Sebulan berlalu sejak terungkapnya gerombolan jaringan prostitusi online di Apartemen Green Pramuka, Jakarta Pusat pada awal Januari 2021[1]. Namun gema aktifitas serupa yang melibatkan anak-anak di bawah umur nampaknya beresonansi hingga saat ini dan bahkan merambah ke berbagai wilayah lain di Indonesia. Tertangkapnya 47 orang yang terlibat dalam sindikat bisnis haram dalam jaringan ini nyatanya tak membuat sindikat serupa yang masih beroperasi menjadi jeri dan menghentikan aksinya.
Bagaimana tidak, dalam selang waktu tak sampai dua minggu kepolisian kembali mengungkap beberapa kasus prostitusi online yang lagi-lagi menjaring anak-anak di bawah umur. Dapat kita lihat dalam pemberitaan di bulan Januari, dimana terdapat kasus serupa di Sunter, Jakarta Utara yang melibatkan 4 remaja[2], kemudian di Mojokerto[3] dan Sidoarjo yang melibatkan 36 anak[4]. Sementara itu memasuki awal bulan Februari ditemukan pula kasus di Bengkulu[5], Makassar[6], dan Pontianak[7] yang melibatkan anak di bawah umur.
Menjamurnya aksi semisal perdagangan manusia ini tentu sangat mengkhawatirkan. Kasus demi kasus yang kian berulang sedari dulu seakan menuntut pemerintah untuk melakukan tindakan akurat demi menyelamatkan generasi dari eksploitasi seksual. Upaya pemerintah melalui ancaman sanksi sesuai Pasal 78i Jo Pasal 88 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara, kemudian ancaman lainnya melalui Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang prostitusi daring dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar, seakan belum cukup untuk mencegah para pelaku untuk melakukan aksi serupa. Alih-alih membuat jera, ancaman sanksi tersebut malah membuat kejahatan ini berkembang lebih gencar dan lihai demi berkelit dari jeratan hukum.
Hedonisme dalam Jaringan
Fenomena gunung es anak yang terlibat prostitusi telah terdeteksi sejak lama. Prevalensi pelacuran anak di bawah 18 tahun di Indonesia, ada sekitar 30 persen. Menurut psikolog anak Ghianina Yasira Armand, BSc Psychology, MSc Child development, sekitar 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual[8].
Ghianina juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa faktor yang ditengarai merupakan penyebab terjadinya prostitusi anak. Faktor ekonomi adalah salah satu kontributor utama selain faktor pendidikan dan faktor lingkungan. Hanya saja, saat ini faktor ekonomi nampaknya lebih mendominasi terjeratnya anak-anak dalam praktek asusila tersebut. Bahkan motif ekonomi yang dulu didorong oleh kondisi keluarga maupun jebakan para mucikari melalui berbagai modus, saat ini beralih rupa dengan transformasi yang lebih merusak. Para remaja tanggung tersebut bahkan secara sukarela melibatkan diri ke dalam bisnis esek-esek yang menghancurkan masa depan dirinya tersebut.
Kondisi ini terungkap dari informasi yang digali Polisi dari mucikari yang tertangkap di Mojokerto. OS, sang mucikari, mengaku bahwa dia dihubungi oleh banyak anak-anak di bawah umur yang justru tertarik untuk bergabung di komunitasnya, dan menawarkan jasa prostitusi[9]. Anak-anak tersebut bahkan telah berprofesi sebagai wanita panggilan sebelumnya. Hal ini tentu sangat menggiriskan, mengingat data tercatat mengenai jumlah yang sesungguhnya dari generasi muda yang telah terjerumus ini tak pernah benar-benar diketahui secara pasti.
Dugaan kuat maraknya generasi muda yang menjerumuskan diri ke dalam lingkaran transaksi zina tersebut bukan lagi sekedar faktor memenuhi kebutuhan hidup semata. Faktor lingkungan dan pergaulan yang mendukung gaya hidup hedonis menjadi pemicu terlibatnya anak dalam kehidupan gelap. Selain itu, mudahnya memperoleh penghasilan secara instan membuat bisnis ini semakin bersinar, layaknya cahaya lilin yang menarik laron untuk datang. Anak-anak tersebut tergiur dengan cepat tanpa menyadari bahwa diri mereka akan terbakar dan sia-sia.
Berkembangnya teknologi yang tak lagi membutuhkan tempat secara fisik untuk menjajakan diri, semakin memudahkan terjadinya transaksi. Lapak virtual berserakan melalui media sosial dan aplikasi chat yang terselubung. Hedonisme dalam jaringan meruak dan menjerat generasi muda menjadi pribadi yang ringkih dan absen dalam aktivitas membangun peradaban yang mulia.
Mencari Kebahagiaan yang Hakiki
Sekulerisme telah menghunjamkan akarnya ke benak kaum muslimin sejak runtuhnya Khilafah Islam pada tahun 1924 di Turki oleh Mustafa Kemal Attturk. Gelombang pemisahan antara agama dari kehidupan menghempas generasi muda hingga menggerus pemikiran Islam dari dalam diri mereka. Pandangan akan kebahagiaan pun berubah total mengikuti arahan para kapitalis yang saat ini memegang puncak peradaban dunia.
Para pemuda dan pemudi saat ini telah terbiasa menyaksikan dan mengalami bagaimana peraturan-peraturan yang dibangun di atas dasar sekulerisme menghasilkan pandangan akan kebahagiaan yang melulu mengerucut kepada pemenuhan materi semata. Begitu pula saat menerima pendidikan, asas yang menjauhkan agama dari aturan berbangsa dan bernegara menghasilkan generasi yang apatis terhadap kerusakan yang ada di sekitar mereka. Mereka memandang bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila kenikmatan fisik dan kekayaan materi telah mereka peroleh.
Namun, pada kenyataannya, kebahagiaan yang mereka cari tersebut senantiasa berujung pada kesengsaraan. Materi yang didapatkan seakan air laut yang semakin diminum semakin membuat haus. Pada akhirnya para pencari kenikmatan semu ini pun berakhir mengenaskan. Jika tidak terjerat pada eksploitasi anak, maka menjadi penderita penyakt menular seksual yang mematikan.
Berbeda dengan Islam, pandangan tentang kebahagiaan diukur bukan pada banyak tidaknya materi yang didapatkan, namun pada ridho atau tidaknya Allah atas segala yang mereka perbuat[10]. Abul Qasim Abu Abdur Rahman mengatakan, “Siapa saja yang dianugerahi hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berzikir dan tubuh yang sabar, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta dipelihara dari siksa neraka.”
Oleh sebab itu, bagi seorang muslim, meraih surga dan terhindar dari neraka adalah manifestasi dari kebahagiaan hakiki, sebagai konsekuensi dari tergapainya ridho Allah SWT. Demi meraih ridho Allah maka menjauhi segala bentuk larangan Allah dan menjalankan seluruh perintah Allah akan menjadi rambu-rambu baginya di dalam menjalani kehidupan dunia. Saat seorang muslim menjalankan syariat Allah secara kaffah, maka saat itulah ia akan memperoleh kebahagiaan yang diidam-idamkannya.
Tak dapat dipungkiri, jika kita menginginkan generasi muda bangsa ini terhindar dari perilaku hedonism, maka mau tidak mau harus dilakukan revolusi pemikiran secara fundamental. Hal ini dapat dilakukan dengan mencabut pemikiran sekuler yang membenam di benak kaum muslimin hingga ke akarnya dan menggantinya dengan pemikiran Islam yang shahih.
Tak cukup hingga di situ saja. Negara harus pula menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Jika tidak, maka praktek prostitusi daring ini akan terus berlanjut, sebab aturan demokrasi yang bersumber dari sekulerisme masih diterapkan. Penerapan aturan-aturan sekuler senantiasa akan menumbuhkan dengan subur perilaku mencari keuntungan semata. Bisnis prostitusi yang menguntungkan akan terus berjalan selama dianggap mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Selama bisnis ini masih melenggang bebas, maka penawaran dan permintaan pun akan terus berlanjut.
Mencabut sekulerisme hingga ke akarnya dan menggantinya dengan pemikiran Islam dan penerapan aturan Islam secara kaffah, merupakan jaminan total untuk menghentikan hedonisme dan perilaku konsumtif remaja yang menjerumuskan mereka ke lembah prostitusi. Remaja membutuhkan perisai betupa institusi negara yang mampu menaungi mereka untuk senantiasa berjalan di dalam kehidupan Islam. Hanya dengan cara inilah generasi penerus bangsa yang mampu diharapkan menjadi pembangun peradaban mulia dapat terwujud. Wallahualam .[]
Daftar Rujukan:
megapolitan.kompas.com, 12/01/2021;
megapolitan.kompas.com,26/01/2021;
liputan6.com, 26/01/2021;
cnnindonesia.com, 02/02/2021;
regional.inews.id, 01/02/2021;
regional.kompas.com, 08/02/2021;
sindonews.com, 13/02/2021;
sains.kompas.com, 06/02/2020;
republika.co.id, 01/02/2021;
Kitab Nidzhomul Islam, Taqiyuddin An Nabhani.
Oleh Ghayda Azkadina
0 Komentar