Lagi dan lagi, Kota Depok tengah didera isu miring mengenai keselamatan anak. Insiden pemukulan bayi tujuh bulan oleh ayah kandungnya, di Tapos, Depok, baru-baru ini yang diikuti dengan maraknya kasus pencabulan kepada anak, memicu reaksi dari sejumlah pihak.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Aris Merdeka Sirait, mendesak Pemerintah Kota Depok supaya segera mengevaluasi status "kota layak anak" yang disandang Depok.(Kompas, 18/3/2021).
Bahkan menurutnya, saat ini kekerasan dan kejahatan anak di Kota Depok sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data yang menempatkan Depok di urutan keempat kota di Indonesia yang paling banyak kasus kekerasan anak.
Di waktu yang berbeda, Psikolog anak Seto Mulyadi atau kerap disapa Kak Seto bahkan meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengevaluasi predikat layak anak yang disandang Kota Depok, Jawa Barat pada pertengahan tahun 2020 lalu.
Kritik pedas sejumlah pihak ditanggapi oleh Kepala Dinas Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Nessi Annisa Handar. "Pemerintah Kota Depok memastikan telah memberikan penanganan terhadap bayi, korban penganiayaan ayah kandung.Ketika itu, korban dibawa ibunya ke puskesmas terdekat di wilayah Tapos. Kemudian, pihak puskesmas melaporkan kasus tersebut ke DPAPMK melalui hotline, Sabtu, 15 Maret 2021." Ujarnya.
Masih menurut Nessi, pasca kejadian, pihaknya langsung menindaklanjuti dengan datang ke rumah korban bertemu dengan ibunya, assessment, kemudian mengantar ke Polres, hingga mendampingi korban untuk visum di RSUD Depok.
“Visum semuanya Pemerintah Depok yang bayar. Bahkan, untuk pelaporan hukum dan psikologis langsung didampingi. Termasuk membawa korban dan ibunya ke rumah aman," tambahnya.
Dengan sejumlah penanganan tersebut, Nessi memastikan pemerintah telah hadir. "Pemerintah Kota Depok sudah berupaya keras dalam menangani persoalan semacam ini. Selain melakukan berbagai macam regulasi pencegahan dan sebagainya tetapi juga respons cepat dari pemerintahan untuk menangani kasus. (Viva.co.id,18/3/2021).
Mengapa Terus Berulang?
Perlu diketahui, Depok telah meraih penghargaan Kota Layak Anak (KLA) selama tiga kali berturut-turut dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA) pada 2017, 2018, dan 2019 dengan predikat Nindya dan kategori yang sama.
Ironinya, Depok juga langganan kasus kekerasan terhadap anak, terutama kejahatan seksual.
Tentu kita tidak bisa menafikan usaha-usaha yang dilakukan kota Depok guna menjadikan kota ini ramah dan layak untuk anak. Walau masih jauh panggang dari api, namun terlalu naif rasanya jika kita menganggap dengan disematkannya predikat ‘Kota Layak Anak’, maka kasus kejahatan anak akan hilang sirna ibarat pertunjukan sulap.
Kekerasan kepada anak terutama fisik dan seksual justru kian marak di banyak tempat. Bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun yang lalu sejak Komnas Perlindungan Anak menetapkan status Indonesia Darurat kekerasan seksual terhadap anak, nyatanya kasus demi kasus terus bertambah. Sebagaimana diketahui, bahwa korban kekerasan seksual besar kemungkinan akan menjadi pelaku di kemudian hari jika tidak tuntas dalam penanganannya. Kasus kekerasan fisik menyasar anakpun angkanya terus meningkat. Sebagaimana yang diungkap Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap anak selama kurun 2020 saja meningkat 38 persen.
Padahal, Indonesia sudah memiliki UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang melindungi anak dari kekerasan secara umum. Jika kekerasan terjadi dalam ruang lingkup keluarga, maka pelaku juga dapat dijerat dengan UU no 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Tahun 2014, UU no 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memberikan pemberatan sanksi pidana dan denda yang lebih tinggi bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual. Pemberatan hukuman dengan penambahan pidana 1/3 (sepertiga) juga ditetapkan jika pelaku adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik.
Melihat fakta kekerasan terhadap anak yang tak kunjung mereda, seharusnya menyadarkan pemegang kewenangan bahwa berbagai upaya yang dilakukan termasuk regulasi yang sudah dibuat ternyata tidak mampu untuk mencegah apalagi memberantas tuntas tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anak.
Penghargaan 'layak anak' di tengah terus maraknya kasus tentu patut dipertanyakan, bukan hanya kepada Pemkot setempat namun juga kepada pemberi predikat. Sedemikian rendahkah indikator yang dibuat untuk menentukan kualitas Kota Layak Anak (KLA), sehingga wilayah yang marak dengan kasus kekerasan bisa mendapat penghargaan?
KLA merupakan gagasan yang pertama kali diperkenalkan oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sejak tahun 2005. Dibuatlah lomba antarkabupaten/kota dengan memberi predikat Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA bagi kabupaten/ kota. Namun lomba hanya sekadar lomba. Tak peduli seberapa banyaknya kasus kekerasan, kejahatan seksual, putus sekolah, sampai kasus gizi buruk terhadap anak, yang penting bisa hadir pada peringatan Hari Anak Nasional dan menerima penghargaan KLA untuk menambah deret prestasi dan menaikkan gengsi kepala daerahnya.
Alhasil yang terlihat justru tiap daerah berlomba untuk mengejar predikat KLA dan memenuhi tiap indikator bertema anak seperti sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, desa ramah anak, sampai festival anak.
Hal ini diperparah dengan cara pandang sempit pemerintah daerah/kota setempat menganggap arti 'hadir' baru sebatas penanganan setelah kasus terhadap anak terjadi. Seolah tanpa beban melihat kompleksnya masalah kekerasan kepada anak ini.
Predikat 'Kota Layak Anak' itu harus diseriusi, tidak hanya predikat administratif dan regulasi, tapi sampai pada tataran implementasi. Pencegahan adalah hal paling pertama dan utama yang harus dilakukan. Penemuan kasus sedini mungkin didasarkan pada penelahaan akar masalah penting untuk dilakukan.
Jika solusi yang di terapkan baru sebatas permukaan namun tak menyentuh akar masalahnya, alhasil kasus kekerasan, kejahatan seksual, serta pengabaian terhadap anak akan terus berulang jika sistem diatasnya tidak ada pembenahan.
Pada dasarnya, sistem kapitalisme sekuler lah biang dari segala permasalahan yang menimpa anak. Bagaimana tidak, konsep sekularisme yang memisahkan antara agama dengan kehidupan telah menjauhkan agama dari pengaturan negara. Negara yang didasarkan pada akidah dan Syariah Islam akan mendorong kehidupan masyrakat yang berbalut suasana ketakwaan, tidak seperti sekarang yang membuat rakyat tak peduli halal haram bahkan dengan berbagai ancaman regulasi yang terus diperberat seperti hukuman kepada pelaku seksual pada anak.
Peran keluarga dan masyarakat mengalami disfungsi. Keluarga, terutama ibu sebagai madrasah pertama diambil paksa perannya dan dialihkan menjadi penggerak ekonomi. Fungsi masyarakat pun kehilangan esensi, yang seharusnya berperan untuk memonitor, menasihati dalam kebenaran, serta mengingatkan agar tak terjadi maksiat, justru terenggut perannya bahkan menjadi pelaku maksiat itu sendiri akibat merajalelanya paham sekulerisme dan liberalisme (kebebasan).
Sistem Islam sebagai pondasi manusia agar beradab justru diabaikan dari nila-nilai kehidupan. Alhasil anak-anak pun menjadi korban dari amburadulnya sistem sekuler ini.
Tanpa Predikat KLA, Sistem Islam Sejahterakan Anak
Dalam Islam memang tidak dikenal konsep KLA. Sebab, Islam memandang anak sebagai sebagai cahaya mata dan amanah dari Allah yang harus dilindungi, diberikan kasih sayang, serta ditunaikan segala hak-haknya.
Dalam diri setiap anak terkandung tanggung jawab orang tua yang teramat besar.
Anak lahir ke dunia sebagai sosok manusia yang harus dijaga, dipelihara dan diberikan didikan kebaikan oleh orang tuanya. Terutama sekali didikan agama, itu merupakan tanggung jawab asasi yang harus ditunaikan.
Para belia yang merupakan calon orangtua akan di didik dengan pemikiran dan kepribadian Islam. Agar mereka memahami tanggung jawab serta mampu mendidik buah hatinya ketika kelak menjadi orangtua. Bukan seperti orangtua akhir zaman yang dengan mudahnya menyia-nyiakan amanah Tuhan paling berharga ini. Namun, semuanya akan terlaksana jika yang diterapkan adalah sistem pendidikan berbasis kurikulum Islam.
Sebagai bentuk kesungguhan dan kepedulian yang paling serius, di masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab misalnya, bahkan diberlakukan tunjangan anak untuk pertama kalinya di dunia. Tunjangan tersebut diberikan kepada orang tua atau wali sang anak untuk membantu mereka dalam pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anak-anak.
Sistem Islam pun memberi nafkah bagi para ibu yang tidak memiliki suami atau wali, yang bertujuan agar perempuan fokus terhadap pengasuhan anak dan tidak diberatkan dengan masalah penafkahan. Disisi lain, negara pun menjamin tersedianya akses pendidikan,kesehatan,harga bahan pokok, serta jaminan tempat tinggal dengan harga murah bahkan gratis tanpa terkecuali dengan distribusi yang merata.
Dananya dari mana? Tentu saja dari sumber kas negara tak terbatas, yang salah satunya didapatkan dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negeri-negeri kaum muslimin. Karena SDA adalah kepemilikan umum yang pengelolaan diberikan sepenuhnya kepada negara bukan swasta,serta keuntungan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pokok serta kesejahteraan rakyat, termasuk anak-anak di dalamnya. Sama sekali bukan untuk mengkayakan segelintir orang saja.
Mengingat tontonan dan informasi media massa menjadi salah dua faktor pemicu atas meningkatnya kekerasan dan pencabulan terhadap anak, maka keduanya tak luput menjadi perhatian. Negara tidak memberi ruang sedikit pun pada konten yang mengandung erotisme, pornografi, pornokasi serta kekerasan yang beredar di televisi maupun media sosial. Berita dan informasi yang diperbolehkan beredar hanyalah konten yang membina ketakwaan dan mampu menumbuhkan ketaatan individu dan masyarakat. Harapannya, agar tontonan bisa menjadi tuntunan. Informasi bisa menjadi solusi sekaligus menjaga suasana keimanan.
Bagaimana jika ada pelaku kejahatan terhadap anak? Maka Qodhi (hakim) akan menjatuhkan hukuman tegas terhadap mereka dengan hukuman yang membuat jera. Sehingga orang lain akan takut untuk mengulangi kejahatan yang sama.
Kolaborasi antara kesadaran individu dengan keimanan yang tertancap kuat kepada Allah,tanggung jawab masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan mencegah kemaksiatan terjadi, serta intervensi langsung dari negara dengan seperangkat aturan hukumnya, niscaya menjadikan anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kenyamanan dan keamanan. Jauh dari bahaya yang mengintai mereka seperti saat ini. Inilah harapan kita sekalian. Rasanya tak satupun orangtua yang butuh predikat 'layak anak' atau apapun namanya. Sstt...mungkin saja gelaran itu dibutuhkan bagi para pemangku kebijakan untuk pencitraan, dan bisa 'nyalon' lagi di periode mendatang.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh Nurina P. Sari
0 Komentar