Bayarlah Pajak 'Pada Waktunya'





“Orang Bijak Taat Pajak” demikian slogan keren yang mungkin sering kita dengar, slogan yang digunakan pemerintah untuk mendorong rakyatnya untuk mau bayar pajak. Tepatlah kiranya jika hal tersebut disematkan bagi orang-orang yang mampu dan melimpah secara materi dan dengan kesadaran untuk bayar pajak. Tapi bagaimana ceritanya jika pajak tersebut justru dibebankan kepada rakyat kecil yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masih pontang panting? 


Sejalan dengan hal ini seorang ekonom senior DR. Rizal Ramli dalam akun Twitter pribadinya mengatakan, setiap pemimpin harus berhati-hati dengan pungutan pajak. Pasalnya pajak yang tinggi dan memberatkan rakyat terbukti telah menjadi penyebab utama revolusi terjadi di sejumlah negara besar. “Sistem pajak yang berlebihan (excessive), tidak efisisen dan tidak adil yang memberatkan kehidupan rakyat jadi salah satu penyebab utama Revolusi Perancis, Amerika, India dan banyak negara lain.” Ujarnya, Selasa (16/2).


Rizal Ramli mengingatkan bahwa gejolak sebuah negara akan makin nyata jika para pejabat hidup bermewah-mewahan, sementara rakyat menderita karena dipunguti pajak yang tinggi. Sebuah negara akan semakin mendekati revolusi jika pajak rakyat itu dikorupsi untuk memenuhi gaya hidup pejabat negara (Rmol.id, Selasa,16/2/2021).


Tentu saja pernyataan Rizal Ramli tersebut bukan tanpa alasan. Ia mengamati bahwa pemerintah begitu mudahnya mengambil kebijakan pemungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat kecil. Sebagai contoh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang belum lama ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer. 


Menurut mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB tersebut, cara yang diambil Menkeu dengan menarik tidaklah kreatif. “Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama enam tahun, pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa.” ujar Rizal Ramli kepada wartawan (tribunnews.com, Sabtu, 30/1/2021).  


Tidak bisa dipungkiri, bahwa pajak menjadi pemasukan utama APBN di negeri ini, selain utang yang juga menjadi salah satu sumber dana untuk pembiayaan belanja negara. Berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah untuk terus meningkatkan pemasukan kas negara. Utang yang semakin menumpuk membuat pemerintah kehilangan cara lain untuk bisa menutupinya. Hal tersebut tidaklah mengherankan, dikarenakan pemerintah saat ini adalah penganut sistem kapitalisme neoliberal dimana pajak menjadi salah satu andalan utama pemasukan negara.


Jika seperti ini kondisinya, negara tak ubahnya seperti preman pasar yang kerjanya menjadi pemalak. Yang bisanya hanya mengambil dengan paksa uang rakyat, 1tanpa melihat lagi kondisi real kehidupan rakyatnya yang serba susah. Alih-alih saat ini negara mampu menyejahterakan rakyatnya. Yang ada justru sebaliknya, rakyat harus menanggung semua beban tersebut. Bila perlu pemerintah akan terus mencari celah atau sudut kehidupan mana lagi yang bisa diambil keuntungannya. 


Padahal negeri ini sangatlah kaya dan subur, jika diibaratkan bagai kolam susu dan zamrud khatulistiwa, hamparan laut dan darat yang begitu melimpah ruah. Sampai-sampai ada lagu yang dibuat khusus oleh musisi legendaris Koeswoyo mengenai kondisi sumber daya alam negeri ini. Saking suburnya, ibarat kata menanam batang kayu saja bisa tumbuh menjadi tanaman. Hasil pertanian, aneka hasil laut, dan bermacam aneka tambang  yang melimpah ruah. Tapi kemana semua perginya kekayaan alam tersebut? Yang hasilnya tidak pernah dinikmati oleh sebagian besar rakyat ini, seakan-akan telah habis dan tidak yang tersisa.


Jikapun ada yang menikmati hasil kekayaan tersebut hanyalah sekelompok golongan tertentu saja, merekalah para pemilik modal yang selama ini menjadi rekanan penguasa dalam mengatur negara ini.  Hal ini bisa terlihat jelas dari total kekayaan yang mereka miliki mencakup bahkan melebihi dari total penghasilan seluruh rakyat Indonesia. Sungguh sebuah ketimpangan yang terpampang nyata. 


Sistem yang dianut rezim saat ini tidaklah mengenal batas kepemilikan apalagi halal dan haram. Sehingga semua kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik negara dan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat tidaklah diperhatikan. Semuanya menjadi milik sekelompok orang atau golongan elit tertentu yang pastinya memilki modal yang kuat. Dalam sistem ini berlaku sebuah ungkapan “si kuat memangsa si lemah” dimaknai bahwa si kuat adalah para pemilik modal, yang dengan rakusnya memperebutkan sumber-sumber kekayaan alam yang sejatinya adalah milik rakyat. 


Pajak pun demikian, dikatakan dengan adanya pajak akan memaksa para pemilik modal untuk berbagi keuntungan. Yang terjadi masih jauh dari kenyataan, pada faktanya mereka mendapat penghapusan pajak barang mewah, termasuk pembebasan pajak mobil mewah yang akan mulai diberlakukan bulan Maret ini, tax holiday, dan lain-lain. Dengan dalih pemerintah hal tersebut akan meningkatkan omset penjualan dan menggerakkan roda perekonomian, juga akan menarik investor-investor yang siap untuk menanamkan investasinya di negeri ini.


Harapan demi harapan yang seringnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Justru rakyat kecil yang akan kembali menanggung efek samping dari kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut. Kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial dirasakan semakin besar dan melebar. Dan hal ini akan semakin melemahkan serta menurunkan wibawa pemerintah di hadapan rakyat. Semakin mengokohkan fakta  bahwa sistem kapitalisme tidak akan bisa membawa rakyat kepada kesejahteraan. Solusi tambal sulam yang dilakukan tidak pernah tuntas menyelesaikan persoalan yang ada. 


Sistem kapitalisme yang dilahirkan dari akidah sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Jika menelusuri lebih jauh mengenai asal muasal sistem ini tentunya tidak sejalan dengan negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Akan menjadi adil rasanya jika penduduknya mayoritas muslim maka sistem yang dipakai juga adalah Islam dan bukan yang lain. Hal ini sejalan dengan perintah Allah Swt dalam firman-Nya, Alquran surat Al Baqarah ayat 208:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."


Pajak pun juga ada pengaturannya di dalam Islam. Yang membedakan antara pajak di dalam sistem kapitalis dan Islam adalah pajak hanya diberlakukan dalam kondisi kas negara yang betul-betul kosong dan dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Tidak dibebankan kepada semua rakyat dan pemberlakuannya pun tidak sepanjang waktu. Jika dirasa telah stabil kondisi kas negara maka pungutan pajak akan dihentikan. Karena pajak dalam Islam mempunyai fungsi sebagai stabilitas dan bersifat insidental. Sehingga pajak tidak dirasakan sebagai bentuk kezaliman dari penguasa kepada rakyatnya. Bahkan akan dirasakan sebagai bentuk fastabiqul khoirot bagi mereka yang melimpah secara materi untuk bisa berkontribusi bagi negara. 


Setelah melihat dan menyadari fakta yang ada, bahwa pajak yang diberlakukan dalam sistem sekuler kapitalime saat ini tidaklah mencerminkan sebuah keadilan. Terlihat dengan jelas bahwa kerusakan dan kebobrokan yang terjadi adalah semenjak awal penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Jika sudah begini, masihkah mau bertahan dan tidak mau mencoba sistem yang lebih baik dan sohih? Wallahu ‘alam bi-ashshowab.


Oleh Anjar Rositawati


Posting Komentar

0 Komentar