Mengkritik Penguasa dalam Perspektif Islam


Mengkritik penguasa dalam Islam merupakan perkara yang penting. Sebab di dalamnya terkandung nasihat untuk kembali pada ketentuan Allah Swt. Dengan kritik ini penguasa akan kembali ke jalan yang benar setelah sebelumnya melakukan kezaliman atau kemaksiatan. Masyarakat akan terlepas dari kezaliman. Dan kehidupan akan kembali tenang dalam kondisi mendapat keridaan Allah Swt.


Kritik pada penguasa juga harus didasarkan karena rasa cinta karena Allah Swt. Bukan karena kebencian personal. Bukan pula karena mengincar jabatan dan posisi tertentu. Pun demikian bukan untuk kepentingan tertentu. 


Itu sebabnya Islam memberikan aturan yang jelas terkait persoalan kritik-mengkritik penguasa. Tentu saja dengan landasan dalil yang kuat. Bukan berpijak pada logika, akal dan hawa nafsu semata. 


Mengoreksi Penguasa: Wajib


 Penguasa pada hakikatnya adalah pihak yang dipercaya umat untuk melakukan pengaturan terhadap berbagai urusannya. Sebab jika urusan umat ini tidak diatur, maka akan sangat memungkinkan terjadi konflik dan muncul banyak pertikaian. Oleh sebab itulah Islam memberikan aturan yang rinci akan hubungan antara umat dan penguasa ini.  


 Islam mewajibkan penguasa melakukan riayah (pengaturan) terhadap umat dengan syariat Islam secara kafah dalam segala aspek kehidupan. Dan umat wajib tunduk dan taat kepada penguasa selama penguasa tidak melakukan penyimpangan terhadap syariat. 


Allah Swt telah menetapkan adanya hak bagi umat secara keseluruhan untuk melakukan kritik (muhasabah) kepada penguasa, jika ia menyimpang dari urusannya, atau melalaikan pengaturan urusan rakyat atau melanggar hukum-hukum Islam dalam pelaksanaannya. Jika hal itu terjadi, Islam malah tidak memberikan pilihan lain bagi umat. Umat wajib melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi pemguasa). Bahkan Islam menjadikannya fardluain bagi para ulama. Karena merekalah kelompok yang memiliki kesadaran terhadap urusan umat dan paham benar dengan urusan agama. 


Sabda Rasulullah saw


سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا


“Akan datang para penguasa, lalu kalian mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa) dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Para sahabat bertanya, Tidaklah kita perangi mereka? Beliau bersabda, Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat. (HR. Muslim)


 Rasulullah saw juga memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang melakukan muhasabah lil hukkam. Rasul menjanjikan pahala yang setara dengan pahala syahid. Sabda Rasulullah saw:


سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ


“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”(HR. al-Hakim dan HR. al-Thabrani)


 Di sisi lain, Islam juga memberi ancaman jika kaum muslimin mengabaikan kewajiban ini. Sabda Rasulullah saw:


وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيبُ لَكُمْ


“Demi yang jiwaku di tanganNya hendaklah kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar, atau (kalau tidak) hampir-hampir Allah akan menurunkan adzab kepada kalian kemudian kalian kemudian kalian berdoa dan tidak dikabulkan. (HR at-Tirmidzi dan al-Baihaqi)


Jelaslah berdasarkan hadits-hadits di atas mengkritik penguasa hukumnya menjadi wajib bagi kaum muslimin. Muhasabah (mengkritisi) kepada penguasa dilakukan dengan mengingkari perkataan, perbuatan dan kebijakan penguasa yang bertentangan Islam. Hal ini tidak dalam rangka untuk menjelek-jelekkan pribadi mereka, tetapi untuk meluruskan agar mereka kembali ke jalan Islam.


Kritik Ulama Terhadap Khalifah

Para penguasa di masa sahabat dan sesudahnya sangat memahami dan mengimani hal ini. Oleh karena itu mereka membuka kesempatan yang seluas-luasnya terhadap pelaksanaan aktivitas muhasabah lil hukkam ini. Bahkan sebagian dari mereka menawarkan dirinya untuk dikritisi terkait perbuatan dan kebijakan mereka selama kritik tersebut dilakukan dengan dilandasi keikhlasan dan berharap rida Allah Swt. 


Adalah Muawiyah, khalifah setelah Ali ra, berdiri di atas mimbar selang tak lama setelah dia megambil kebijakan untuk menghentikan santunan yang diberikan pada sebagian orang dari kaum muslim. Seketika itu juga Abu Muslim al Khaulani berdiri, mengkritik tindakannya yang keliru dengan menghentikan santunan tersebut seraya berkata, Wahai Muawiyah, kami tidak akan mendengar dan tidak akan menaatimu. Muawiyah bertanya, Mengapa wahai Abu Muslim? Abu Muslim menjawab, Wahai Muawiyah, mengapa engkau hentikan santunan itu, padahal harta itu bukan milikmu, bukan pula milik ayah dan ibumu. Mendengar hal itu Muawiyah marah, kemudian dia turun dari mimbarnya dan memerintahkan yang hadir agart tetap di tempatnya. Sesaat Muawiyah meinggalkan tempat tersebut. Kemudian saat kembali, dia mengatakan, Abu Muslim telah mengucapkan sesuatu yang membuatku marah. Sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari setan, sedangkan setan diciptakan dari api. Dan api bisa padam hanya dengan air. Maka jika salah seorang dari kamu marah, mandilah”. Aku pun pergi mandi. Kiranya benar ucapan Abu Muslim, harta itu bukan milikku dan bukan milik ayah ibuku. Oleh karena itu ambil (kembali) pemberian untuk kalian. 


Demikianlah sikap Muawiyah. Jika banyak kisah menceritakan tentang sikap Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang sangat terbuka terhadap kritik dari rakyatnya, pun demikian dengan para khalifah sesudahnya. Kisah Muawiyah ini menjadi salah satu bukti sejarah, bagaimana sikap khalifah dalam menerima kritik. 


Al Ghazali juga pernah menulis surat kepada Fakhr al Malik. Setelah menyebut-nyebut perihal kezaliman dan perilaku buruk yang terjadi di negerinya, al Ghazali kemudian memberi peringatan. Ia menuliskan, Aku telah memberi nasehat kepada banyak pejabat, tetapi mereka tidak mau menerima nasehatku. Maka (dengan surat ini) semoga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mengetahui dan menjadi pertimbangan bagi orang-orang yang datang kemudian. Wahai Fakhr al Malik, ketahuilah bahwa perkataan ini menyakitkan, berasa pahit dan keras. Tidak akan berani diucapkan melainkan oleh orang yang sudah putus harapannya akan perhatian dari para raja dan penguasa. Maka perlakukanlah dengan sepatutnya, karena engkau tidak mau mendengarkan kecuali yang berasal dariku. Dan ketahuilah bahwa makanan (dunia) ini bisa menjadi penghalang antara dia dengan kalimat yang hak. 


Demikianlah masukan, kritik dan saran itu diberikan oleh orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan iman dan paham akan agama, diucapkan dari lidah orang-orang yang berilmu, yang lantang dan berani. Kritik ini didengar oleh telinga orang-orang yang sadar, yang telah berjanji kepada Allah untuk mengatur urusan umat berlandaskan syariat Allah dan menegakkan hukum Al Quran. Sungguh mereka adalah sebaik-baik ulama dan sebaik-baik penguasa.

Syeikh Abdul Azis al Badri menuliskan dalam bukunya yang berjudul Al Islam bayna al Ulama wa al Hukkam menuliskan beberapa faktor yang menyebabkan penguasa bertindak zalim, tidak mau mendengarkan kritik dan berikap buruk bahkan sampai manjatuhkan hukuman dan siksaan terhadap para ulama. 


Pertama, karena adanya permusuhan penguasa terhadap para ulama. Penguasa merasa cemas dan gelisah karena ada ulama yang memiliki kepekaan yang tajam di wilayahnya, memiliki pemikiran cemerlang yang mendorongnya untuk bersikap kritis terhadap perbuatan penguasa, mempunyai kemampuan untuk mengungkap buruknya pengaturan penguasa terhadap rakyatnya sehingga masyarakat mengetahui hakekatnya. Untuk membatasinya, para penguasa menjatuhkan berbagai siksaan dan ujian sebagai hukuman bagi siapa saja yang menentang dan mengingkarinya.


Kedua, karena suara para ulama didengar oleh masyarakat. Para ulama menyampaikan Islam dengan berani sehingga dada para penguasa terasa sempit lalu mereka menjatuhkan siksaan.


Ketiga, karena penguasa menugaskan para ulama menjalankan sesuatu tetapi mereka menolaknya karena melanggar syariat. Akibatnya para ulama itu mendapat sanksi dan kesulitan.


Keempat, karena para ulama mengumumkan perbedaan pandangannya dengan penguasa lalu menyerangnya sehingga membuat penguasa murka. Pada akhirnya para ulama itu dipenjarakan atau disiksa.


Kelima, karena para ulama menolak pemberian penguasa atau menolak bekerja sama demi kepentingan penguasa. Akibatnya penguasa menyiksa mereka disebabkan keinginannya ditolak.


Akan tetapi para penguasa itu pada hakikatnya melakukan semuai itu bukan dilandasi oleh kebencian terhadap Islam, juga bukan penolakan mereka terhadap petunjuk. Mereka tetap menerapkan sistem Islam meskipun terdapat keburukan dalam penerapannya. Mereka hanya tergoda oleh kekuasaan dan jabatan. Dan itu adalah godaan yang besar dan beragam banyaknya.


Pada tahun 637 H, Sultan Shaleh Ismail mengangkat al Iz bin Abdus Salam, yang dikenal dengan gelarnya Sultannya ulama, sebagai imam dan khatib masjid jami di Damaskus. Tapi ia tidak lama duduk dalam jabatannya, karena tahun 638 H ia sudah diberhentikan. Penyebabnya karena ia melakukan kritikan kepada Shaleh Ismail yang terlibat dalam peristiwa pengkhianatan politik saat itu. Al Iz bin Abdus Salam tidak rela mimbar maasjid yang telah digagas oleh Rasulullah saw itu dikotori kesuciannya dengan berbagai rekayasa dan membungkam kebenaran. Akibatnya dia dicopot dari jabatannya dan ditahan.


Para ulama yang mengalami ujian dan siksaan dalam mempertahankan agamanya, memperjuangkan syariat Islam itu sangat banyak jumlahnya. Diantaranya Imam Jafar as Shadiq, Imam Abu Hanifah an Numan, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Ahmad bin Taimiyah dan masih banyak lagi. Mereka adalah para ulama yang berani bersuara lantang menyuarakan kebenaran. Adapun para penguasa yang bertindak buruk dan berlaku zalim maka urusan mereka diserahkan kepada Allah swt. 


Mendamba Kembalinya Sistem Khilafah


Demikianlah gambaran kehidupan dalam Daulah Khilafah yang menerapkan sistem Islam. Inilah satu-satunya sistem yang diridai Allah swt. Namun kehidupan dunia telah membutakan dan setan akan terus menggoda para penguasa. Para penguasa ini kadangkala terpelesat dari jalan hidup yang benar. Para ulamalah yang kemudian mengarahkan dan membimbing mereka, mengingkari perbuatan buruk mereka dan menantang siksaan yang mereka jatuhkan. 


Karena itu Islam menjadikan aktivitas muhasabah lil hukkan (mengkritik penguasa) sebagai aktivitas yang penting dalam sebuah sistem pemerintahan dan Islam mengaturnya dengan sangat rinci. Aktivitas ini adalah aktivitas yang mulia, pelakunya mendapat pahala dan diganjar dengan surga selama landasan kritiknya adalah syariat Islam. Karena itu wajar jika kaum muslimin mendamba kehidupan seperti ini. Penguasanya bertakwa, ulamanya siap meluruskan. Tidakkah kita ingin hidup dalam sistem yang demikian? Wallahu alam. 


Oleh Kamilia Mustadjab


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Maa syaa Allah...hanya dalam sistem khilafah Islam setiap orang bebas untuk melakukan kritik bahkan menjadi habit para ulama untuk menasehati penguasa, semua bermuara kepada keinginan untuk kebaikan dan ridha Ilahi. Beda jauh dengan sitem demokrasi saat ini, kritik dianggap ancaman. Masyarakat bahkan para ulamapun akhirnya banyak yang lebih memilih diam, akhirnya kezaliman dan kerusakan terus berlanjut, meluas bahkan bisa berakibat tak lagi didengarnya doa dan azab yang merata. Naudzu billah.....

    BalasHapus