Pelayanan RS Harus Prima, Tapi Dananya kok Tertunda?


Di tengah laju kontaminasi Covid-19 yang melonjak, rumah sakit baik negeri maupun swasta dituntut memberikan layanan cepat dan tepat. Hal itu disebabkan, rumah sakit merupakan salah satu institusi terdepan dalam menangani pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Begitu pun dengan para tenaga kesehatan (nakes) nya. Sayangnya, pelayanan prima yang dipersembahkan RS dan nakes kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengungkapkan pemerintah belum membayar biaya perawatan pasien Covid-19 di beberapa rumah sakit swasta di Indonesia, termasuk DKI Jakarta. Pemerintah baru membayar biaya klaim rumah sakit hingga bulan September 2020 (Merdeka.com, 28/1/2021).

Kemudian, tenaga kesehatan (nakes) dikerahkan menjadi garda terdepan yang berhadapan langsung dengan pasien sejak bulan Mei 2020. Namun, hasil keringatnya baru dibayarkan di bulan Agustus 2020 (Kompas.com, 25/8/2020).

Setelah itu, pembayaran baru dilakukan lagi oleh pemprov di Januari 2021 yaitu, insentif tahap II (AyoJakarta.com, 5/1/2021).

Tertundanya pembayaran biaya perawatan pasien dan Covid-19 dan nakes di rumah sakit disebabkan karena: Pertama, Birokrasi yang jlimet menyebabkan pembayaran biaya perawatan pasien tertunda. Menurut setkab.go.id, ada lima tahapan pencairan insentif bagi tenaga medis (tirto.id, 29/5/2020).

Tahapan-tahapan tersebut adalah pertama, RSUD, RS Swasta, dan Puskesmas mengusulkan insentif ke Dinkes Daerah. Kedua, Dinkes akan mengajukan usulan kepada Tim Verifikasi Kemenkes, yaitu Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM). Ketiga, tim verifikator Kemenkes menyampaikan rekomendasi kepada Kemenkeu.

Keempat, setelah Kemenkeu menerima hasil verifikasi, data diteliti ulang dan akan disalurkan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Kelima, pemerintah daerah menyalurkan dana insentif ke rekening masing-masing tenaga medis dari RKUD.

Dilasir dari laman CNBCIndonesia.Com, 28/2021, Untuk keterlambatan pembayaran biaya perawatan pasien, Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan ada sejumlah prosedur yang membuat pemerintah belum membayarkan klaim yang sudah diajukan rumah sakit swasta. Pertama, Untuk anggaran APBN masa berlakunya satu tahun. Pada 15 Desember 2020, semua anggaran ditutup. Sehingga tidak bisa lagi melakukan pembayaran setelah 15 Desember. Pemindahan anggaran 2020 ke 2021 membutuhkan waktu. Oleh karena itu, otoritas kesehatan kemungkinan baru bisa membayarkan pada bulan Februari 2021.

Kedua, secara prosedur, terdapat proses verifikasi yang harus dilakukan oleh BPJS Kesehatan terhadap klaim yang diajukan RS swasta. Hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama (CNBCIndonesia.com, 28/1/2021).

Kemudian, menurut fakta di lapangan, ternyata subsidi tidak diberikan kepada semua RS. Padahal, kemungkinan masyarakat yang terkonfirmasi postif Covid-19 akan mendatangi RS terdekat. Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menegaskan bahwa biaya perawatan pasien virus corona (Covid-19) ditanggung oleh pemerintah. Namun, pembayaran oleh pemerintah tersebut berlaku hanya untuk rumah sakit rujukan Covid-19 (Kontan.co.id, 1/10/2021).

Selain itu, juga terjadi misunderstanding akibat kurang informasi. Diperkirakan, masih banyak pasien Covid-19 yang membayar sendiri, tetapi uangnya belum dikembalikan oleh RS karena ketidaktahuan. Misalnya, salah satu RS swasta yang telah menangani 200 pasien Covid-19, dan diduga biayanya dibayarkan oleh pasien sendiri (beritasatu.com, 2/8/2020).

Koodinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan bahwa banyak masyarakat terutama pasien Covid-19 yang belum mengetahui bahwa pembiayaan Covid-19 dijamin oleh pemerintah. Saat ini BPJS Watch tengah menangani pengaduan dari sejumlah pasien Covid-19 yang sudah sembuh dan belum dikembalikan uangnya oleh RS.

Birokrasi yang berbelit seringkali membuat sejumlah pelayanan publik terganggu. Idealnya, pemerintah harusnya belajar dari setiap kejadian dan segera merevisi aturannya. Hal ini penting agar kejadian tersebut tidak terulang dan membuat masyarakat tidak nyaman. Apalagi, di masa pandemi seperti saat ini. Pemerintah dan rakyat berpacu dengan waktu untuk mengakhiri pandemi. 

Keluhan pasien yang ternyata harus merogoh kocek pribadi sangat disayangkan. Pandemi Covid-19 adalah bencana. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, semua pembiayaan terkait Corona akan ditanggung oleh negara sehingga warga yang mengalami suspect hingga positif Corona tidak dikenai biaya sedikit pun.

Selain itu, harusnya pemerintah tidak pilih-pilih dalam memberikan subsidi. Subsidi diberikan kepada semua RS baik negeri maupun swasta. RS swasta besar maupun kecil. Bukan hanya RS rujukan. 

Dalam kondisi pandemi yang penuh ujian ini, tentunya baik pemerintah maupun masyarakat harus muhasabah. Ketika merasa kerusakan akibat Covid-19 semakin tidak terbendung, kiranya bersegera mengambil solusi dari kitab suci, yakni Al Quran dan assunnah.. Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya.

Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Para nakes yang telah rela berjuang bertaruh nyawa harus diapresiasi. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering" (HR. Ibnu Majah, shahih).

Para ulama menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kedzaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab.

Dikutip dari laman helpsharia.com, 20/1/2017, Dalam sistem Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur. Pertama, peraturan, baik aturan syariat Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. [S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148]

Satu hal penting yang harus dihujamkan dalam hati bagi prnguasa adalah bahwa jabatan adalah amanah. Bukan sekadar prestige. Nabi Saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya" (Bukhari dan Muslim). Wallahualam bishawab. 

Oleh Anggun Permatasari
-----------------------------------------------

Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya

Follow kami di
Facebook : fb.com/MuslimahJakarta
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
Twitter : twitter.com/MJ_Officiaal?s=08

Posting Komentar

0 Komentar