Batas Masa Jabatan Presiden Vs Tanpa Batas Waktu Jabatan Khalifah

 


Wacana masa jabatan presiden tiga periode kembali mengemuka ke publik. Wacana ini dilontarkan politikus senior sekaligus eks Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais. Presiden Jokowi lantas mengumumkan tentang penolakannya terhadap jabatan tiga periode tersebut. Namun ada hal menarik yang dapat kita telaah di balik isu ini.

Seperti kita ketahui, konstitusi di Indonesia telah mengamanatkan bahwa masa jabatan presiden berlangsung selama dua periode. tercantum pada Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut menyatakan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketentuan tersebut merupakan buah amendemen UUD 1945 pertama melalui Sidang Umum MPR pada Oktober 1999.

Apabila kita memandang masa jabatan seorang pemimpin negara melalui kacamata Islam. Ada hal mendasar yang menjadi penekanan, yakni problem yang ada bukan dipandang melalui batas waktu masa jabatannya. Melainkan pada masalah standar aturan hukum yang dipakai dalam bernegara.

Di sistem demokrasi, hukum dibuat atas kesepakatan manusia. Sedangkan dalam sistem Islam, hukum yang berlaku harus bersumber pada Kitab Suci, Sunah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Manusia tak punya hak untuk mengubah hukum Allah.

Hal ini sangat menentukan corak pengurusan negara oleh penguasa yang menerapkan masing-masing sistem tersebut. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, ditentukannya batas waktu kepemimpinan seiring jalan dengan kondisi rezim yang kian destruktif pada keberlangsungan masa jabatannya tersebut.

Masa jabatan presiden jika melebihi periode yang ditentukan dalam demokrasi, maka sudah umum akan lahir wacana di tengah-tengah masyarakat. Bahwa hal tersebut dapat berbahaya bagi masyarakat Indonesia. Sebab panjangnya periode masa jabatan presiden berpotensi menimbulkan kepemimpinan yang sewenang-wenang.

Hal ini akan alamiah terjadi dalam demokrasi, karena sistem yang mendasarinya lahir dari akal manusia. Sedangkan manusia itu lemah serta memiliki hawa nafsu yang memengaruhi segala sikap dan keputusannya. Demokrasi akan meniscayakan abuse of power dan otoritarian. Atas dasar inilah perlu adanya pembatasan masa jabatan dalam kacamata demokrasi.

Apabila jabatan presiden dalam sistem demokrasi dibatasi hanya dua periode atau sesuai kesepakatan, Lain halnya dengan masa jabatan khalifah yang tidak dibatasi oleh waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan hukum syariat.

Jabatan khalifah boleh sebentar atau lama. Ia boleh diberhentikan di tengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat terhadap syariat. Ia bisa tetap dipertahankan selama masyarakat masih mendukungnya dan tidak ada aturan syariat yang dilanggar oleh khalifah tersebut.

Dahulu, setelah Abu Bakar ra. dibaiat dan dilantik menjadi khalifah, ia malah ingin minta berhenti. Ia menutup pintunya selama tiga hari, dan setiap hari—selama tiga hari itu—ia mendatangi para sahabat. Abu Bakar ra. berkata, “Saudara-saudara sekalian. Sungguh aku meminta kalian untuk mencabut kembali baiat kalian, lalu kalian membaiat orang yang kalian cintai.”

Namun permintaan mundur dari jabatan itu ditolak oleh para sahabatnya dan juga rakyatnya. Ketika itu Ali bin Abu Thalib ra. berdiri dan berkata, “Kami tidak akan memecat engkau dan kami tidak akan meminta untuk memecat engkau.”

(Al-Muttaqi, Kanzul Ummâl fi Sunani al-Aqwâl wa al-Af’âl, V/657).

Pembatasan jabatan khalifah adalah syarat tertentu. Selama ia masih memenuhi syarat tersebut maka ia akan menjabat sampai wafat atau sampai ia tak bisa lagi memenuhi salah satu syarat sebagai khalifah.

Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, 

“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, maka ia wajib didengar dan ditaati.” (HR Muslim).

Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa baiat terhadap khalifah bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu. Tetapi ia dibatasi dengan kitabullah. Dengan demikian masa jabatan seorang khalifah tidak terbatas waktu, tapi dibatasi dengan standar apakah ia melanggar atau mematuhi ketentuan syariat.

Penjelasan lain dapat kita temukan dalam kitab Muqaddimah ad Dustur: 

“…Selama khalifah mampu mempertahankan dan melaksanakan hukum syariat serta mampu menjalankan tugas-tugas negara, maka ia tetap menjabat sebagai khalifah, kecuali terdapat perubahan keadaan yang menyebabkan dirinya tidak layak lagi menjabat sebagai khalifah sehingga ia wajib segera diberhentikan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 165).

Pada masa Khulafaur Rasyidin dulu, mereka pun dibaiat menjadi khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masing-masing dari Khulafaur Rasyidin itu memimpin sejak dibaiat sampai meninggal dunia. Dengan demikian hal itu merupakan Ijmak Sahabat.

Walaupun demikian, pemecatan dirinya bukanlah pembatasan masa kekhilafahan, tetapi hanya merupakan kejadian berupa rusaknya syarat-syarat kekhilafahannya.

Pemberhentian khalifah dilakukan oleh mahkamah mazhalim ketika khalifah tak lagi memenuhi syarat-syarat selama keberlangsungan pemerintahannya. Karena khilafah memiliki tujuan untuk menegakkan sistem yang akan mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat. Maka apabila sistem paripurna itu dilanggar, pemberhentian khalifah dilakukan agar tidak menimbulkan kezaliman di tengah umat.

Kitabullah dan sumber-sumber hukum syara lainnya seperti Sunah, Ijmak Sahabat dan Qiyas merupakan pijakan atas sistem bernegara yang akan diterapkan oleh khalifah. Tentu ini berbeda dengan sistem produk akal manusia. Sistem bernegara khilafah bersumber dari Allah Swt, Sang pencipta alam semesta dan seisinya. Khalifah hanya menjalankan produk undang-undang dimana dasar aturannya bersumber dari wahyu Allah Swt tersebut. Berbeda dengan demokrasi, yang melahirkan dasar aturannya sendiri bersumber dari akal manusia yang Allah ciptakan terbatas.

Pembatasan periode jabatan presiden dalam demokrasi ini justru menunjukkan kelemahan sistem pemerintahan dari demokrasi itu sendiri. Karena sistem demokrasi berorientasi pada kepentingan segelintir orang dan berpotensi menimbulkan abuse of power dan otoritarian. Sedangkan sistem Islam, tidak berpotensi menimbulkan cela apabila khalifah masih berpegang teguh pada syariat. Karena orientasi sistem khilafah ialah melestarikan paripurnanya sistem Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. []

Wallahu a'lam biashawab.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar