Banjir Permukiman Elit, Butuh Solusi Konkret



 Banjir kembali merendam ruas jalan Kemang Raya sepanjang 300 meter pada sabtu (20/2) lalu. Banjir memiliki kedalaman bervariasi hingga dua meter. Menurut pantauan kompas.com, (21/2), banyak bangunan yang terendam. Mulai bank, minimarket, apartemen, hingga hotel dan restoran mewah. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa banjir di wilayah Kemang dan sekitarnya disebabkan luapan kali Krukut.

Namun, benarkah bencana banjir yang berulang disebabkan kali Krukut yang meluber? Menurut rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta tahun 1965-1985, Kemang merupakan dataran berbentuk mangkuk yang harusnya menjadi daerah resapan air. Artinya, tidak diizinkan ada banyak bangunan yang menutupi permukaan tanah.

Nyatanya, terjadi alih fungsi lahan, sehingga menyebabkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta sesungguhnya telah diatur sejak 1965. Rencana Tata Ruang berdasarkan Keputusan DPR Gotong Royong DKI Jakarta No.9/P/DPR-GR/1967 merupakan induk penetapan pertama yang mengatur peruntukan wilayah di Jakarta.

Jika mengacu pada pembangunan kota satelit yang ideal. Ruang Terbuka Hijau yang ditetapkan adalah 37,2 persen dari total luas Jakarta. Sayangnya, menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Nirwono Joga, RTH terus mengalami penurunan, dari 37,2 persen kemudian 25,89 persen dan turun lagi menjadi 13,94 persen. Dia menambahkan bahwa saat ini RTH di Jakarta hanya sekitar 9 persen (tirto.id, 30/8/2016).

Tata ruang Ibu Kota juga mulai berubah sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah DKI No.5/1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. perda tersebut membuat perubahan yang massif terhadap tata ruang di Jakarta. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sekitar 80 persen tata ruang di Jakarta mengalami perubahan peruntukan wilayah (tirto.id, 1/9/2016).

Kemudian, Kemang berubah menjadi lahan bisnis dan komersial dimulai setelah era reformasi. Di tahun tersebut terbit Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Melalui PP tersebut, setidaknya, warga asing diizinkan membeli saham bank umum hingga 99 persen. PP itu juga sebagai salah satu langkah strategis memulihkan sektor perbankan setelah krisis moneter di tahun 1998. Walhasil, investor asing kembali berminat menanamkan modalnya di Indonesia.

Selain itu, lahan ruang terbuka hijau Jakarta dikomersialisasi juga sejak diberlakukan Undang Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah). Sejak itu, Pemprov DKI berupaya mengambil aset yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat. Aset-aset itu adalah kompleks Gelora Bung Karno seluas 280 hektar, bekas Bandara Kemayoran 480 hektar, pelabuhan laut 912 hektar, jalan tol Jakarta sepanjang 136 kilometer dengan lahan hijau sekitar 500 hektar. Namun, pengambilan aset ternyata disalahgunakan dan bahkan memperparah peruntukan tata ruang (tirto.id, 30/8/2016).

Kemang bukan satu-satunya area yang mengalami alih fungsi lahan. Pondok Indah, Kelapa Gading, wilayah Angke di Jakarta Utara merupakan daerah resapan. Wilayah tersebut awalnya merupakan daerah resapan air seperti yang tertuang dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Faktanya, saat ini telah dijejali beton dan dijadikan tujuan pariwisata, pusat bisnis dan permukiman elit.

Para pengembang dan pengusaha property seperti Lippo, Ciputra dan Metropolitan Kentjana kemudian membangun sekolah-sekolah bertaraf internasional, rumah sakit, supermarket bergengsi, super mall dan berbagai fasilitas penunjang agar kaum ekspatriat tertarik membeli tanah di daerah seperti Kemang, Kelapa Gading, Pesisir Jakarta dan sekitarnya. 

Miris, banjir yang kerap terjadi menimbulkan kerugian cukup besar. Selain materi, tidak terhitung nyawa penduduk melayang dibuatnya. Genangan juga tidak hanya merendam wilayah yang harusnya menjadi daerah resapan air, tetapi meluas ke daerah sekitarnya. Seperti Kemang, Kelapa Gading dan wilayah Ancol yang kini menjadi salah satu pusat bisnis dan permukiman elit di Jakarta.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim telah menjalankan sejumlah program kerja untuk menanggulangi banjir di Ibu Kota. Sayangnya, program yang diandalkan seperti naturalisasi sungai, gerebek lumpur dan mengeruk kali atau waduk di Jakarta, pemeliharaan pompa, penanganan banjir rob melalui NCICD, dan pengelolaan sistem polder tidak memberikan solusi signifikan terhadap bencana banjir dari tahun ke tahun.

Sejatinya kebijakan penanggulangan banjir justru kontraproduktif dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebut saja normalisasi sungai yang mengharuskan adanya pembebasan lahan, sehingga Pemprov membangun rumah susun untuk merelokasi warga. Padahal, keberadaan rumah susun menyebabkan penurunan permukaan tanah dan menyerap banyak air tanah.

Mirisnya lagi, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan bahwa progres pembebasan lahan normalisasi tahun 2021 belum berjalan karena dana pinjaman program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari pemerintah pusat belum kunjung dicairkan (kompas.com, 4/3/2021).

Para ahli juga sudah sejak dulu mengingatkan pemerintah terkait bahaya alih fungsi lahan. Walhi mengatakan bahwa penting untuk melakukan evaluasi dan audit lingkungan hidup menyeluruh terhadap penyalahgunaan lahan. Selain itu perlu kiranya mengkaji titik-titik banjir secara terintegrasi dari hulu hingga hilir. Upaya mitigasi dan adaptasi banjir butuh perhatian serius pemerintah pusat dan daerah (mongabay.co.id, 26/2/2021).

Selanjutnya, menurut Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Muhammad Fakhrudin, Sistem drainase yang komperhensif juga mengalami kendala karena banyak lahan yang berada di bawah permukaan air laut (kompas.com, 27/2/2020).

Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan sistem drainase di DKI Jakarta perlu segera direhabilitasi. Pasalnya, Drainase lokal yang harusnya terintegrasi oleh sungai besar dinilai sudah tidak mampu menampung air dengan kondisi curah hujan lebat atau ekstrem (beritasatu.com, 5/3/2020).

Fakta tersebut cukup menjadi bukti, persoalan banjir sangat serius dan sistemis. Oleh karena itu, butuh solusi konkret dan tuntas. Maka, penting bagi pemerintah mencari biang keladi dan akar persoalan serta merumuskan kebijakan yang tepat terhadap banjir berulang. 

Kesalahan pembangunan menghasilkan derita warga. Harus dilakukan penataan ulang tata ruang wilayah resapan air seperti Kemang, Kelapa Gading dan Pesisir Jakarta. Kebijakan izin pembangunan di area resapan juga perlu ditinjau ulang agar banjir tidak terjadi lagi.

Namun, solusi praktis terhadap penanganan banjir kiranya sulit terwujud jika pemerintah masih melakukan pembangunan kapitalistik dan mengadopsi sistem yang memisahkan kehidupan dengan pencipta-Nya. Karena sejatinya, banjir tidak hanya disebabkan faktor cuaca. Lebih dari itu, kebijakan yang menyimpang dari Al Quran dan assunnah serta sifat tamak secara sunatullah akan menjauhkan kita dari keberkahan.

Maka, masihkah umat bertahan hidup dihinggapi bencana seperti saat ini? Oleh sebab itu, kiranya kita bersegera beralih dari sistem sekularisme yang telah nyata gagal. Kepada sistem shahih yang sesuai dengan ketentuan Sangat Khalik, yaitu sistem Islam agar segala bencana, termasuk banjir tidak akan terulang lagi, Wallahualam bishawab. 

Oleh Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar