“Perdamaian” Rasa Petaka: dari Amerika untuk Yaman

 


 Pada Jumat (12/02) Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyebut pemerintahan Biden akan mencabut label teroris pada gerakan Houthi di Yaman yang akan mulai diberlakukan sejak 16 Februari 2021 (Aljazeera.com, 12/02/2021). Padahal kelompok militan Houthi sebelumnya sempat ditunjuk sebagai kelompok teroris pada masa pemerintahan Trump, dengan hanya 10 hari tersisa sebelum presiden terpilih Joe Biden menjabat. Kala itu Mike Pampeo selaku Menteri Luar Negeri dalam kabinet Trump mengumumkan status teroris Houthi pada 11 Januari 2021, sebagai upaya terakhir untuk memberikan “bantuan moral” pada para sekutu terdekat US di wilayah Teluk, terutama Arab Saudi. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi perubahan kebijakan luar negeri AS selama Biden memimpin yang disinyalir akan “mendinginkan” hubungannya dengan negara-negara Arab dan merekatkan persahabatan dengan Iran. 

Untuk memuluskan transisi perubahan arah kebijakan luar negeri US di wilayah Teluk, bahkan sebelumnya pada awal Januari lalu Joe Biden mengumumkan rencananya mengakhiri dukungan AS dalam “operasi ofensif” Arab Saudi di Yaman. Pihak Paman Sam pun akan menghentikan penjualan senjata yang "relevan" pada aktivitas perang kepada pihak Riyadh. Selain itu Blinken menyebutkan pihaknya akan meninjau ulang pula penjualan senjata ke sekutu terbesar Arab Saudi dalam perang Yaman, UEA (Aljazeera.com, 27/01/2021). The Wall Street Journal juga telah melaporkan pada Rabu (27/01) bahwa pemerintahan Biden telah memberlakukan pembekuan sementara transaksi miliaran dolar dalam penjualan senjata ke Kerajaan Saudi dan UEA, termasuk penjualan amunisi berpemandu presisi ke Arab Saudi dan pesawat tempur F-35 ke UEA.

Kebijakan pemerintahan US terbaru tersebut disebut-sebut pihak Gedung Putih sebagai upaya mereka berperan aktif dalam menghentikan perang berkepanjangan di Yaman. Pihak Biden pun mengklaim bahwa pemberian dukungan pada koalisi Arab Saudi hanya akan semakin menghancurkan kehidupan rakyat sipil Yaman. Secara detil Departemen Pertahanan AS pun menyebutkan bahwa bantuan intelijen AS untuk koalisi pimpinan Saudi, yang sebagian besar berhubungan dengan serangan udara dalam perang Yaman, akan dihentikan.

Sekalipun kebijakan Biden terkait perang Yaman banyak mendapatkan simpati, namun bukan berarti AS benar-benar berniat mengakhiri perang. Karena langkah yang diambil Biden sesungguhnya hanyalah perpanjangan tangan kebijakan pendahulunya, Barrack Obama, yang sebelumnya memberikan dukungan untuk koalisi pimpinan Saudi dan ironisnya berkembang lebih ekstrim pada masa pemerintahan Trump. Sekalipun kita melihat bahwa bentuk dukungan yang diberlakukan Obama saat itu bukan dalam bentuk bantuan intelijen ataupun senjata sebagaimana yang dilakukan penerusnya, Trump. 

Pemerintahan Obama memperlihatkan dukungannya pada koalisi Saudi dengan tidak mendorong penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia di Yaman yang dipimpin Belanda pada 2015 silam. AS juga berdiam diri ketika Riyadh mengancam akan menarik dana PBB jika organisasi tersebut tidak menghapusnya dari daftar pelanggar hak asasi anak atas agresinya di Yaman pada 2016. Di sisi lain, sikap diam AS atas sikap agresif Saudi di Yaman berkaitan erat dengan agenda Amerika dalam memuluskan transaksi nuklir dengan “musuh laten” negara-negara Arab, Iran. Joshua Landis, direktur Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Oklahoma, mengatakan kebijakan AS yang diberlakukan Biden adalah "cara Obama untuk berdagang untuk kesepakatan (nuklir) Iran", yang dicapai pada Juli 2015.

Upaya Biden untuk merajut kembali kesepakatan nuklir dengan pihak Teheran dimulai salah satunya dengan segera mencabut status teroris pada gerakan militan Houthi, dimana kelompok tersebut selama ini mendapat dukungan amunisi dari Iran. Dan dengan ini pemerintahan Biden telah berkomitmen untuk kembali berperan aktif dalam menjaga “perdamaian dunia” melalui pengendalian senjata khususnya senjata berbasis nuklir, salah satunya dengan kembali merekatkan hubungan AS dengan Iran.

Kebijakan Biden untuk merangkul Iran pun bukan berarti bahwa pihak AS sepenuhnya akan melepaskan poros Arab di bawah pimpinan Saudi. Pada Kamis (04/02) lalu Biden menuturkan bahwa penghentian pasokan senjata pada pihak Saudi dan sekutunya hanya berlaku bagi “senjata yang relevan untuk operasi ofensif”. Lebih jauh Biden menyebutkan, “Kami akan terus mendukung dan membantu Arab Saudi mempertahankan kedaulatannya dan integritas teritorialnya serta rakyatnya". Hal ini berarti bahwa ke depannya pihak AS akan menyodorkan “definisi karet” atas senjata apa saja yang ia anggap ofensif dan tidak boleh diperjual-belikan pada pihak Saudi, serta senjata mana saja yang disebut sebagai senjata pertahanan yang boleh secara bebas ia suntikkan pada pihak Riyadh (Aljazeera.com, 07/02/2021). 

Mengkritisi hal tersebut Landis bahkan menyebut pemerintahan Biden akan terlibat dalam “permainan yang rumit” karena mencoba untuk meningkatkan tekanan pada pihak Saudi tanpa mendorong negara tersebut untuk terlibat lebih lama dalam kondisi perang. Di sisi lain AS menginginkan pihaknya untuk terus memonitor negara-negara Arab tanpa harus bergesekan keras dengan Iran. Harapannya adalah bahwa US bisa tetap mempertahankan pengaruhnya di wilayah Teluk, dan menahan upaya pihak-pihak lain seperti Rusia dan Cina dalam merangkul negara-negara Arab. Dari sini kita melihat bahwa sesungguhnya Amerika tidak benar-benar berniat untuk menciptakan perdamaian hakiki di tanah Yaman. 

Dengan demikian tampak jelas bahwa US akan terus melibatkan dirinya dalam menghancurkan kehidupan rakyat Yaman dengan atau tanpa memberikan dukungan secara langsung pada pasokan senjata koalisi Saudi. Amerika pun secara nyata akan terus mengedepankan agenda besarnya dalam menancapkan hegemoni negeri Paman Sam tersebut di wilayah Timur Tengah, salah satunya dengan terus-menerus berupaya menciptakan konflik di dalam tubuh umat. Maka dari itu sejatinya akan semakin banyak kepalsuan dalam pemerintahan Biden dan kaum muslimin akan tetap menjadi korban penjajahan negeri adidaya US.

Ingatlah bahwa para musuh Allah Swt, terutama Amerika, tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenciannya pada umat sebagaimana tertuang dalam firman Allah, “Sungguh akan kalian dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik)” (QS. Al-Ma’idah: 82). Dan sungguh para pemimpin muslim yang hingga kini tetap bersikukuh menumpahkan darah rakyat Yaman dan justru menggenggam tangan US, telah melepaskan diri mereka dari barisan umat. Allah Swt berfirman, “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah…” (QS. Ali-Imran: 28).

Oleh karena itu sudah saatnya umat kembali bersegera menuju janji Allah Swt berupa kemenangan dan kekuasaan di muka bumi. Dan satu-satunya jalan untuk meraih kemuliaan dan kesejahteraan umat tidak lain adalah dengan berpegang teguh pada penegakan hukum-hukum Allah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Karena Allah telah berjanji memberikan kemenangan pada umat Muhammad, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku” (QS. An-Nur: 55).

Wallahu a'lam bi ash-shawab


Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)




Posting Komentar

0 Komentar