Selaku kota independen bagian dari Provinsi Jawa Barat, Bekasi mampu menjadi wilayah mandiri yang berkembang cepat. Muncul sebagai kawasan industri terbesar di Indonesia, lahan basah bagi para investor dunia, dan kapitalisasi daerah yang pesat membuat Bekasi diangkat menjadi metropolis besar kedua dunia. Gencarnya pembangunan infrastruktur modern seperti LRT City Bekasi, tol Becakayu, Bus Rapid Transit (BRT) yang terintegrasi dengan hunian dan kawasan industri, membuktikan bahwa Bekasi bersiap mewujudkannya. (Antaranews.com, 25/02/2021)
Pengembangan fisik daerah, terutama transportasi adalah modal utama Bekasi untuk mempercepat mobilitas barang dan manusia. Merubah wajah Bekasi menjadi tujuan komunitas dan penanaman modal yang menjanjikan baik industri, bisnis ritel serta lifestyle populasinya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bekasi (Sindonews.com, 08/05/2018).
Sayangnya, modal besar ini dibayangi problem ekologi, tata ruang, sosial-politik, dan ekonomi masa pandemi di tengah warganya. Akankah perubahan Bekasi sebagai kota metropolis menjadikan warga sejahtera?
Ekologi Bekasi rawan mengalami degradasi hingga memerlukan pengendalian istimewa seperti penanganan banjir, pasokan air bersih, penanggulangan masalah sampah, higienitas lingkungan, kontemplasi tanah, longsor, problem obstruksi jalan, limbah industri, pengelolaan eksploitasi ceruk dan agraria (Kompas.com, 14/06/2020).
Bahkan, dilansir dari Finance.detik.com, sebagai salah satu daerah penghasil beras, lahan pertanian Bekasi kini tersisa 5 persen saja. Selain itu, masalah banjir bandang yang baru-baru ini menerjang kawasan Cikarang dan merendam 4 desa di Kecamatan Pebayuran membuktikan bahwa adanya tata kelola kota yang kacau. Hamparan rawa dan sungai tergilas kejayaan ekonomi Bekasi menjadi kota beton (Kompas.com, 15/02/2021).
Belum lagi, isu sosial dan politik Bekasi perlu mendapat perhatian. Stunting, kemiskinan, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), kriminalitas, peredaran narkoba, isu korupsi, rumor industri seks, serta kesenjangan antara mall dan pasar tradisional yang makin lebar membuat jurang dalam antara komunitas miskin harta dan kaya raya adalah nilai minus bagi penguasa Bekasi mengurus wilayah kekuasaannya. (Kompasiana.com, 17/09/2012)
Kesulitan ekonomi Bekasi masa pandemi dengan PHK besar-besaran para buruh dan karyawan dari pabrik juga perusahaan besar adalah kondisi paradoksal adanya kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara. Ribuan korporasi di areanya nyata tak mampu mengangkat kesejahteraan warga sekitar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa Barat mencatat angka pengangguran di Kabupaten Bekasi saja tahun 2020 mencapai 11, 54 persen atau 200.000 orang lebih sedangkan jumlah angkatan kerja baru sebesar 15.000 orang. Dan terdapat 1.651 buruh yang di PHK serta 3.949 pekerja yang dirumahkan.
Adanya modernisasi Bekasi ternyata tak sepadan dengan kesentosaan warga, kehidupan sosial dan keberlangsungan ekosistem alamnya. Dampak buruk lebih banyak nampak daripada kebaikannya. Bekasi kini lebih kapitalistik, hedonis dan permisif. Menjulangnya gedung-gedung industri, pusat perbelanjaan, hotel-hotel, hunian elit, dan tempat hiburan banyak memfasilitasi kemaksiatan masyarakat.
Hal ini telah dinyatakan oleh tokoh agama Bekasi, Kiyai Haji Noer Alie. Terjadinya perubahan cara pandang, budaya dan gaya hidup warga Bekasi membuat warga mengalami perubahan perilaku. Islamic Centre Bekasi yang diperjuangkan oleh Kiyai kharismatik ini, semata menjadi mercusuar peradaban Islam kalah gaung dengan era metropolitan Bekasi saat ini. (Tibyan.id, 24/03/2017)
Alih-alih ingin menjadi kota segudang harapan, beralihnya Bekasi mejadi metropolitan ternyata makin memperberat beban warganya. Marginalisasi sosial, kerusakan lingkungan, kriminalitas, dan kerusakan peradaban akibat investasi.
Menurut Heilbroner (1991), kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahapan dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas. (Journal.walisongo.ac.id)
Lalu, beralihnya Bekasi dari kota mandiri menjadi metropolitan besar untuk siapa? Jika merunut komponen di atas, jelas sudah bahwa Bekasi berubah karena pendanaan industri yang kapitalistik semata. Kapitalisasi pemodalan, ekploitasi lahan dan sumber daya manusia inilah yang membuahkan masalah peningkatan kualitas hidup yang sejatinya dirasakan warga Bekasi. Perubahan besar ini seharusnya menjadikan urusan warga semakin baik ternyata malah makin terdesak kesempitan hidup. Euforia Bekasi menjadi metropolis tidak dirasakan warga.
Ada tiga hal yang menjadi pola sifat dan watak dasar kapitalisme. Melandasi adanya penindasan yang terjadi dari sejak munculnya kapitalisme sampai praktek kapitalisme yang terjadi detik ini. Pertama eksploitasi, kedua akumulasi, dan ketiga ekspansi. Bekasi yang merupakan bagian industri dunia adalah tempat yang subur bagi para kapital mengembangkan modal usahanya. Eksploitasi lahan, akumulasi laba, dan ruang yang menjanjikan untuk ekspansi usah mereka dengan pajak dan buruh murah. Kerakusan para kapitalis inilah yang menjiwai perubahan Bekasi menjadi kota metropolis besar.
Berbeda halnya dengan aktivitas pada kota metropolis besar dalam kejayaan Islam. Dinamis dan menjadi inspirasi bagi dunia adalah nyata. Dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, karya Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menggambarkan Cordova di Andalusia sebagai kota metropolitan yang menandingi kota-kota besar dunia pada milenium ketiga.
Menjamurnya lembaga pendidikan dan perpustakaan-perpustakaan umum dan khusus di mana-mana menobatkan Cordova sebagai kota yang paling banyak koleksi bukunya sekaligus menjadi pusat kebudayaandan berbagai macam ilmu pengetahuan. Semua penduduk Cordova saat itu mampu membaca dan menulis saat kaum elit Eropa masih buta baca dan tulis, kecuali beberapa tokoh agamanya.
Perindustrian Cordova juga mengalami perkembangan pesat. Banyak industri masyhur, seperti industri kulit, perkapalan, alat-alat pertanian, obat-obatan, juga industri emas, perak, dan tembaga. Dilengkapi dengan pasar berbagai barang komoditi, pemandian umum, pertokoan, perumahan rakyat, lapangan hingga masjid. Kehidupan sosial penduduknya, tak perlu diragukan. Selain kesejahteraan, kehidupan sosial yang baik, alam pun tertata dan terjaga dengan optimal.
Tak kalah metropolisnya, bahkan jadi mercusuar peradaban gemilang Islam, perubahan pada Konstantinopel menjadi Istanbul adalah bukti nyata Islam mampu membangun kejayaan dengan modernisasi yang sejalan dengan ruh Islam. Sosial kemasyarakatan yang heterogen bahkan menampung populasi manusia lebih padat dari kota-kota dunia sekitarnya.
Magnet keadilan, kesejahteraan yang terjamin, kosmos yang apik penggarapannya, sistem pemerintahan dan kekuatan politik praktis yang mampu mengatasi semua permasalahan warga negaranya adalah kebanggaan yang besar bagi penghuni Istanbul masa itu. Kemangkakan itu tetap menjadi buah bibir dunia hingga hari ini. Walhasil, tentu saja perkara serupa inilah yang diharapkan warga dengan perubahan Bekasi menjadi kota metropolis. Menjunjung warna asli masyarakat Bekasi yang religius dan modern, wallahu a’lam.
Oleh N. Suci M.H
0 Komentar