Pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan keterampilan kerja. Sementara bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial dan wahana untuk menciptakan keadilan sosial. Tujuan pendidikan di negara ini pun sudah sangat jelas termaktub dalam Pembukaan UUD ’45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu cukup jelas dari kutipan berbagai literatur di atas, pendidikan sangat urgen fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak virus corona mulai menginfeksi Indonesia pada awal Maret lalu, seluruh kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi mulai beralih melalui daring atau online. Semenjak itu pula, beragam keluhan mulai dirasakan oleh para mahasiswa, baik dari efektivitas maupun fasilitas pembelajaran yang kurang memadai. Media sosial di awal Juni 2020 lalu ramai dengan tagar #MendikbudDicariMahasiswa, menyusul bungkamnya Mendikbud menyikapi gelombang aksi protes mahasiswa menyangkut Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Saat itu, mahasiswa memang benar-benar marah, karena di situasi wabah, mereka tetap dibebani uang kuliah. Padahal, sebagaimana masyarakat lainnya, kalangan mahasiswa pun termasuk kelompok yang terdampak wabah. Kuliah daring, alih-alih meringankan beban finansial mereka, malah membuat beban pendidikan dan beban hidup lainnya bertambah berat.
Polemik soal UKT ini memang tak hanya terjadi di saat wabah ini saja. Sejak pemerintah menetapkan kebijakan UKT melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2013, telah muncul keberatan-keberatan di tengah masyarakat. Banyak dari mereka menganggap hak yang diterima selama pembelajaran daring/online tak sebanding dengan biaya UKT yang dibayarkan selama satu semester. Sehingga Mereka menuntut agar UKT diturunkan dan mendapat fasilitas yang memadai saat kuliah daring, seperti subsidi pulsa bagi mahasiswa.
Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Karena sejak pandemi berlangsung memberikan dampak besar pada semua kalangan termasuk orang tua. Sebagian orang tua mahasiswa kehilangan pekerjaan, terutama yang bekerja di sektor industri dan manufaktur. Di antara mereka ada yang dirumahkan hingga PHK.
Setelah mendapat gelombang aksi protes dari mahasiswa, pemerintah melalui Menteri Agama menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 515 Tahun 2020 tentang Keringanan (UKT) ada tiga skema keringanan pembayaran UKT; berupa pengurangan UKT, perpanjangan waktu pembayaran UKT, dan angsuran UKT. Keputusan tersebut juga memberikan mandat kepada Rektor/Ketua PTKN untuk menetapkan mekanisme pelaksanaan keringanan UKT. Rektor/Ketua PTKIN juga dapat bermitra atau bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membantu pembiayaan UKT mahasiswa.
Sementara itu, untuk PTN/PTS kemendikbud mengeluarkan kebijakan permendikbud no. 25 tahun 2020 terkait keringanan UKT, membebaskan UKT hanya pada mahasiswa yang cuti kuliah/yang menunggu masa kelulusan. Mahasiswa di masa akhir studi dapat membayar biaya UKT paling tinggi 50 persen jika mengambil kurang dari 6 SKS. Kemdikbud memberikan 4 bentuk keringanan untuk mahasiswa secara umum, yakni cicilan UKT, penundaan UKT, penurunan UKT dan beasiswa. Kebijakan mendikbud ini, berdasarkan kesepakatan Majelis Rektor PTN (MRPTN) pada 22 April 2020. (dikutip Pikiranrakyat).
Sistem UKT sangat baik, karena mahasiswa akan dikenakan biaya per semester yang sesuai dengan penghasilan orang tua mereka. Akan tetapi realitanya UKT malah menjadi suatu leviathan bagi mahasiswa, karena penggolongan biaya semester yang berdasarkan gaji orang tua tersebut banyak sekali yang tidak tepat sasaran.
Sebenarnya dalam UUD 1945, pasal 31 ayat 2 menyatakan ‘Setiap waga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Kemudian dipertegas pada ayat ke 4 ‘Negara memperiotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD’. Namun, dalam kenyataanya UUD 1945, sangat bertentangan dengan UU Sisdiknas. Adapun UU Sisdiknas pasal 9 berbunyi ‘Masyarakat berkewajiban memberi, dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan’, lalu dikuatkan dengan pasal 12 ayat (b) yang menyatakan, ‘Peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan.’
Dari kebijakan yang dikeluarkan Kemenag dan Kemdikbud, sesungguhnya hal tersebut bukan solusi yang tepat dalam mengatasi penderitaan mahasiswa dan orang tuanya. Terkesan sekadar untuk membungkam aksi mahasiswa. Perkara pokok yang dituntut adalah pembebasan UKT untuk semua kalangan. Bukan sekadar boleh dicicil dan relaksasi pembayaran atau diringankan untuk kalangan tertentu (mahasiswa yang terdampak langsung Covid-19) disertai aturan administrasi yang rumit.
Bukankah pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara wajib menyediakan secara gratis dan berkualitas. Oleh karena itu, wajar jika mahasiswa dan umat menuntut hal ini.
Namun, jika memaklumi kehadiran negara hanya berwujud penurunan UKT di masa pandemi sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler yang mengamputasi potensi generasi khairu ummah. Jika hal ini terjadi, bagaimana nasib negara di masa yang akan datang? Bukankah tolok ukur kemajuan suatu negara dinilai pada mutu pendidikan generasi muda saat ini, karena generasi muda adalah ujung tombak dari perubahan dan kesuksesan suatu negara.
Bahkan saat ini, kapitalisasi pendidikan semakin disempurnakan dengan kebijakan kampus merdeka, yaitu kemudahan kampus menjadi badan hukum otonom, kemudahan membuka jurusan dan mengubah kurikulum kampus sesuai kepentingan pasar bisnis. Tentu saja yang demikian akan membahayakan peradaban bangsa.
Alih-alih mendatangkan berkah, pendidikan akhirnya hanya jadi alat investasi sekaligus alat produksi untuk memutar industri dan kapital. Bukan sebagai wasilah membentuk kepribadian, apalagi sebagai pilar untuk membangun peradaban cemerlang.
Pendidikan tinggi harusnya fokus mencetak intelektual untuk kemaslahatan umat dan membangun peradaban yang gemilang justru mengalami disorientasi tujuan menjadi pragmatisme-pro pasar dikarenakan kebutuhan menambah pundi-pundi rupiah. Inilah kedzaliman nyata sistem kapitalisme.
Wajar jika output pendidikan sekuler banyak melahirkan manusia-manusia pintar dan berorientasi mengejar material, tapi minus nilai-nilai moral. Bahkan yang fatal, pendidikan menjadi sarana melanggengkan hegemoni kapitalisme global.
Dalam negara Islam penguasa berkewajiban memenuhi segala kebutuhan manusia termasuk pendidikan, sebab pendidikan termasuk kebutuhan primer. Oleh karena itu, harus terpenuhi bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, kaya ataupun miskin, dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang gratis dan berkualitas serta fasilitas sebaik mungkin.
Negara akan menjamin tercegahnya pendidikan menjadi komoditas ekonomi sebagaimana yang terlihat dalam sistem kapitalis sekarang ini. Negara harus menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan.
Semua biaya pendidikan di antaranya gaji pendidik (guru/dosen), tenaga non akademik, infrastruktur sekolah (gedung sekolah, kampus-kampus, perpustakaan dan balai penelitian), sarana belajar (buku-buku dan internet) dan fasilitas lain seperti asrama dan klinik kesehatan, semuanya wajib disediakan oleh negara secara gratis. Rakyat diperbolehkan untuk menyumbang untuk menyediakan kemudahan tersebut sebagai amal jariyah tetapi bukan bentuk tanggung jawab. Dalam negara Islam juga dimungkinkan terdapat peran sekolah swasta namun tidak boleh mengambil alih peran negara dalam memenuhi pendidikan rakyat. Seluruh biaya pendidikan bersumber dari baitul mal yaitu dari pos fai’dan kharaj serta pos mikiyyah’amah.
Inilah faktor yang mempermudah rakyat mendapatkan kemaslahatan pendidikan tanpa dibebani biaya pendidikan yang membuat rakyat mengelus dada. []
Oleh Daimah Fauziah Ningrum, Mahasiswa Universitas Gunadarma
0 Komentar