Orientasi Bisnis pada Program Vaksinasi Covid-19

 


Sejak awal tahun 2021 ini Lembaga Pengelola Dana Jaminan Kesehatan Nasional ( BPJS) Kesehatan kembali menaikan iuran pesertanya dikarenakan turunnya biaya subsidi kesehatan dari pemerintah. Kenaikan iuran ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020. Dengan demikian, daftar biaya iuran BPJS Kesehatan 2021 terbaru adalah: untuk Kelas 1: Rp. 150.000, untuk Kelas 2: Rp. 100.000, dan untuk Kelas 3: 35.000. 


Sementara sebelumnya, yaitu mulai 1 Agustus 2019, pemerintah telah menonaktifkan 5.227.852 peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPKS Kesehatan. Peserta PBI JKN adalah peserta BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung oleh APBN, yaitu dari kalangan masyarakat miskin. Staf Khusus Menteri Sosial, Febri Hendri Antoni waktu itu menyatakan bahwa penonaktifan 5,227.852 peserta PBI JKN tersebut adalah upaya perapihan data dan pendataan kembali. 


Di tahun 2020 BPJS Kesehatan menyatakan adanya arus dana positif (surpus) senilai Rp. 18,7 trilyun. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris meng-klaim, bahwa surplus ini membuktikan kemampuan BPJS Kesehatan dalam membayar seluruh tagihan dengan tepat waktu. Sehingga selanjutnya diharapkan mulai tahun 2021 ini BPJS Kesehatan mulai bisa melakukan pencadangan keuangan sesuai regulasi.


Perbaikan kondisi keuangan ini, dianggap berdampak pada kualitas pelayanan bagi peserta. Selanjutnya, Fachmi menyatakan bahwa angka kepuasan peserta BPJS Kesehatan pada tahun 2020 naik menjadi 81,5 persen. Sedangkan untuk kepuasan fasilitas kesehatan pada tahun 2020 meningkat menjadi 81,3 persen. 


Namun anehnya, Persatuan Perawat Nasional (PPNI) baru-baru ini menerima laporan tentang keterlambatan pembayaran insentif tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 di berbagai daerah, Tempo (16/2/2021). Tercatat keterlambatan ini terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pirngadi, Medan, Sumatera Utara; RSUD M. Yunus, Bengkulu; sejumlah RS rujukan Covid-19 di kalimantan Selatan; dan beberapa RS swasta rujukan Covid-19 di Bekasi, Jawa Barat. Padahal, tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 sudah mempertaruhkan nyawanya untuk merawat pasian Covid-19. Namun upaya mereka seolah tidak dihargai sedikitpun.


Di tengah kondisi surplus yang dialami oleh BPJS Kesehatan, Presiden RI, pada 10 Februari 2021 menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin serta Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Covid-19. Di dalam Perpres tersebut, diatur ketentuan pengadaan vaksin bagi badan usaha swasta dan asing, hingga sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksinasi. Pengadaan vaksin oleh badan usaha milik swasta dan asing ini tentu tidak lepas dari adanya jual beli vaksin oleh swasta dan asing, dengan harga yang rencananya ditentukan oleh pemerintah.


Terkait hal ini, pemerintah menjamin bahwa vaksinasi Covid-19 mandiri untuk karyawan swasta tidak akan mengganggu Program Vaksinasi Gratis oleh pemerintah. Ini karena, vaksinasi berbayar tersebut akan menggunakan jalur distribusi berbeda dan petugas yang berbeda pula, Tempo (16/2/2021).


Namun sejumlah ahli epidemiolog mengingatkan adanya potensi komersialisasi dan tumpang tindih vaksin, padahal produksi vaksin dunia masih terbatas. Menurut para epidemiolog, vaksinasi mandiri berpotensi mendorong pihak swasta berlomba-lomba membeli vaksin, untuk dijual kembali. Hal ini dapat berakibat jatah untuk negara jadi berkurang. Lebih jauh, mereka juga kawatir program vaksinasi mandiri justru akan menggagalkan pengendalian pandemi Covid-19.


Penanganan kesehatan gaya tambal sulam yang terlihat tak terencana dan tersinergi dengan baik ini sangat menggelikan. Bagaimana tidak, di tengah kondisi pandemi yang hampir genap setahun lamanya, pemerintah melalui BPJS Kesehatan makin membebani rakyatnya dengan menaikan iuran biaya kesehatan. 


Kemudian saat BPJS Kesehatan mengalami surplus dana, pemerintah malah mengizinkan pihak swasta baik domestik ataupun asing untuk membisniskan vaksin. Bukankah jika ada dananya, BPJS Kesehatan bisa menanggung harga vaksin bagi rakyat? Jika dananya tidak cukup, bukankah pemerintah sebagai pemangku urusan yang seharusnya mengurus dan melayani rakyatnya harus berupaya keras menyediakan dananya? Ini semata untuk kepentingan rakyat negeri sendiri. Mengapa selalu orientasi bisnis yang didahulukan dari pada keselamatan rakyat?


Gaya penanganan kesehatan seperti yang dilakukan pemerintah terbukti sangat jauh dari cara penanganan kesehatan menurut syariat Islam. Bahkan jika dinilai, berorientasi untuk kebaikan bersama dan pelayanan bagi rakyat saja tidak. Orientasi dalam penetapan kebijakannya hanyalah pada keuntungan bagi pengusaha dan penguasa semata. Jika dalam syariat Islam, kesehatan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara, maka di alam kapitalis, penanganan kesehatan dijadikan lahan bisnis oleh penguasa dan pengusaha. Sementara rakyat hanya dijadikan korban belaka. []


Oleh Dewi Purnasari,

Aktivis dakwah politik.


 


Posting Komentar

0 Komentar