وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيلَشَدِيدٌ
Artinya: Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku), pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih."
Dari dalil di atas inilah yang harus menjadi motivasi kita untuk terus bersyukur dalam kondisi apa pun.
Bahkan saking kehati-hatiannya dalam berperilaku beliau menolak jabatan sebagai hakim. Hal ini mungkin bagi orang yang biasa akan mudah tergiur. Karena posisi hakim sangat bergengsi dan sangat mulia. Namun di mata Abu Qilabah posisi ini sesungguhnya posisi yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Posisi ini akan sangat mudah dihembusi setan jika kurang iman. Tindak korupsi, risywah akan mudah dilakukan apalagi jika hal ini dilakukan oleh pejabat negara. Terkadang bagi mereka yang memiliki posisi terhormat, sang hakim akan mudah lemah dan takluk terhadap bisikan penguasa. Pada akhirnya keadilan pun tumbang.
Maka dari itu rasa syukur yang tertanam dalam diri Abu Qilabah dengan mensyukuri kondisi yang ada saat ini, dengan banyak bersyukur atas limpahan nikmat sehingga beliau pun tidak terjebak terhadap godaan dunia yang fana.
Sungguh sulit menemukan orang yang mampu bersyukur dalam kondisi keterbatasan di masa sekarang. Bahkan orang tersebut berani menolak jabatan yang terhormat di mata masyarakat. Pelajaran berharga ini menjadi pembimbing bagi kita dalam menanamkan rasa syukur, qanaah serta zuhud agar tidak mudah tergoda godaan dunia.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, kisah ini diriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad, ia mengatakan, "Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya bunting, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara.
Dari lisannya orang itu mengucapkan, “Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”
Kuatnya Rasa Syukur dan Iman Abu Qilabah
Kemudian aku pun menemuinya, dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?”
Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apa pun kecuali rasa syukur.”
Aku kembali bertanya, “Bersyukur atas apa?” Laki-laki pemilik kemah itu menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang waktu salat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?”
Aku pun menyanggupinya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikelilingi oleh singa. Ternyata anaknya laki-laki itu sudah dimakan oleh singa.
Aku pun bingung bagaimana caraku untuk mengatakannya kepada laki-laki pemilik kemah itu. Aku pun kembali dan berkata kepadanya,
“Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi Ayub?” Laki-laki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.” Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?”
Ia menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.”
Aku kembali bertanya, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana keadaanya?”
Ia menjawab, “Ia bersabar.”
Aku kembali bertanya, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.”
Aku kembali bertanya, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab dan bailk bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku di mana anakku?” Kemudian aku berkata,
“Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.”
Kemudian Laki-laki pemiliki kemah ini mengatakan, “Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia diazab di neraka.”
Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. Aku pun membaringkannya di tangannya dan berpikir apa yang harus aku perbuat. Aku sendirian dan bagaiman aku mengurus jenazah ini. Kemudian aku tutupi dengan jubahku dan beberapa saat kemudian lewat empat orang laki-laki mengendarai kuda.
Mereka berkata, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?”
Kemudian aku pun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami dan aku meminta bantuan kepada mereka untuk mengurus jenazah laki-laki ini. Mereka bertanya, “Siapa dia?”
Lalu aku menjawab, “aku juga tidak mengenalnya, dia dalam keadaan sakit dan memprihatinkan,”
Kemudian keempat laki-laki ini meminta untuk membuka penutup wajahnya, karena mungkin salah satu dari mereka mengenalnya. Ketika aku membuka penutup wajahnya, tiba-tiba mereka tersentak, lalu mencium dan menangisinya, dan berkata, “Subhanallah, wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata yang selalu menunduk atas apa yang diharamkan Allah. Tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur.”
Aku pun bertanya, “Kalian kenal dengan laki-laki ini?”
Mereka menjawab, “Engkau tidak mengenalnya?”
Aku menjawab bahwa aku tidak tau siapa laki-laki ini. Kemudian mereka berkata,
“Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini, pernah dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”
Perlu diketahui bahwa jabatan hakim atau qadhi ini adalah suatu jabatan khusus, dimana mereka akan mengatur hukum dan menentukan hukum di antara manusia. Ini merupakan jabatan yang mulia pada saat itu. Namun, Abu Qilabah menolaknya dan pergi ke wilayah Mesir hingga wafat dalam keadaan seperti ini.
Kemudian Abdullah bin Muhammad bersama empat laki-laki tadi pun memandikan, mengkafani, dan menyalatkannya, sebelum akhirnya memamkamkan beliau. Dikatakan dalam kisah lain bahwa Abu Qilabah ini adalah sahabat Rasulullah terakhir pada masa itu, sehingga khalifah ingin menjadikannya seorang hakim.
Hanya bagi mereka yang memiliki iman dan takwa yang kokoh mampu melakukan hal tersebut.
Di dalam sistem khilafah saja kita akan banyak menjumpai orang-orang luar biasa seperti ini. Karena di sistem khilafah mampu melahirkan generasi unggulan yang berjiwa langit dan berhati surga.[]
Wallahu a’lam biashshawab.
Oleh Heni Ummu Faiz
0 Komentar