Arus Deras Peredaran Miras di Bekasi: Bukti Penguasa tak Peduli?

 


Islam adalah agama sempurna. Aturannya dibuat bukan untuk menyulitkan manusia melainkan membuat kehidupan itu menjadi mudah. Penuh berkah. Sebaliknya, jika ia diabaikan maka kehidupan mereka penuh dengan kerusakan dan penderitaan. Itulah yang tengah terjadi hari ini. 

Di tengah kegaduhan Perpres 10/2021 tentang pembukaan investasi minuman keras (miras), kejadian memilukan justru menimpa dua pemuda Bekasi. Warga menemukan kedua pemuda malang itu tergeletak bersimbah darah di Bekasi Jaya, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat usai pesta miras. 

Menurut Kasubbag Humas Polres Metro Bekasi Kota, Kompol Erna Ruswing Andari, wajah kedua korban mengalami sejumlah luka serius. 

Kejadian itu bermula saat korban menerima ajakan temannya untuk nongkrong di TKP dan melakukan pesta miras. Malang, sesaat setelahnya dua korban yang berusia 25 tahun dan 22 tahun itu dikeroyok para pelaku. (Liputan6.com, 4 Maret 2021)

Kejadian nahas di atas mengonfirmasi bahwa peredaran miras masih saja menderas di wilayah Bekasi. Padahal Wakil Walikota Bekasi, Ahmad Syaikhu di tahun 2014 menyatakan pemerintah bertekad untuk memerangi miras dengan diterbitkannya Perda Nomor 17 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Keras di Kota Bekasi (Beritasatu.com, 14 September 2021).

Melihat sejarahnya, miras justru sudah sangat akrab dengan masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah Bekasi sejak jaman penjajahan. Siapa yang tak kenal Pabrik Anker Bir milik PT Delta Djakarta yang ada di Bekasi Timur? Pabrik miras terbesar se-Asia Tenggara itu ternyata pernah dimiliki Jerman, Belanda, lalu dinasionalisasi menjadi milik negara pada tahun 1950-an. Kemudian, saat Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah daerah. 

Menurut Yusna Sasanti Dadtun dalam tesisnya yang berjudul “Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873–1898”, alasan pabrik tersebut didirikan di wilayah bantaran kali Ciliwung adalah karena kayu gelondongan yang digunakan sebagai bahan bakar pabrik dialirkan melalui Sungai Ciliwung. Lebih parahnya air sungainya juga pernah dijadikan sebagai bahan baku pembuatan miras di sana. (Kompas.com, 8/03/2021)


Bagaimana bisa miras diperangi tapi pabriknya dibiarkan tetap berdiri? Bahkan fatalnya pabrik tersebut dimiliki pemerintah karena keberadaan saham milik Pemprov Jakarta hingga hari ini. Ini adalah sebuah bentuk kelalaian penguasa dalam menjaga warganya. 

Peraturan yang dilahirkan dari rahim sistem demokrasi sekuler selalu ambigu. Dia tidak pernah efektif dalam menyelesaikan masalah. Karena peraturan itu sifatnya hanya tambal sulam dari peraturan yang ada sebelumnya. 

Aturannya bahkan sering memihak pada kepentingan para pemilik modal.

Sistem yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan ini tak lagi menghiraukan halal-haram dalam menentukan setiap kebijakan. 

Tapi sebaliknya, untung dan rugi adalah standarnya. Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat pun penguasa tak peduli. Kalau pun peduli, itu pun setengah hati.  

Terus apa jadinya generasi ini jika dibiarkan hidup dalam derasnya arus peredaran miras. Sedangkan kita tahu miras adalah pangkal dari segala jenis kejahatan? 

Berbagai tindak kriminalitas lebih sering diakibatkan karena para pelaku  terbiasa menenggak miras.

 Penganiayaan, pembunuhan, perampokan, tawuran, pemerkosaan bahkan kasus mutilasi juga dilakukan pelaku di bawah pengaruh minuman beralkohol tersebut. Miris.

Miras atau khamr jelas haram hukumnya di dalam Islam. Allah Swt. Berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 90)

Mestinya penguasa menjalankan perannya untuk melindungi kehidupan umat. 

Memastikan akal sehat mereka terlindungi dari keburukan khamr. Begitu pun pemangku kebijakan itu harus memastikan bahwa tak ada kemaksiatan dalam wilayahnya.

Dari sinilah, penguasa tak akan lalai membiarkan adanya produksi, distribusi dan peredaan miras di tengah-tengah masyarakat. 

Kalau pun masih ada pihak-pihak yang melanggar peraturan terkait miras ini, maka akan ada tindakan tegas dari penguasa. Bagi orang yang meminum miras saja, Islam menetapkan hukuman berupa cambukan 40 kali atau 80 kali. 

Ali bin Abi Thalib ra. Menuturkan, “Rasulullah saw. Mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim).

Penguasa dan umat akan saling bahu membahu untuk menjaga diri mereka dari kemaksiatan.

Mereka berupaya melakukan seluruh kewajiban dan meninggalkan segala keharaman bukan semata-mata karena adanya manfaat, tapi semata-mata karena menginginkan rida Allah. Semua dilakukan atas dorongan keimanan. Karena sungguh menyadari akan ada hisab di yaumil akhir. 

Kesemuanya itu hanya bisa terwujud ketika Islam tak hanya dijadikan sebatas agama ritual semata. Tapi juga mesti dijadikan sebagai landasan dalam menegakkan sistem kehidupan. Seluruh aturan harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menjadi pekerjaan besar kita bersama untuk menyegerakan dakwah terhadap syariah dan Khilafah. 

Wallahu’alam bishowab.

Oleh Ummu Zhafira (Pegiat Literasi Ibu Ideologis) 

Posting Komentar

0 Komentar