nasional maupun asing. Padahal, pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata hasilnya jauh lebih kecil dibandingkan hasil pengelolaan Sumber Daya Alam yang berlimpah ruah di negeri ini, jika dikelola secara mandiri oleh negara.
Seandainya pengelolaan sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri ini, pengelolaannya dilakukan secara mandiri tentu dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyatnya. Lapangan pekerjaan yang terbuka luas ini akan memudahkan rakyat mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan memperkuat ekonomi.
Penerapan sistem ekonomi kapitalis membuat pemerintah tidak serius untuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya dan menggantungkan perekonomian salah satunya pada pariwisata. Deindustrialisasi akan terjadi di dalam negeri karena tidak adanya industri yang tumbuh dan menampung jumlah tenaga kerja yang besar.
Sementara itu, Islam memandang berwisata merupakan sarana untuk mendekatkan diri pada Rabbnya dan membangun keakraban keluarga dengan tetap berlandaskan hukum syara. Saat pandemi seperti ini, negara Islam dalam hal ini khilafah akan lebih fokus pada penyelesaian wabah, mengisolasi pasien terinfeksi dan menyembuhkannya, serta lebih mengutamakan rakyat untuk terpenuhinya kebutuhan primer dan sekundernya pada masyarakat terdampak wabah dibanding berwisata yang termasuk kebutuhan tersier, maka pariwisata tidak diprioritaskan. Hal ini dikarenakan tugas seorang pemimpin dalam Islam, yaitu mengatur dan mengurusi urusan rakyat. Di samping itu, kegiatan berwisata di daerah umum akan ditutup sampai wabah benar-benar hilang atau selesai.
Islam juga tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Islam tidak berambisi mengambil keuntungan materi dan memperkuat perekonomian negara dengan membuka sektor pariwisata saat wabah belum usai. Islam memiliki sumber pendapatan lain dan akan memaksimalkan pengelolaan sektor strategis seperti potensi sumber daya alam, industri berat, pembangunan sektor vital negara yang semua dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada asing. Hal ini akan memperkuat dan membuat stabil finansial ekonomi negara. Selain itu, ada kharaj, jizyah, dan lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemasukan negara.
Islam menjadikan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum, yaitu milik rakyat. Negara hanya menjadi pihak yang mengelola kekayaan alam milik umum tersebut dan mendirikan industri berat, sehingga akan membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyat. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan oleh para sahabat dan kaum muslimin yang telah terbukti bertahan 1300 tahun lamanya. Berdasarkan hal tersebut, telah jelas betapa kapitalisme harus kita campakkan dan bersegera mengambil aturan Islam untuk mengatur seluruh aspek kehidupan dalam naungan Khilafah ‘ala minhajjin nubuwwah. Wallahu’alam bishshawab.
Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Kebijakan Publik
0 Komentar