Saat banjir terjadi, kerap yang disalahkan adalah hujan. Memang salah satu faktor banjir adalah intensitas hujan yang tinggi. Padahal hujan tak sepenuhnya salah. Di bulan ini kembali terjadi banjir yang melanda beberapa wilayah di nusantara, termasuk Bekasi.
Kali ini banjir yang terjdi di Bekasi cukup parah, apalagi daerah yang berdekatan dengan tanggul Sungai Citarum. Di kabarkan bahwa tanggul Sungai Citarum, di Desa Sumberurip, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, jebol pada Sabtu (20/2) malam lalu. Tanggul jebol itu mengakibatkan 9 desa di Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, terendam banjir. Sembilan desa tersebut yakni Desa Sumber Urip, Desa Karangharja, Desa Sumbereja, Desa Karang Patri, Desa Bantar Sari, Desa Karanghaur, Desa Sumbersari, dan Desa Bantar Jaya. (news.detik.com/22/02/21)
Jebol tidaknya tanggul, sebenarnya fenomena banjir hampir setiap tahun terjadi seolah tak bisa dihindari. Tanggul Sungai Citarum di Bekasi jebol karena air meluap tak seperti biasanya. Kapasitas air yaitu 800 meter kubik. Namun pada Sabtu (20/2) malam lalu mencapai 1.300 meter kubik, ini melebihi kapasitas tanggul yang mengakibatkan tanggul jebol di beberapa titik.
Program Citarum harum yang telah direncanakan semenjak 17 Oktober 2019 luluh lantak dengan jebolnya tanggul Citarum dan menyebabkan beberapa wilayah di Bekasi terendam banjir yang berkepanjangan. Sekitar 8000 warga dievakuasi ke 16 titik pengungsian (news.detik.com/23/02/21)
Mengapa banjir kerap terjadi setiap tahunnya? Mengapa air bisa meluap sebesar itu? Tidakkah hal ini menjadi perhatian para penguasa? Jangan sampai perhatian dan prioritas penguasa lebih besar terhadap pembangunan infrastruktur ketimbang keselamatan rakyatnya. Karena bencana banjir cukup merugikan rakyat.
Wacana citarum harum yang ditargetkan mencapai target 100% ditahun 2023 ini pada faktanya tak diiringi dengan realisasi perluasan area resapan air demi mendukung program ini, justru sebaliknya pemerintah aktif dalam menggenjot infrastruktur yang bahkan mengabaikan AMDAL.
Bencana banjir menandakan terjadinya ketidakseimbangan alam sehingga erat kaitannya dengan rusaknya lingkungan. Bagaimana tidak, secara teori air hujan yang turun akan meresap ke dalam tanah dan di alirkan ke sungai, danau dan laut atau ditampung pada waduk-waduk yang ada. Faktanya hari ini proyek-proyek dengan dalih pembangunan infrastruktur terus digenjot tetapi minim dalam memperhatikan efek dari kerusakan lingkungan. Misalnya proyek tol Nasional yang melintasi wilayah Bekasi. Jika kita lihat secara fisik, lahan untuk tol adalah bekas persawahan dan perkebunan yang ditumbuhi banyak pepohonan. Ketika lahan-lahan ini beralih fungsi menjadi tol, maka tempat serapan air menjadi hilang. Jika curah hujan tinggi maka besar kemungkinan terjadi banjir besar dan longsor. Maka masuk akal jika air yang masuk ke sungai bertambah banyak hingga melebihi kapasitas sungai.
Banjir yang rutin menyapa bekasi raya setiap tahunnya seharusnya sangat cukup membuat para penguasa untuk melakukan evaluasi yang maksimal dalam menanggulangi sekaligus menyiapkan strategi dalam menghadapi kemungkinan terulangnya bencana yang sama ketika curah hujan tinggi.
Begitulah ciri sistem kapitalis, tak pernah serius dalam mengurus kepentingan rakyatnya, karena sistem ini lahir dari asas sekularisme (memisahkan aturan agama dari kehidupan) dan memprioritaskan materi. Sehingga kebijakan yang lahirpun mempertimbangkan untung-rugi bukan keselamatan rakyat.
Jika memang serius, tentu pemerintah akan mencari solusi yang tepat seperti membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air hujan dan air sungai. Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut. Melakukan pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalirkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di spot tertentu.
*Tata Ruang Era Islam*
Ketika Nabi SAW membangun Madinah al-Munawarah sebagai pusat pemerintahan Negara Islam, Nabi Saw telah menetapkan empat unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota. Pertama, masjid jami’ yaitu Masjid Nabawi. Kedua, kediaman Nabi Saw yang berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar yang kemudian di kenal dengan Suqu an-Nabi (pasar Nabi). Keempat, pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-mawardi menyatakan:
“Qadhi Hisbah yang mengepalai Dar al-Hisbah berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan lalu lintas, sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan. Sekalipun bangunan tersebut adalah Masjid. Karena kepentingan jalan adalah untuk perjalanan bukan untuk bangunan. Qadhi Hisbah juga berhak untuk melarang siapa pun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan orang. Dalam hal ini, Qadhi Hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena ini merupakan ijtihad dalam masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.” (Al- Mawardi, al-Ahkam as-Suthaniyyah, hlm 430-431)
Sementara itu, kawasan yang menjadi konservasi dan resapan air dengan berbagai tanaman dan pohon tidak boleh menjadi pemukiman yang dapat merusak fungsinya. Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa jika penggunaan lahan-lahan milik umum bisa membahayakan kepentingan publik. Bangunan rumah bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya.
Dari sini, bisa kita lihat bagaimana teratur dan terjaganya tata ruang dalam Islam, hal ini menunjukan saat Islam diterap dalam setiap lini kehidupan tidak hanya manusia yang terjaga tetapi alampun tetap lestari. Kini, ummat islam tengah hidup dalam sistem kapitalis yang merusak dan menyengsarakan kehidupannya. Hidup dalam tata ruang yang buruk mengakibatkan rusaknya lingkungan dan bencana alam yang datang tiada henti. Persoalan banjir di bekasi membutuhkan solusi pasti yang benar-benar direalisasi tak sekedar ingin memperoleh apresiasi.
Oleh Weni Anggraeni
0 Komentar