Betapa malang nasib para tenaga kesehatan (nakes) di Depok. Pahlawan dimasa pandemi yang digadang-gadang sebagai garda terdepan, namun insentifnya tertahan belum juga dibayarkan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita, mengatakan bahwa para tenaga kesehatan di wilayahnya belum menerima insentif sejak akhir tahun lalu.(Kompas, 19/2/2021).
Nyatanya, hal yang sama juga dirasakan oleh nakes di beberapa wilayah di Indonesia. Insentif yang sudah seharusnya menjadi hak mereka belum juga cair sejak beberapa bulan lalu.
Selain itu, besaran insentif untuk tahun 2021 ini pun akan mengalami penurunan alias dipotong dari jumlah sebelumnya. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor: S-65/MK.02/2021 soal ketetapan besaran insentif nakes tersebut.
Kebijakan yang sungguh tak bijak ini tentu saja menyesakkan bagi banyak nakes. Di saat mereka harus berjibaku di medan pertempuran pandemi covid-19, bahkan banyak diantaranya yang gugur ketika mengemban tugas mulia ini. Alih-alih perhatian yang didapatkan para nakes semakin besar, ini malah sebaliknya.
Sungguh penguasa negeri kita telah tumpul kepekaan jiwanya. Para nakes sudah mengorbankan keselamatannya, diantaranya banyak yang meregang nyawa, kini yang masih bertahan pun dibuat seakan-akan hidup segan mati tak mau. Bagaimana tidak? Gaji nakes yang dibayarkan sungguh tak imbang dengan resiko yang harus mereka terima. Ditambah lagi dengan tunjangan intensif yang merupakan hak nakes tak kunjung cair.
Nasib Nakes Dalam Sistem Kapitalisme
Jumlah tenaga kesehatan yang dimiliki Indonesia harus diakui masih sangat minim jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.Pandemi covid-19 menjadi tantangan besar karena jumlah tenaga medis kita yang cukup rendah. Bahkan tertinggal dibandingkan dengan jumlah nakes di negara tetangga, yakni Malaysia.
Pandemi membuat beban kerja nakes semakin berat. Dengan jumlah nakes yang terbatas, waktu istirahat pun menjadi tidak bisa optimal, sehingga memunculkan risiko burn out. Para nakes terporsir tenaga dan pikirannya hingga imunitasnya menurun, akhirnya mudah sekali terpapar dengan virus covid-19.
Bahkan, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mohammad Adib Khumaidi mengungkapkan, jumlah kematian petugas medis akibat Covid-19 di Indonesia secara persentase termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara dan dunia, yakni mencapai 2,4%.
Dari angka tersebut, dapat diketahui bahwa rasio kematian tenaga kesehatan Indonesia enam kali lipat lebih tinggi daripada Amerika yang hanya mencatatkan angka 0,37% per 13 Juli 2020. (Beritasatu.com 2/8/2020).
Pengorbanan nakes bak gayung yang tak bersambut. Kinerja nakes tak jua dihargai. Insentif yang dijanjikan hanya sebatas lip service pejabat semata. Sebab untung rugi menjadi pertimbangan negara dalam menggelontorkan dana kesehatan.
Oleh karenanya, masalah utamanya terletak pada paradigma negara memandang kesehatan: apakah tunjangan insentif para nakes ini sebagai beban, atau tanggung jawab. Ketika ini dianggap beban, maka layaknya orang yang sedang dapat beban, akan sedapat mungkin berusaha mengurangi bebannya, menunda-nundanya, atau mengabaikannya dengan lagak pura-pura lupa. Nakes hanya dijadikan tumbal kepentingan para penguasa yang tak becus atasi pandemi . Bagai ditinggal 'berperang' sendiri di medan juang sampai binasa. Begitu gambaran nakes saat ini.
Islam Lingdungi Para Nakes
Kesehatan adalah kebutuhan pokok setiap warga yang harus dipenuhi oleh negara. Itulah pandangan Islam terhadap kesehatan. Sebagaimana kebutuhan sandang, papan dan pangan. Negara dalam Islam yakni Khilafah sudah pasti menjamin perlindungan untuk para nakes.
Sebab Islam sangat menghargai satu nyawa. Di sisi Allah, hilangnya seorang muslim lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.”
(HR. Nasa'i dan Turmudzi)
Terlebih nyawa nakes yang menjadi taruhannya. Terlepas dari qodho' Allah, bahwa ajal akan menghampiri setiap insan manusia. Oleh karena itu sudah seharusnya penguasa benar-benar bersungguh-sunguh untuk menjaga, melindungi, serta menjamin kenyamanan para nakes dalam melakukan tugas . Sebab, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhannya.
“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”
(HR al-Bukhari).
Sepanjang sejarah kegemilangan Islam, dokter pada masa kekhilafahan Utsmani kala itu rata-rata berpendapatan lebih dari 20 ribu dinar setiap tahunnya.
Philip K. Hitti dalam buku History of the Arabs menyebutkan bahwa dokter di masa kekhilafahan Abbasiyah mendapatkan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Tercatat seorang dokter bernama Jibril ibn Bakhtisyu (w. 830) adalah dokter Khalifah al Rasyid, al Ma'mun, juga keluarga Barmak, dan diriwayatkan telah mengumpulkan kekayaan sebanyak 88.800.000 dirham, membuktikan bahwa profesi dokter sangat dijamin kesejahteraan ekonominya.
Tiap keahlian yang dimiliki tenaga kesehatan, diganjar dengan sejumlah materi yang berlimpah. Disebutkan bahwa upah bekamnya saja sebesar 100 dirham, belum lagi sejumlah uang yang sama sebagai imbal jasa memberikan obat penghancur makanan di usus. Bandingkan dengan besaran anggaran kesehatan yang disediakan oleh pemerintah selalu berbicara efisiensi.
Anggaran cekak ini tentunya berujung pada insentif nakes yang minimalis. Bahkan setelah BPJS surplus Rp 18,7 Triliun, nyatanya peluh para nakes tak kunjung terbayar.
Pembiayaan kesehatan termasuk gaji nakes merupakan salah satu pembiayaan wajib yang harus disediakan daulah Khilafah baik ada maupun tidak ada dananya di pos baitul mal, mengingat keberadaannya adalah bentuk langsung pelayanan daulah Khilafah terhadap warganya sesuai peran pemerintah sebagai ra'in.Sebab pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Sayangnya,gambaran diatas baru sebatas cita. Islam sebagai agama sekaligus aturan yang mengatur seluruh kehidupan manusia ditinggalkan begitu saja. Khilafah yang memberi perlindungan terhadap pelayanan dan tenaga kesehatan, sekaligus membawa rahmat bagi semesta alam diabaikan begitu saja.
Masihkah kita mau bertahan hidup beriringan dengan sistem kapitalisme ini? Yang sama sekali tak menguntungkan, namun justru menyengsarakan. Adapun untungnya, hanya dirasakan oleh para pemilik cuan.
Wallahu’alam bishawab.[]
Oleh Nurina P. Sari.
0 Komentar