Demi Keselamatan Rakyat Negara Boleh Melanggar Konstitusi, Dalih Menuju Otoriter?



Pandemi Covid-19 yang telah terjadi satu tahun belakangan di seluruh dunia, sampai saat ini masih menghantui. Namun pemerintah terlihat tidak fokus dalam penanganan kesehatan, justru aspek ekonomi yang sedang digencarkan. Di tengah hiruk pikuk itu semua, menkopolhukam memberikan pernyataan yang banyak menjadi bahan perbincangan.

Saat menyambangi Markas Kodam V/Brawijaya, Surabaya, Rabu (17/3), Mahfud MD mengatakan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, sehingga bila ingin menyelamatkan rakyat boleh saja melanggar konstitusi (CNN Indonesia.com 18/3/2021). 

Ia katakan bahwa hal tersebut mempunyai landasan teori berdasarkan adagium hukum yang dilontarkan oleh filsuf Italia Cicero, 'Salus Populi Suprema Lex Esto' atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. 

Pernyataan Mahfud MD di atas terkait keselamatan rakyat dalam menangani Covid-19. Sebagai contoh pada program vaksinasi yang dilakukan pemerintah secara cepat dan masif untuk menekan angka kasus Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. 

Ternyata dari pernyataannya tersebut salah satu kritik datang dari Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule. Ia mengurai bahwa secara substansi, konstitusi hadir untuk memberi perlindungan bagi rakyat dari penguasa. Dengan adanya konstitusi, maka penguasa tidak bisa seenak hati dalam membuat kebijakan.

“Justru konstitusi itu yang menjaga rakyat dan negara dari penguasa yang zalim, yang tak adil, dan menyengsarakan. Membatasi kekuasaan. Sehingga konstitusi itu tak boleh dilanggar,” tegasnya (RMOL 18/3/2021).

Selain Iwan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Ashidiqie juga berpendapat demikian. Jimly menyarankan untuk melihat kembali dengan detil Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 12 sebelum melihat pernyataan menkopolhukam. 

"Ini harus dibaca berdasarkan Pasal 12 UUD 45. Inilah dasar-dasar pintu masuk bagi berlakunya HTN (hukum tata negara) Darurat," kata Jimly di akun Twitternya, Rabu (17/3). Pasal tersebut, turut memuat frasa 'keadaan bahaya' seperti yang disampaikan Mahfud MD. Di pasal itu menegaskan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibat dari keadaan bahaya tersebut ditetapkan oleh undang-undang (RMOL 17/3/2021).

"Di luar ini, negara hukum dilarang keras langgar UUD. Maka, tidak usah ragu terapkan keadaan darurat. Kalau UU/Perpu Keadaan Bahaya 1959 jo UU Perppu 1960 dinilai ketinggalan, ubahlah dengan Perppu baru," lanjut Jimly.

Sayangnya semua undang-undang yang menjadi dasar penangan wabah Covid-19 ini tidak satu pun yang masuk melalui pasal 12 mengenai kegawat daruratan. Seperti UU Bencana tahun 2007, Undang-Undang Karantina Kesehatan tahun 2018 ataupun Undang-Undang Covid tahun 2020. 

Artinya yang dipakai oleh pemerintah selama ini adalah Hukum Tata Negara normal bukan kegawat daruratan, sehingga asas 'Salus Populi Suprema Lex’ tidak berlaku. Maka bila asas dari Cicero tersebut tidak berlaku yang ingin diatakan adalah jangan pernah sebuah negara keluar dari konstitusi. 

Rakyat, Tanggung Jawab Negara 

Keselamatan rakyat adalah tanggung jawab penguasa. Ia diangkat oleh rakyat adalah untuk menjalanakan amanahnya, bukan demi kebaikan kroni-kroninya. Sehingga, konsentrasi penuh untuk keselamatan rakyat adalah hal nomor satu. Hal ini tak bisa dielakkan. 

Jauh sebelum pernyataan menkopolhukam keluar, keseriusan penanganan wabah sama sekali tak terlihat. Padahal Rocky Gerung dalam kanal YouTube Menara media Official 19/3/2021   menjelaskan bahwa Indonesia berkali-kali diminta untuk memperbaiki sistem pananganan Covid-19. 

Banyak hal yang diakibatkan, salah satunya tidak diterimanya warga Indonesia keluar negeri, termasuk umroh. Hal ini diakibatkan karena tes bebas covid memiliki perbedaan standar dengan negara lain. Dengan begitu, tes PCR yang saat ini digadang-gadang menjadi yang paling mendekati benar di negeri ini, namun negara luar justru tidak yakin dengan tes tersebut. 

Selain itu, lamanya hasil tes bebas covid-19 bisa menjadi masalah. Karena bisa jadi walaupun hasil tes menunjukkan negatif, namun pada saat menunggu hasil tes justru tertular virus. Masalah teknis dan administratif ini seharusnya juga dipikirkan oleh pemerintah, inilah yang dinamakan serius dalam penanganan. 

Sehingga pernyataan yang keluar dari seorang menkopolhukam, mantan ketua mahkamah konstitusi tersebut bisakah diartikan bahwa suatu saat negara boleh saja keluar dari konstitusi? Yang bila hal tersebut dilakukan menjurus pada negara otoriter. 

Sejatinya dalam sebuah hadis dikatakan bahwa pemimpin ibarat perisai yang melindungi rakyatnya dari apapun yang akan menimpa. Ia tak akan rela bila rakyatnya kesulitan seperti yang dicontohkan oleh Umar Bin Khathab yang dengan sabar menggendong sekarung bahan makanan untuk seorang ibu dan beberapa anaknya yang tertidur kerena kelaparan. 

Umar sedih bahwa ada rakyatnya yang masih tak terurus olehnya. Oleh karena itu, ia bawa sendiri karung yang penuh tersebut, ia katakan pada shahabatnya yang ingin menolongnya, “Apakah engkau akan sanggup menggantikanku di neraka kelak?” 

Begitulah karakter para pemimpin Islam dahulu, mereka tak akan menyepelekan hak rakyat. Selain memang hal tersebut diwajibkan oleh Allah Swt. Jangankan untuk mengkorupsi jutaan manusia, tidak terpenuhinya hak rakyat satu orang saja, mereka berfikir seribu kali.  

Pendegradasian yang sangat tajam tersebut terjadi karena sangat kuatnya ide kapitalis digenggam para pemimpin dunia. Mengapa terus berpegang teguh pada ide rusak yang menghancurkan manusia? Oleh karena itu sudah saatnya system kenegaraan di seluruh dunia beralih kepada sistem yang dahulu pernah mensejahterakan manusia berabad lamanya. Itulah sistem khilafah dengan manhaj nubuwah, yang datang dari Sang Pencipta. []

Wallahu’alam.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar