Arus Distorsi, Hilangnya Identitas Bangsa


Masa pandemi tak dipungkiri telah menguji segenap bangsa. Jajaran otoritas disibukan dengan dilema antara pemenuhan kepentingan pribadi dengan kebutuhan rakyat. 

Di sisi lain dalam era globalisasi, Indonesia terbilang gagal menjawab arus masifnya asimilasi budaya dan teknologi. Ketidakmampuan dan kegagapan pemerintah dalam memisahkan mana yang seharusnya diadopsi dan mana yang sebaiknya di hindari, terutama dalam mengadopsi sistem yang dapat digunakan sebagai kendaraan menuju keberhasilan terwujudnya cita-cita bangsa. Pemerintah masih tidak independen dan cenderung hanya menjadi penonton setia negeri maju. 

Dewasa ini, bahkan Indonesia tak pelak lagi ingin sungguh-sungguh meniru China. Lewat pernyataan terbuka Wakil ketua DPR Azis Syamsudin yang menegaskan bahwa Indonesia perlu meniru China. Mengingat selama pandemi, Negeri Tirai Bambu ini cukup baik dalam stabilitas ekonomi. 

Dilansir dari rakyat merdeka. Id, "Kita perlu memperkuat hubungan bilateral yang sempat terkendala atau kurang aktif lantaran situasi pandemi. Salah satu mitra dagang strategis bagi indonesia adalah China, dan mereka telah terbukti mampu membangun ekonomi di tengah situasi pandemi,” ujar Azis melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/3).

Ia menambahkan bahwa, Sebagai negara yang menganut politik bebas-aktif, Indonesia harus bisa netral dalam isu geopolitik yang sedang berkembang. Indonesia harus memelihara hubungan diplomatik, agar perdagangan tetap berjalan dan komunikasi antar masyarakat kedua negara terpelihara dengan baik. Menurutnya dengan begitu, stabilitas ekonomi dapat berjalan baik meski di tengah pandemi. 

Namun apakah meniru China akan menjamin Indonesia mampu mengatasi berbagai permasalahan? Apakah dengan meniru China, Indonesia mampu memperbaiki stabilitas ekonomi? Ataukah justru masifnya relasi antara kedua negara ini, adalah semata-mata harapan dari para pemilik modal agar semakin memperbesar ladang eksploitasi SDA? 

Fakta yang bertolak belakang tak bisa membohongi nasib rakyat, banyak yang menjadi pertimbangan atas pernyataan "meniru China" tersebut. Sebagai solusi ideal, mengingat bahwa beberapa fenomena yang kontradiksi justru terjadi di tanah air, di antaranya pada juni 2020 ketika banyaknya pengangguran akibat terdampak pandemi sehingga para pekerja di-PHK dan kehilangan pekerjaan. Namun anehnya 500 TKA China masuk ke Indonesia, kendati pemerintah tahu betul bahwa China adalah sumber terjadinya Wabah Covid-19 yang kini telah menjadi pandemi global.

Meniru China merupakan distorsi menghindar yang kini meradang para penguasa, mereka menyelesaikan masalah dengan memutarbalikkan fakta, lupa bahwa selama ini justru Indonesia berada di bawah bayang-bayang China. Politik balas budi kini tak pernah hilang dari ingatan dan sejarah peradaban bangsa, dan bahkan dewasa ini terjadi fase kedua, yang bisa disebut sebagai neo politik etis. 

Indonesia tak pernah bisa lepas dari genggaman China selama Indonesia tidak mampu mengatasi berbagai permasalahan negerinya sendiri. Modal yang digelontorkan China yang menjadi sumber hutang Indonesia, tak lain sebagai sebuah permulaan dari permainan neo politik etis.

China tak keberatan meminjamkan modal cukup besar demi masa depan Indonesia yang nanti akan dapat secara absolut disetir oleh China. 

Mengingat kembali bahwa kemungkinan dalil meniru China hanyalah semata-mata kepentingan para pemilik modal. Karena selama ini kita rasakan bahwa kerja sama bilateral antara China dan Indonesia bukan semata-mata demi mensejahterakan rakyat marginal melainkan hanya untuk kepentingan kerja sama antara para kapitalis. Terlebih Indonesia kini berada di bawah bayang-bayang balas budi China, mengingat begitu banyak utang yang belum terbayarkan oleh negeri bergelar tanah surga ini. 

Apakah salah meniru cina? Demikian mungkin terbesit dalam pikiran masyarakat, menjawab ini, tentunya kita perlu memisahkan apa yang boleh ditiru dan apa yang seharusnya tidak ditiru bahkan sebaiknya dihindari. 

Indonesia sendiri mengangkat dasar negara yang prismatik sehingga cenderung ambigu dalam menggambarkan identitas bangsa. China pun ditinjau secara ideologi bangsa, menganut paham komunisme sosialisme, di lain sisi, sistem ekonomi yang digunakan masih terindikasi ekonomi kapitalisme liberalisme, jauh dari sistem ekonomi komando terpusat yang umumnya digunakan oleh negeri komunisme. 

Indonesia dapat dengan mudah berkamuflase karena Indonesia memiliki ideologi yang prismatik yang mencampur-campurkan antara ideologi satu dengan ideologi yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia belum memiliki identitas yang jelas dalam menentukan nilai dasar negara, sehingga Indonesia tidak memiliki keputusan independen dalam mengarungi perjalanan ketatanegaraannya.

Di lain sisi, perkara meniru harus terpisah dengan identitas, dalam artian selama meniru tidak merusak identitas bangsa, maka sah-sah saja. 

Namun saat ini dapat disimpulkan bahwa kegagalan Indonesia dalam mengatasi persoalan selama ini, bukan hanya ketika pandemi menyerang bahkan jauh sebelum itu Indonesia sudah langganan menghadapi kemiskinan dan berbagai permasalahan makro lainnya.

Namun hingga kini Indonesia masih belum cukup dibilang berhasil dalam mengatasinya semata-mata bukan karena Indonesia tidak dapat meniru negara maju melainkan justru Indonesia sendiri tidak memiliki cara tersendiri untuk maju. Indonesia kehilangan bahkan mungkin selama ini tidak memiliki identitas yang jelas dalam bernegara. Hanya meniru dan mengadopsi bukanlah sebuah jalan yang sewajarnya terus menerus digunakan, mulai sekarang negeri ini harus memiliki identitas yang jelas. 

Namun sebelum jauh membahas identitas, ketahuilah bahwa dilematis pergerakan pemerintah dalam bernegara khususnya dalam menyelesaikan permasalahan. Selain karena identitas yang masih belum jelas dimiliki oleh negeri ini, namun ada hal yang juga mendesak. Yakni adanya gejala-gejala kapitalistik yang kini dianut oleh para pemilik kebijakan, sehingga kepentingan rakyat tak mungkin menjadi prioritas dalam pengambilan kebijakan. 

Jika kita tak sama-sama menyadari bahwa bangsa ini telah kehilangan identitas dan bahkan hampir diambil alih oleh para penggila kemewahan dan kekuasaan yakni para kapitalis, maka entah sampai kapan negeri ini akan terus bertahan. Seiring berjalannya waktu, seluruh eksponen bangsa digerogoti oleh rasa haus materil para pemangku kepentingan dalam era kapitalisme neoliberal. []

Wallahu a'lam bissowab.


Oleh Dian Fitriani


Posting Komentar

0 Komentar