Pernyataan Anggota Komisi 3 DPRD Provinsi Jawa Barat, Abdul Jabar Majid kepada Radar Bekasi (27/2/2021) mengenai pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di setiap kota maupun kabupaten harus bersih dari campur tangan politik. Menurutnya, kunci agar bisa berjalan maksimal dengan cara menyehatkan dulu BUMD hingga bisa bekerja secara professional. Misal, untuk di Kabupaten Bekasi, belum sampai 60 persen masyarakat yang mendapatkan air dari PDAM. Hal itu disebabkan beberapa faktor, seperti pengelolaan yang besar, dan jaringan. Pihak pengelola PDAM harus mengusahakan bagaimana caranya agar semua masyarakat bisa mendapatkan air.
Bekasi dengan 6 BUMD yang bergerak di berbagai sektor usaha, yaitu PDAM Tirta Patriot, PDAM Tirta Bhagasasi Bekasi, PD. Mitra Partiot Kota Bekasi yang bergerak di bidang transportasi dengan mengelola Bus Trans Patriot. Berikutnya, PD. Migas Kota Bekasi, PT. Sinergi Patriot Kota Bekasi (SBP) bergerak di bidang gas bumi. Terakhir, PT. BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariáh Partiot Kota Bekasi) jasa keuangan perbankan (Bappeda.jabarprov.go.id) Beberapa BUMD ini akhirnya membebani anggaran daerah untuk pembiayaan direksi dan operasional kantor yang kebutuhannya melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD). (Radarbekasi.id, 29/01/2020)
Terkait pengelolaan yang besar jika dimaksudkan oleh Anggota Komisi 3 di atas dengan sokongan biaya dan penyertaan modal dari APBD untuk menyehatkan semua BUMD tersebut, sudah lama berjalan dengan hasil yang tidak sehat. BUMD mangkrak menghasilkan PAD, membebani daerah dengan utang bahkan terancam bangkrut.
Padahal dari sisi dana dan jaringan, adanya campur tangan Pemerintah Daerah dengan menggerakkan perangkat terkaitnya, seharusnya bisa optimal mendistribusikan produk kepada warga Bekasi. Namun, jika yang dimaksud BUMD Bekasi harus bersih dari campur tangan politik praktis dan menjadi perusahaan mandiri yang membuka investasi untuk pihak ketiga, yang terjadi adalah penyaluran produk BUMD yang merupakan kebutuhan warga Bekasi harus diperoleh dengan harga mahal dan akan membebani kehidupan warga karena harus membeli pelayanan bukan memperoleh pelayanan. (Mediaindonesia.com, 03/12/2019)
Kemudian, dengan adanya professionalitas tanpa mengedepankan pelayanan pada warga, pemberdayaan pada BUMD Bekasi justru menjadi arus bancakan dan investasi politik partai lokal. Konflik kepentingan politik terjadi jelang Pemilu 2014 lalu, terkait adanya individu-individu partai tertentu yang menjadi jajaran direksi BUMD Bekasi. Bentukan Bupati Bekasi periode saat itu sebagai kader partai politik yang sama dengan para direksi BUMD.
Inilah risiko jika BUMD dikooptasi oleh kepentingan partai politik tertentu dan jadi rebutan kepentingan politik, sebab dianggap strategis bisa membantu pembiayaan politik 2014. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Yayan Rudiyanto, pengamat politik dari Unisma Bekasi kepada Beritasatu.com (34/11/2013).
Adanya pernyataan Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang tidak mempersoalkan adanya direksi dalam tubuh BUMD menuai sorotan dari Direktur Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang mengungkapkan adanya indikasi bagi-bagi jatah kekuasaan yang dilakukan oleh Kepala daerah (Klik bekasi.co, 04/12/2014).
Dari sisi Peraturan Pemerintah, permakluman Wali Kota Bekasi tersebut melanggar PP 54 tahun 2017 tentang BUMD pasal 38 dan pasal 57 menentukan bahwa tidak memperboleh Dewan Pengawas dan Direksi BUMD merangkap pengurus parpol. (Kupasmerdeka.com, 17/09/2019)
Jelang Pilkada, BUMD rentan jadi alat lobi kepentingan yang menggiurkan. Terjadi saat Rahmat Effendi yang juga Ketua DPD partai politik tertentu Kota Bekasi rutin melakukan komunikasi baik lintas partai politik, tokoh masyarakat, agama, dan pemuda. Langkah tersebut disinyalir menjadi langkah pendekatan guna menarik dukungan pada Pilkada 2018 lalu. Bagi-bagi kue jabatan santer terdengar di tengah percaturan politik Kota Bekasi saat itu. Disinyalir, kepala daerah saat itu mengakomodir dua petinggi partai untuk masuk dalam badan pengawas Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) demi kelangsungan kekuasaannya. (Bekasi.pojoksatu.id, 14/02/2017)
Bahkan, adanya kerugian BUMD Bekasi bukan hanya dari sisi kinerja saja, akan tetapi keberadaan BUMD sebagai alat bargaining politik, memunculkan praktik korupsi yang masif dari para elit partai politik yang bukan lagi menjadi rahasia umum masyarakat Bekasi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7% anggota DPR terindikasi korupsi (News.detik.com, 01/05/2013).
BUMD Bekasi yang bergerak di bidang energi, minyak dan gas bumi, infrastruktur, industri, perdagangan dan jasa tidak bisa lepas dari unsur dividen internal para elit partai politik, oknum pimpinan perusahaan hingga jajaran direksi. (Radarnonstop.co, 15/03/2019)
Jika fakta lapang di atas yang memunculkan pernyataan BUMD harus bersih dari campur tangan politik, jelas bahwa perilaku politik opportunis partai politik Bekasi yang menjadikan BUMD sebagai pion kepentingan, harus dicegah dengan tegas. Namun, bukan berarti BUMD harus dijauhkan dari politik praktis Pemerintah Daerah.
Meski harus diakui bahwa campur tangan Pemda yang salah dalam ekplorasi aset BUMD membuahkan sengkarut. Cara pandang khas dari sistem kapitalisme sekuler yang dijadikan asas Penguasa Daerah nampak dari perannya sebagai fasilitator berkembangnya investasi dengan keuntungan materi semata untuk mengisi kas PAD.
Fungsi pelayanan Pemda menjadi hilang berganti dengan penjual layanan bagi warga. Inilah masalah utamanya, berlangsungnya politik Pemda memberikan kewenangan pada pihak lain untuk mengembangkan BUMD Bekasi membuat BUMD menjadi tidak pernah sempurna kebermanfaatannya untuk warga Bekasi.
Berbeda dengan sistem terbaik dunia untuk masyarakat, yakni sistem Khilafah Islamiyah. Dalam Islam, harta milik negara dan perusahaan negara (BUMN) pengelolaannya diwakilkan kepada Khalifah sebagai kepala negara (Dr. Mohammad Husain Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, bab Sistem Ekonomi Islam). Islam melarang tegas adanya pelimpahan wewenang penanganan BUMN, termasuk yang posisinya berada di daerah (BUMD) kepada struktural lain dalam pemerintahan apalagi pihak ketiga seperti investor atau swasta.
Struktur pemerintahan di bawah Khalifah, hanya menjalankan fungsi pelayanan sesuai dengan mandat dari Khalifah. Adapun dalam eksplorasinya, Khalifah berhak membentuk departemen atau instansi yang bertanggung jawab kepada Khalifah dan memberikan laporan kepada Khalifah agar bisa memutuskan perkara terkait BUMN dengan tepat demi kepentingan masyarakat.
Dengan penerapan sistem seperti ini, peluang BUMN dijadikan alat politik bahkan kesempatan rebutan jatah hingga korupsi tertutup rapat. Fungsi penguasa sebagai pelayan rakyat akan tetap terjaga dan pembagian kebutuhan masyarakat pun akan merata dengan penerapan sistem pemerintahan, politik sekaligus sistem ekonomi Islam yang kokoh. Sistem ekonomi Islam dibangun di atas tiga prinsip utama, yakni konsepsi tentang kepemilikan (al-milkiyyah), pengelolaan (at-tasharruf), dan distribusi (at-tauzi) harta.
Tiga pilar tersebut mutlak dilakukan negara dan juga mendasari kegiatan ekonomi rakyat. Walhasil, dengan penerapan politik praktis Islam, BUMD Bekasi justru akan semakin optimal ketika kepala negara beserta perangkat struktur daerah sebagai pemilik kewenangan total mengembangkan BUMD untuk kesejahteraan warga. Wallahu alam bishshawab.
Oleh N. Suci M.H
0 Komentar