Mungkinkah Keadilan Ditegakkan dengan Revisi UU ITE?

 


Banyak pengamat keamanan siber menilai bahwa revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi hal yang sangat perlu dilakukan. Hal ini karena, UU ITE memang sudah banyak dikeluhkan implementasinya. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 UU ITE misalnya, seringkali digunakan untuk memidanakan korban, ketika melakukan penyampaian kritik. Contohnya, dalam beberapa kasus penyebaran konten hoax, yang ditangkap adalah pihak-pihak yang menyebarkan saja. Padahal mereka juga korban, karena terhasut untuk menyebarkannya sementara mereka tidak tahu konten yang diposting adalah hoax.

Sebelumnya, pada Senin (15/2/2021), Presiden RI menyatakan akan mengajukan revisi UU ITE ke DPR jika UU tersebut dinilai tidak bisa memberi rasa keadilan. DPR RI saat ini memang belum menentukan Program Legislasi Nasional ( Prolegnas) Prioritas 2021, jadi besar kemungkinan revisi UU ITE akan masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun ini.

Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC  (Communication & Information System Security Research Center) menyatakan dukungan terhadap rencana Presiden RI merevisi ‘pasal karet’ di UU ITE. Menurutnya, untuk perkara pencemaran nama baik, cukup dengan menggunakan pasal-pasal di KUHP saja. Pratama lebih lanjut berharap, revisi UU ITE ini menjadi legal standing bagi aparat kepolisian untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual yang membuat konten hoax. Jadi bukan hanya masyarakat yang ikut menyebarkan saja yang diperkarakan.

Sebenarnya mudah saja untuk membuktikan bahwa penyebar hoax adalah korban, bukan bagian dari tim yang memroduksi dan menyebarkannya, jika aktor intelektual di belakang layarnya bisa ditangkap. Kemudian langkah untuk memberikan edukasi anti hoax yang memadai juga sangat diperlukan untuk  masyarakat. Selama ini edukasi seperti ini sangat kurang dilakukan. Menurut Islam, mengedukasi rakyat agar cerdas dalam menggunakan media adalah kewajiban pemimpin kepada rakyatnya. Setiap berita harus terjamin kebenarannya sebelum disebarkan ke publik.

Masyarakat seharusnya justru dilindungi dan diedukasi tentang konten hoax ini. Sehingga UU ITE ini menjadi pelindung masyarakat dari penyebaran konten hoax, bukan menjadi momok yang menakutkan. Masyarakat sebenarnya sangat membutuhkan pendekatan persuasif tentang penyebaran konten hoax ini, bukan pendekatan hukum yang mengancam.

Karena urgensitasnya, PKS mendesak presiden segera melakukan upaya revisi terhadap UU ITE ini. Bahkan PKS dan PD  memberi saran bahwa presiden bisa menerbitkan Perpu tentang revisi UU ITE, jika memang terjadi kondisi genting di masyarakat. Benny K. Harman, waketum PD menyatakan lebih lanjut  kepada wartawan pada Rabu (17/2/2021), bahwa Polri sebagai penegak hukum juga harus adil dalam penegakkan UU ITE ini. Polri harus berdiri pada azas keadilan dan persamaan di mata hukum, dan tidak menjadikan hukum ‘tajam ke atas, tetapi tumpul ke bawah.’ Benny juga menambahkan bahwa, kalau rezim otoriter, hukum yang baik pun bisa disalahgunakan, apalagi kalau hukumnya buruk atau represif.

Sementara itu, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa pelapor kasus terkait UU ITE adalah harus korban sendiri dan tidak boleh diwakilkan. Terhadap pernyataan Kapolri ini, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Pangeran Khairul Saleh meminta agar dibuat pedoman dengan kriteria yang jelas dan terperinci  terkait hal itu (17/2/2021). Hal ini, menurut Pangeran Khairul, supaya jelas apa-apa yang dilanggar, terutama pasal-pasal yang menyangkut pencemaran nama baik, fitnah, ujaran kebencian, dan sejenisnya.

Selanjutnya, Pangeran Khairul meminta aparat kepolisian agar tidak lagi melakukan penyergapan tanpa didahului adanya laporan dari pelapor (pejabat), seperti yang sudah sering terjadi. Ia juga berharap agar peraturan ini tidak memihak siapapun, dan harus menjamin rasa keadilan serta dilandasi oleh kebebasan berpendapat. Pengawasan terhadap proses penyidikan kasus terkait UU ITE juga harus transparan dan akuntabel.

Pedoman yang jelas dan terperinci terkait pelaporan diharapkan agar UU ITE tidak disalahgunakan sebagai alat saling lapor oleh masyarakat. Pendekatan mediasi juga harus didahulukan dari pada upaya pelaporan. Hal ini diharapkan agar tidak terjadi saling lapor yang berujung pada konflik horizontal di masyarakat. 

Lebih jauh, pasal-pasal ‘karet’ yang sering menjadi momok untuk membungkam kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers harus diprioritaskan untuk direvisi. Diharapkan, ada kemauan dari presiden dan DPR untuk lebih bijak dalam menerima masukan dan kritikan dari rakyat. Hal ini agar menyampaikan pendapat tidak menjadi aktifitas yang dihindari untuk dilakukan oleh rakyat. Apalagi jika pendapat yang disampaikan mengandung nilai kebenaran dan bertujuan untuk kebaikan bersama.

Dahulu, di masa Khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin negara, ia tidak pernah melarang rakyat menyampaikan pendapat-pendapat mereka. Hal ini karena, dalam Islam wajib menyampaikan nasihat (kritik) kepada siapapun. Salah satu contoh adalah ketika Khalifah Umar dikritik oleh seorang perempuan ketika Umar selesai berpidato : “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberi mahar kepada istri. Karena mahar Rasulullah dan para sahabat hanya sebesar 400 dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

Konten pidato Umar sontak dikritik oleh seorang perempuan Quraisy dengan kata-kata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” “Ya,” jawab Umar. “Apakah engkau tidak pernah mendengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan Surah An-Nisa ayat 20), ujar wanita itu. Umar tersentak, lalu menjawab, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.”Menyadari kekeliruannya, Umar kemudian menyampaikan revisinya terhadap pernyataanya sebelumnya.

Sebelum Umar bin Khattab menjadi khalifah, Umar dan para sahabat yang lain telah sering mengritik Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salam. Masukan dari para sahabat kepada Rasulullah sering kali hingga menimbulkan adu argumentasi. Beberapa waktu kemudian Allah menurunkan ayat sebagai solusi bagi permasalahan yang diperdebatkan. Namun ada kalanya Allah membenarkan pendapat sahabat dari pada pendapat pribadi Rasulullah. Hal ini tentu tidak terlepas dari aturan hidup yang diterapkan dalam negara pada waktu itu, yaitu aturan Islam, bukan yang lain.

Aturan Islam menjamin kebebasan siapapun menyampaikan kebenaran kepada siapapun, termasuk kepada pemimpin negara. Inilah sekilas potret pemimpin yang tidak alergi terhadap kritik dan masukan pendapat dari rakyatnya. Potret pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Dengan kisah ini, hendaklah para pemimpin hari ini bercermin diri, bahwa pemimpin sejatinya haruslah demikian. []


Oleh Dewi Purnasari,

Aktivis dakwah politik.


Posting Komentar

0 Komentar