Jokowi
beberapa hari yang lalu menggaungkan ajakan untuk membenci produk asing. Apa
yang dikatakan mantan gubernur DKI Jakarta itu tidak main-main, sebab seruan itu
diulanginya dua kali dengan waktu dan tempat yang berbeda. Pertama kali
diserukan saat membuka Rapat Koordinasi Nasional
Perdagangan, Kamis (4/3), Jokowi mendorong masyarakat agar lebih mencintai dan
mendukung produk-produk dalam negeri, sekaligus menyerukan untuk membenci
produk-produk asing.
Seruan ini buru-buru diluruskan oleh Mendag, Muhammad Luthfi pada
konferensi pers secara virtual hari itu juga. Beliau mengatakan, "Saya mohon kepada rekan media untuk tidak
membesar-besarkan permasalahan ini. Yang salah ini adalah Menteri Perdagangan yaitu
saya sendiri, karena saya memberikan laporan kepada beliau sesaat sebelum acara
dimulai dan ini merupakan bentuk bukan hanya kekecewaan beliau tapi bentuk
kekecewaan kita semua karena praktik yang tidak adil ini menyebabkan kerusakan
yang masif pada UMKM kita."
Namun
Presiden kembali mengeluarkan seruan serupa pada
Rapat Kerja Nasional XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia pada Jumat (5/3).
Kata Presiden, jika lebih banyak masyarakat yang memilih produk dalam negeri
ketimbang produk asing, kinerja industri yang sempat lesu akibat pandemi bisa
terdongkrak, sebagaimana yang dilansir m.mediaindonesia.com
Tentu
saja seruan ini memantik reaksi keras dari masyarakat. Pasalnya ajakan ini
dinilai kontra produktif dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Bagaimana tidak, Jokowi mengambil kebijakan
untuk impor beras hanya berselang 2 hari setelah seruan itu. Wacana untuk kembali membuka impor beras sebanyak 1
juta ton itu telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas. Bahkan
Kementerian Perdagangan dikabarkan telah mengantongi jadwal impor beras
tersebut.
Beberapa
tokoh juga merespon seruan Jokowi, pasalnya Indonesia saat ini masih bergantung
dengan produk impor. Pakar telematika, Roy Suryo,
juga mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam cuitannya via akun
@KRMTRoySuryo2 pada Kamis (4/3) "Tadi naik helikopter apa produk asli
PTDI (PT Dirgantara Indonesia)? Kenapa tidak naik Esemka yang 'katanya' produk
nasional?"
Direktur Eksekutif
Parameter Politik, Adi Prayitno, menilai seruan benci produk asing itu adalah
wujud kegalauan pemerintah. Sebab, saat ini hampir semua sektor melakukan
impor. Padahal, banyak sektor yang sebenarnya bisa dikapitalisasi. Intinya
ajakan untuk membenci produk asing ini bisa menjadi bumerang bagi perekonomian
Indonesia yang saat ini masih sangat didominasi dengan produk impor.
Sebenarnya
keinginan pemerintah ini memang patut diapresiassi. Sebagai sebuah bangsa yang
memiliki luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, kekayaan alam yang
berlimpah, dan tanah yang subur wajar bila pemerintah memiliki keiginan untuk
mandiri. Dari tinjauan ini sebenarnya sangat layak Indonesia menjadi bagsa
besar dan mandiri.
Namun
sayangnya, kondisi ini tidak dibarengi dengan tata kelola yang baik. Sistem
ekonomi kapitalis liberal yang diterapkan di negeri ini membuat Indonesia
memiliki tata kelola berbasis riba dan akad-akad yang tidak sesuai syariat
Islam. Akibatnya utang terus menunpuk, tengkulak merajalela, bisnis korporasi
terus menjarah berbagai lini, investasi asing terus meningkat, kran impor sulit
untuk disumbat, sehingga rakyat tidak bisa merasakan berlimpahnya sumber daya
alamnya sendiri. Ibarat ayam mati di lumbung padi, itulah kira-kira kalimat
yang tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia ini.
Maka
tak heran jika seruan untuk membenci produk asing akhirnya membuat kepala pening
sebab keinginan itu tidak dibarengi dengan langkah-langkah yang bisa
mewujudkannya. Yang muncul justru berbagai kebijakan yang bertentangan dan
membuat rakyat kian sengsara. Kemiskinan kian bertambah meski kekayaan alam
berlimpah. Dibukanya kran impor produk asing tidak membuat kondisi lebih baik,
justru bikin pusing. Demikianlah watak dari sistem kapitalisme yang berbeda
secara diametral dengan sistem ekonomi Islam.
Tentunya
jika ada niat dan minat untuk menjadi bangsa yang mandiri, semestinya pemerintah
melakukan instropeksi terhadapa sistem ekonomi yang digunakan. Apakah memang sistem
tersebut mampu mengantarkan pada kemandirian suatu negara atau justru
sebaliknya? Dan jika memang sudah ada sistem ekonomi yang secara historis dan
empiris telah mampu membuktikan terbangunnya kemandirian suatu negara, mengapa
juga masih bertahan dengan sistem ekonomi yang ada? Wallahu a’lam
Penulis: Kamilia
Mustadjab
0 Komentar