Cabut Investasinya, Cabut Juga Legalitasnya Khamr Mutlak haram!


Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mencabut Peraturan Presiden (perpres) izin investasi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol. Perpres itu tertuang dalam Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari  2021. Jokowi membatalkan perpres tersebut setelah mendengar masukan dari beberapa kelompok masyarakat, seperti ulama, MUI, NU, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya (Cnnindonesia.com, 2/3/2021).


Hal tersebut tentu disambut baik oleh semua kalangan, termasuk rakyat Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas juga memuji keputusan presiden Jokowi yang mencabut Perpres investasi miras. 

Sejalan dengan MUI, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Said Aqil Siradj menyatakan PBNU menolak tegas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021. “Apapun alasannya, pertimbangannya, kami menolak ada investasi  untuk industri khamr ini.” Kata Said Aqil dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (2/3).


Sebagaimana yang telah diketahui di awal pengesahan Perpres ini sudah mengundang polemik dari berbagai kalangan. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menyoroti bahwa adanya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini hanyalah aturan turunan sebagai konsekuensi nyata dari adanya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Ia membandingkan, jika sebelumnya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melahirkan aturan turunan Perpres No 44 Tahun 2016 menempatkan industri minuman keras mengandung alkohol masuk klasifikasi daftar bidang usaha tertutup, sedangkan Perpres No 10 Tahun 2021 masuk kategori daftar bidang usaha persyaratan tertentu. Walaupun penanaman modal industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan Kepala BPKM atas usulan gubernur (Okezone.com, Selasa 2/3/2021).   


Dengan pencabutan Perpres tersebut, maka miras kembali masuk dalam bidang usaha tertutup investasi. Ini tercantum dalam aturan sebelumnya, yakni Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Namun dengan kata lain, meskipun Perpres No 10 telah dicabut oleh presiden, usaha dan perdagangan miras ini masih diperbolehkan dan mendapatkan izin dari pemerintah meskipun dengan beberapa persyaratan yang ada.  


Seperti yang dinyatakan oleh Ketua MUI Pusat Cholil Nafis, juga meminta Presiden Jokowi untuk merevisi seluruh aturan yang masih memperbolehkan adanya perdagangan miras di tengah-tengah masyarakat. “Majelis Ulama Indonesia juga berharap ini menjadi momentum peneguhan komitmen untuk menyusun berbagai regulasi yang memihak pada kemaslahatan masyarakat, dan juga mereview seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan destruksivitas di tengah masyarakat,” ujarnya.


Jadi diharapkan dari pemerintah, pelarangan dan pencabutan izin tidak berhenti atau terbatas untuk Perpres investasi miras saja. Tetapi berlaku juga untuk semua bentuk usaha, peredaran, dan perdagangan minuman keras yang selama ini telah berlaku di negeri ini. 


Sebagai contoh, sebelum adanya Perpres No 10 tentang investasi miras. Indonesia khususnya Jakarta mempunyai pabrik bir bernama PT Delta Djakarta Tbk. Dan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pemprov DKI) juga merupakan pemegang saham utama di Perseroan tersebut dengan kepemilikan 26,25%. 


Ditambah lagi bahwa industri miras selama ini ikut menyumbang pendapatan negara dalambentuk cukai. Melansir laporan APBN KiTa Februari 2021, penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA)pada Januari sebesar 250 miliar. Angkanya minus 15,18 persen secara tahunan (yoy). (Cnnindonesia.com, Senin 1/3/2021). 

Dilansir dari republika.co.id, Kasubdit Perizinan dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Tedi Himawan, data pengusaha Minol pabrik MMEA ada sebanyak 87 perusahaan, sedangkan importer MMEA sebanyak 16 perusahaan, penyalur MMEA sebanyak 865 perusahaan dan Tempat Penjualan Eceran (TPE) MMEA sebanyak 3.659. 


Dari fakta-fakta yang ada tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah selama ini telah melegalkan minuman keras, meskipun peredarannya masih dibatasi. Penerimaan cukai yang besar dari MMEA inilah yang membuat pemerintah separuh hati dalam pemberantasan minuman keras. Hal ini pula yang menjadi pengganjal untuk segera disahkannya RUU Larangan Minol. Alotnya pengesahan RUU tersebut dirasakan hingga saat ini, dan jikapun terjadi pengesahan, kemungkinan RUU tersebut telah direvisi sedemikian rupa sehingga  tetap bisa meyelamatkan para pengusaha yang selalu bermain mata dengan penguasa yang tidak amanah.


Melihat bahwa sekulerisme lah yang menjadi landasan pemerintah dalam membuat hukum dan telah demikian mengakar, menjadikan sebuah hal yang mustahil minuman beralkohol akan ditumpas hingga ke akarnya. Kerap memisahkan aturan agama dalam kehidupan menjadikan hal tersebut bagaikan jauh panggang dari api. Jumlah mayoritas umat Islam di negeri ini tidak lantas dijadikan patokan atau standar dalam mengambil  sebuah keputusan, bahwa miras itu haram hukumnya. 


Di dalam Islam, minuman keras atau yang biasa disebut khamr dengan sangat tegas dilarang. Allah Swt berfirman dalam Alquran surat Al Maidah ayat 90:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."


Sementara itu siapapun yang terlibat dalam penyalahgunaan miras ini juga dilaknat oleh Allah. Entah itu pembuatnya, pemakainya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi.  Sebagaimana sabda Rasulullah Saw mengenai hal ini, “Khamr dilaknat pada sepuluh hal; (1) pada zatnya, (2) pemerasnya, (3) orang yang memerasnya untuk diminum sendiri, (4) penjualnya, (5) pembelinya, (6) pembawanya, (7) orang yang meminta orang lain untuk membawanya, (8) orang yang memakan hasil penjualannya, (9) peminumnya, dan (10) orang yang menuangkannya.”


Begitu mutlak keharamannya, sampai-sampai tidak ada lagi perbedaan diantara para ulama mengenai hal ini. Kerusakan yang diakibatkannya sangat jauh lebih besar dari keuntungan yang didapatkan oleh negara ini. Jadi, kita tunggu saja kabar baik selanjutnya bahwa pemerintah akan me nonlegalkan minuman keras ini dan memberikan sanksi bagi para pelakunya yang terkait. Wallahu a’lam bishshowab.


Oleh Anjar Rositawati


Posting Komentar

0 Komentar