"Silakan kritik dan beri kami masukan di satu sisi, sementara di sisi lain negara tidak boleh kalah dengan rakyatnya."
Ungkapan dari penguasa ini merupakan sebuah fenomena ilusi demokrasi yang lahir dengan spirit menghapus otoritarian. Memiliki cita-cita menjadi model negara yang menerima kritik, transparansi serta semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Dahulu sistem otoritarian dijalankan oleh satu orang kaisar atau raja. Lalu bagaimana dalam sistem demokrasi? Realitanya sistem pemerintahan ini pun telah melahirkan tirani minoritas terhadap mayoritas. Adanya oligarki sekelompok orang yang melanggengkan kekuasaan dengan perilaku tak ubahnya para tiran.
Demokrasi sejatinya hanyalah kedok. Setiap hari kita disajikan aneka tontonan yang episode demi episodenya semakin menguak motif, skenario dan aktor tiran yang berkhianat melalui amanah yang dia dapatkan dengan cara paling demokratis versi mereka sekalipun.
Dapat kita saksikan, yang menjadi korban utamanya ialah muslim yang memperjuangkan agar hak-haknya dipenuhi. Contoh fenomena yang ada yakni monsterisasi Islam, deradikalisasi, Islam dituduh menjadi sumber kegaduhan, bahkan dengan alibi sebagai ancaman bagi NKRI.
Seolah menjadi sah bagi rezim negeri ini untuk melakukan persekusi terhadap ajaran Islam dan ulama yang sebenarnya memiliki hak yang sama untuk menyampaikan suaranya sebagaimana kebebasan yang diagungkan dan dikeramatkan oleh demokrasi. Jadilah demokrasi ini menjadi monster yang represif dan destruktif bagi umat Islam.
Keberpihakan freedom of speech seolah hanya bagi mereka yang satu frekuensi dengan rezim dan penjajah yang anti Islam. Bagi siapa saja yang berani mengoreksi kebijakan atau mengkritik projek para oligarki dan rezim layak berdiri dalam antrian pesakitan.
Benar apa yang ditulis oleh Steven levitsky dan Daniel ziblatt, dua ilmuwan dari Harvard university dalam buku mereka yang berjudul How Democracies Die. Demokrasi akan mati bukan oleh siapa-siapa. Bukan oleh raja, kaisar atau khalifah, tapi oleh para penguasa yang menerapkan demokrasi itu sendiri.
Setidaknya ada 4 indikator penguasa yang akan menjagal demokrasi dengan sendirinya, di antaranya ialah:
1. Seringkali melakukan amandemen UU atau mengubah-ubah kebijakan terkait melarang organisasi tertentu atau membatasi hak politik warga negaranya.
2. Penolakan terhadap legitimasi oposisi. Indikasinya ialah menstigmatisasi lawan politiknya dengan sebutan subversif, mengancam ideologi negara, mengkriminalisasi lawan politik dengan tuduhan yang mengada- ada.
3. Bertoleransi dengan aksi kekerasan. Contohnya ialah penguasa yang memiliki afiliasi dengan ormas tertentu. Sehingga ormas tersebut cenderung seringkali main hakim sendiri. Terhadap siapa saja yang tidak sejalan dan satu frekuensi dengan kezaliman penguasa.
4. Siap siaga membungkam kebebasan sipil dengan UU terutama ialah membungkam hak-hak politik warga negara.
Kempat indikator di atas adalah kondisi alamiah dari penerapan demokrasi, yang suka tidak suka atau mau tidak mau harus di terima para pengemban demokrasi.
Konsekuensi logis berikutnya akan lahir diktator gaya baru yang tidak kalah destruktif karena hak kebebasan menyampaikan pendapat dan menasihati penguasa telah terkebiri.
Kritik terhadap berbagai kebijakan dan solusi brilian yang ditawarkan oleh rakyat malah dianggap sebagai ancaman. Dalam hal ini, penguasa tak ingin kepentingannya atas supremasi yang mereka miliki terusik. Mereka tak butuh solusi, hanya kekuasaan yang selalu menjadi ambisi.
Inilah Jawaban mengapa kritik yang diberikan oleh rakyat tak didengarkan? Terlebih lagi kritik-kritik yang dilontarkan dengan sudut pandang ideologi Islam sebagaRupanya ide-ide yang ditawarkan ini dirasa akan membahayakan eksistensi penjajahan melalui kaki tangan mereka di negeri ini. Dan juga menjadi ancaman bagi eksistensi penguasa lokal beserta kepentingannya untuk menuruti syahwat kekuasaan mereka. []
Wallahua'lam bishowab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar