Kota Bogor sejak Senin 8 Februari 2021 lalu berstatus zona merah Covid-19 satu-satunya di Jawa Barat. Kenaikan status itu ditengah perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro hingga tanggal 22 Februari 2021. Guna mendukung kebijakan tersebut Pemkot Bogor melakukan refocusing anggaran sesuai Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 3 Tahun 2021. Diantaranya, refocusing menggunakan sumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 8 persen atau sesuai dengan kebutuhan daerah dan refocusing dari Dana Insentif Daerah (DID) sekitar 30 persen (BeritaSatu, 10/02/2021)
PPKM skala mikro dilakukan oleh Pemkot Bogor yakni pendekatan ke unit terkecil, yakni zonasi di tingkat RW dan setiap kelurahan akan memiliki posko. Ada 68 posko se-Kota Bogor yang fungsinya melakukan pembinaan, penanganan, pengendalian, mengamati atau treatment. Adapun dana refocusing yang diambil dari dana DAU dan DID diperuntukan untuk menunjang mulai dari vaksinasi, fasilitas kesehatan dan lainnya.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Bogor, Denny Mulyadi menyatakan refocusing ini untuk mendukung program PPKM mikro. Dana DAU dari pusat 700 miliar, kalau 8 persen berarti sekitar Rp 56 miliar dan DID dari pusat Rp 50 miliar, kalau 30 persen berarti sekitar 15 persen. Sehingga jumlah dana sekitar Rp 67 miliar dianggarkan untuk refocusing selama 3 bulan batas maksimalnya diharapkan kondisi sudah normal kembali.
Kebijakan baru PPKM mikro ini tidak masuk dalam rencana anggaran dan akhirnya Pemkot melakukan refocusing anggaran untuk Covid-19 hingga tahap kelima. Menurut Atang Trisnanto selaku Ketua DPRD Kota Bogor, refocusing anggaran yang belum prioritas harus direlakan untuk dihapus, apalagi adanya pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu, mengakibatkan pendapatan Kota Bogor jadi menurun. Sehingga pemilihan program prioritas harus dengan pertimbangan yang bijak dan komprehensif.
Tidak dipungkiri daerah sangat membutuhkan dana segar untuk mengatasi penanggulangan wabah pandemi, namun sayangnya program yang dilakukan oleh daerah tidak didukung oleh pemerintah pusat. Sehingga daerah harus berpikir keras untuk mendapatkan dana dan akhirnya refocusing anggaran pun dilakukan dengan mengalokasikan sebagian dana lain untuk menopang program daerah seperti halnya PPKM mikro ini yang memang tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah pusat.
Inilah kesulitan terbesar yang harus dihadapi daerah dalam menangani pandemi. Satu sisi harus menyediakan anggaran yang cukup besar dan di sisi lain harus mencari sumber pendapatan untuk membiayai program-program yang telah dibuat oleh daerah. Di tahun 2020 saja Pemkot Bogor telah mengalokasikan dana sebesar Rp 348 miliar untuk percepatan penanganan pandemi Covid-19 melalui kebijakan PSBB. Dan hingga hari ini wabah pandemi masih terus berlangsung. Daerah dituntut secara mandiri untuk dapat membiayai kebutuhan anggaran daerahnya. Sedangkan pemerintah pusat kadang tidak memberi bantuan hanya memberikan instruksi kepada daerah untuk menjalankan program yang telah dibuat oleh pemerintah pusat.
Dalam sistem pemerintahan yang menganut ideologi kapitalis demokrasi, semua pengurusan keuangan juga ditanggung oleh pemerintah daerah (Pemda). Sehingga Pemda harus mencari sumber dana untuk memenuhi anggaran yang dibuat, salah satunya dengan berutang. Penambahan utang akan menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi dengan berutang daerah akan memiliki kemampuan dana yang cukup untuk menjalankan semua program penanggulangan wabah, sehingga daerahnya bisa keluar dari zona merah menuju zona kuning atau zona hijau. Namun di sisi lain, utang akan memperberat beban keuangan Pemda, apalagi sistem ribawi yang sudah pasti menyertainya.
Potret sistem keuangan di atas sangat berbeda jauh dengan sistem keuangan dalam Islam (khilafah), yang memusatkan pengurusan keuangan pada baitulmal (kas negara/pusat). Baitulmal adalah institusi khusus yang berfungsi mengatur semua pemasukan dan pengeluaran negara. Dalam perspektif Islam, pos pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syariat. Besaran nilainya diserahkan kepada ijtihad khalifah sesuai dengan pandangannya terhadap kemaslahatan rakyat. Ia dapat menetapkan besaran nilai untuk masing-masing pos penerimaan dan pengeluaran pada setiap tahunnya.
Sebagaimana halnya APBN dalam sistem kapitalis, defisit anggaran juga berpotensi terjadi pada APBN khilafah. Namun Islam memiliki solusi jitu dalam menangani defisit anggaran. Jika hal itu terjadi, maka terdapat tiga sumber pembiayaan yang dibenarkan oleh syariat, yaitu mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi oleh negara, mengenakan pajak atas kaum muslim dan mencari pinjaman non-ribawi.
Sumber pembiayaan dari sektor pajak hanya diterapkan secara insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari penduduk muslim yang kaya. Penggunaan pajak tersebut dilakukan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vital dan menangani bencana seperti wabah pandemi. Penting diketahui bahwa pajak hanya akan diberlakukan jika kas negara tidak mencukupi dan bantuan sukarela yang diberikan kaum muslimin tidak memadai.
Adapun sumber pembiayaan melalui pinjaman, syaratnya harus non-ribawi dan tidak disertai syarat-syarat yang merugikan negara atau mengancam kedaulatan negara. Keduanya haram menurut syariat. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dari negara dan lembaga-lembaga asing seperti yang lazim terjadi di negeri ini, jelas diharamkan. Sebab, mereka mengenakan bunga pada setiap pinjaman tersebut dan mereka juga menetapkan berbagai syarat untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka. Akhirnya, negara dipaksa tunduk untuk mengikuti kemauan mereka. Hal ini secara tegas dilarang di dalam Islam, sesuai firman Allah yang artinya “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin” (TQS. An Nisa : 141).
Adapun dalam penanganan bencana dan wabah, negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus rakyat harus mengerahkan seluruh potensinya untuk mengurus rakyat yang terkena musibah. Oleh karena itu, di dalam anggaran dan pendapatan negara khilafah, terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Pos ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat seperti gempa, kelaparan, wabah seperti Covid-19 dan semisalnya. Sumber dananya berasal dari pos fa’i dan kharaj serta pos harta milik umum.
Dalam pengelolaan anggaran tersebut, khalifah dan para pejabat lainnya tetap harus terikat pada syariat Islam. Seperti tidak boleh ada penggelapan dana, menerima suap atau hadiah dari pihak lain. Tidak ada diskresi hukum untuk pejabat yang melanggar aturan, meskipun dengan alasan untuk memangkas birokrasi pada saat bencana. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam institusi baitulmal ada Al Muhasabah al-Ammah sebagai badan yang mengawasi semua harta negara. Dengan kata lain merupakan badan yang bertugas memeriksa harta negara dari segi keberadaannya, keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya, realisasinya dan pihak-pihak yang berhak menerimanya.
Dalam institusi baitulmal juga ada Al-Muwazanah al Ammah yang merupakan badan yang mempersiapkan anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai pendapat khalifah, yang berkaitan dengan besar kecilnya anggaran yang dibutuhkan oleh daerah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang matang berdasarkan kebutuhan/pengeluaran anggaran riil secara umum dan sesuai dengan fakta. Sehingga tidak akan terjadi tindakan menggelembungan ajuan anggaran ataupun penggunaan dana sisa anggaran untuk hal-hal lain yang bukan peruntukannya.
Dengan pengaturan sistem keuangan sesuai syariat, pejabat daerah (wali/amil) akan fokus menangani wabah dan menyelamatkan nyawa rakyat agar terhindar dari wabah tersebut. Tanpa harus memikirkan berbagai upaya mencari sumber dana untuk membiayai anggaran yang dibutuhkan, apalagi jika harus berhutang ribawi. Melalui baitulmal, Khalifah akan sepenuhnya membantu daerah untuk menangani wabah agar bisa segera diatasi dan nyawa rakyat pun akan terselamatkan. Dan dipastikan juga selama kondisi wabah melanda, tidak ada satupun rakyat yang kekurangan bahan makan bahkan kelaparan.
Demikianlah mekanisme sistem keuangan khilafah dalam mengatur anggaran belanja negara untuk kepentingan rakyat. Namun harus dipahami, bahwa hal ini hanya bisa terwujud apabila aturan Islam diterapkan secara kaffah. Karena hanya dengan khilafahlah permasalahan umat akan teratasi. Keberadaan khilafah sebagai institusi pengatur urusan umat telah terbukti dalam rentang sejarah yang sangat panjang. Mampu menyejahterahkan rakyatnya bukan hanya pada saat ada bencana ataupun wabah, melainkan pada saat tidak ada bencana atau wabah pun rakyat bisa hidup dalam kesejahteraan dan keberkahan. []
Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar