Sejalan dengan Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2021 yang ditandatangani oleh Presiden RI pada 6 Januari 2021 lalu, berbagai upaya menanggulangi ekstremisme dilakukan. Perpres yang diwacanakan untuk menciptakan rasa aman dan melindungi warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme ini, akan diaplikasikan dengan mengedepankan pendekatan lunak ( _soft approach_ ) yang menjunjung tinggi prinsip Hak Azazi Manusia (HAM).
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) ini direncanakan tidak hanya ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pemicu tindak terorisme saja, tetapi juga ditujukan untuk membangun ketahanan masyarakat secara umum. Tiga pilar aksi dalam RAN PE ini diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi di waktu yang akan datang.
Tiga pilar itu adalah, pertama pencegahan, yang kedua adalah penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional, yang ketiga adalah pilar kemitraan dan kerja sama internasional. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Dr. Boy Rafly Amar, MH., menyatakan bahwa ke depannya BNPT akan mensosialisasikan Perpres RAN PE ini, dan akan berkoordinasi dengan para pihak terkait dalam mengimplementasikan rencana aksi tersebut.
Jauh hari sebelum RAN PE ini diteken oleh presiden, Kepala BNPT pernah menjelaskan masalah tantangan dan strategi penanggulangan terorisme di Indonesia pada kuliah umum di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), (9/10/2020). Boy Rafly Amar juga menyinggung tentang Foreign Terrorist Fighter (FTF) dan pola propaganda ISIS dalam kuliah umum tersebut.
Menurut Boy Rafly Amar, terorisme yang masih menjadi masalah serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dikemas dengan menarik untuk bisa menjaring minat dari masyarakat. Banyak warga negara, termasuk warga negara Indonesia bergabung dengan FTF yang menjanjikan fasilitas dan keuntungan materi yang menggiurkan. Menurut catatan BNPT, terdapat sekitar 1.500 WNI yang telah bergabung dalam FTF. Karena itulah, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dianggap penting dalam menanggulangi masalah kemiskinan yang mendera masyarakat. Hal ini supaya jangan sampai terjadi banyaknya orang bergabung dengan FTF untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Untuk Indonesia, kemiskinan dan jurang kesenjangan ekonomi yang sangat lebar memang menjadi permasalahan utama yang mendera rakyatnya.
*Definisi Ektremisme dan Terorisme*
Sebelum melangkah pada sosialisasi RAN PE, penting kiranya BNPT menjelaskan tentang definisi ekstremisme dan terorisme yang dimaksud dalam perpres tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jelas bagi masyarakat, dan tidak membuka peluang penyalahgunaan istilah ekstremisme dan terorisme ini oleh pemerintah maupun masyarakat.
Ektremisme yang didefinisikan dalam RAN PE sebagai keyakinan atau tindakan yang menggunakan cara-cara atau ancaman kekerasan dengan tujuan mendukung dan melakukan terorisme ini sangat nyata bias dari sisi batasan dan ukurannya. Ini dikawatirkan menimbulkan multitafsir di masyarakat dan disalahgunakan oleh para pemangku kepentingan di negeri ini. Juru bicara BNPT, Edi Hartono, dalam penjelasannya mencontohkan, ciri ekstremisme sebagai sikap tidak mau membaur dalam kegiatan masyarakat, bersikap tertutup, dan selanjutnya tidak sepakat dengan nilai-nilai Pancasila (BBC News Indonesia, 18/1/2021).
Definisi dan ciri ekstremisme yang tidak disertai dengan penjelasan yang detil tentang hal itu, sangat dimungkinkan menimbulkan salah persepsi di masyarakat. Terlebih sudah dimengerti bersama, bahwa definisi ekstremisme dan terorisme selama ini telah secara masif disematkan kepada Islam dan kelompok-kelompok Islam. Selanjutnya, ketika dibuka peluang untuk melaporkan dan memolisikan siapa saja yang dianggap memiliki ciri ekstremisme ini, dikawatirkan akan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan pendeteksian ektremisme rencananya akan digelar BNPT dengan melibatkan tokoh pemuda, tokoh agama, media massa, dosen, hingga influencer. Namun sayang, pelatihan pendekteksian yang dilakukan tanpa adanya penjelasan secara gamblang dan mendetil tentang definisi estremisme dan terorisme itu sendiri akan berpotensi membuat masyarakat akan bertindak sesuai dengan persepsinya masing-masing.
Apalagi _mind-set_ yang selama ini telah terbingkai dalam pemikiran masyarakat adalah, bahwa Islam memiliki syariat yang berpotensi melahirkan tindak ekstremisme dan terorisme. Sedangkan pelaku ekstremisme dan terorisme sudah pasti merujuk kepada orang Islam. Ini dipastikan tidak terlepas dari framing yang selama ini selalu dibentuk untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslimin. Hal ini karena bisa dipastikan dalam ajaran Islam tidak ada aturan yang membolehkan tindakan kekerasan. Rasulullah SAW bahkan diutus oleh Allah sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam.
*Langkah Ideal Penanggulangan*
Menurut ajaran Islam, tindakan ekstremisme dan terorisme sangat dilarang. Tindakan pemaksaan dengan cara mengancam dan melakukan kekerasan kepada orang lain telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, apalagi hingga berujung pada pembunuhan. Dalam Quran Surah An-Nisaa’ ayat 93, Allah SWT berfirman, yang artinya, “ Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Jika tidak sampai taraf pembunuhan, Islam mengatur bahwasannya, setiap orang yang melakukan aktivitas teror, dan mengakibatkan kegoncangan keamanan, atau instabilitas di tengah-tengah masyarakat, atau menyebabkan terhentinya (terlantarnya) aktivitas masyarakat, maka pelakunya akan dikenakan sanksi penjara dari 6 bulan hingga 5 tahun oleh Qadla (Pengadilan Daulah Islam).
Sebaliknya, Islam melarang aktivitas memata-matai, mencari berita, dan menyelidiki (tajassus) diantara sesama kaum Muslimin. _Tajassus_ adalah perbuatan memata-matai orang lain, mencuri dengar pembicaraan orang lain, mencari-cari keburukannya, mencari tahu apa yang terjadi di rumah tetangganya, hingga mencari berita dari anak kecil tentang keadaan di suatu rumah. Bahkan Allah telah melarang perbuatan tersebut seperti dalam firmanNya di Surah Al-Hujurat ayat 12, yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu melakukan _tajassus_ (mencari-cari keburukan orang lain).”
Jelaslah, bahwa perbuatan teror dilarang dalam Islam. Aktifitas tajassus yang implementasinya sejalan dengan program RAN PE juga dilarang dalam Islam. Jadi sebenarnya, jika seorang Muslimin berpegang teguh dengan ajaran Islam, tentu ia tidak akan mungkin melakukan tindakan teror. Pemerintah dan BNPT sesungguhnya tidak perlu kawatir akan hal ini. Justru seharusnya pemerintah dan BNPT menggandeng para alim ulama dan pendakwah untuk membantunya menjelaskan tentang larangan tindak terorisme ini kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya.
Pemerintah dan BNPT justru mengambil langkah yang keliru jika menetapkan RAN PE sebagai solusi masalah ektremisme dan terorisme. Hal ini karena, perbuatan _tajassus_ yang sejalan dengan program RAN PE ini justru akan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat, yang akan menambah timbunan permasalahan yang ada. Alhasil, semua kembali kepada cara pandang pemerintah dan BNPT dalam menilai dan mendudukkan ajaran Islam. Apakah Islam mau diambil sebagai solusi atau malah sebagai ajaran yang dimusuhi. Nampaknya yang dipilih adalah pilihan yang kedua. []
0 Komentar