Di Balik Paradoks Benci Produk Asing


Menanggapi ajakan Jokowi untuk benci produk asing, Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, mengatakan bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan kenyataan alias paradoks. "Semangatnya sih oke, tapi kan tidak selesai urusan retorika. Harus diterjemahkan dengan kebijakan politik yang memihak produk-produk lokal," kata Adi yang juga dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (5/3/2021).

Nyatanya, tak lama berselang seruan itu digaungkan, pemerintah sudah merencanakan untuk membuka impor beras sebanyak 1 juta ton. Tak ayal lagi, kebijakan itu kian menunjukkan kontradiksi yang ada. Masyarakat jadi semakin pesimis seruan itu akan terus bergaung.

Rasa pesimis terhadap seruan itu memang wajar ada. Sebab tata kelola perekonomian saat ini memang terlanjur bobrok. Betapa tidak sistem ekonomi kapitalis liberal yang digunakan saat ini justru meniscayakan terjadinya hal ini. Ada beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut.

Pertama, secara realitasnya sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang disandarkan pada penciptaan keuntungan dari pemilikan modal oleh swasta. Ide ini, menurut para kritikus kiri, adalah biang kerok semuanya. Akibat ide ini, para pekerja dan buruh akan diupah jauh lebih rendah dari produktivitasnya demi pencapaian keuntungan dari korporasi. Banyaknya para tengkulak mewakili fenomena ini. Akibatnya kesenjangan akan semakin lebar.

Kesenjangan yang kian lebar ini membuat para pekerja harus berpikir dua kali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan anak-anak dan upaya peningkatan kualitas diri akhirnya menjadi opsi untuk dipangkas daripada tidak bisa makan. Walhasil skill yang dimiliki tidak berkembang, produktivitasnya tidak meningkat dan tak pernah bisa megubah nasibnya. 

Jika dinisbahkan pada kondisi suatu negara, maka hal ini akan membuat negara tak mampu memproduksi barang yang bisa bersaing dengan produk luar. Apalagi jika negara absen dari upaya memberikan pembinaan-pembinaan terhadap para produsen di level UMKM. Negara tak memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap peningkatan mutu dan kualitas barang. Di tambah lagi negara tidak memberi perhatian pada pendidikan generasi hingga mereka tidak bisa bersaing dengan SDM luar. 

Nah, ketika produk dalam negri lebih rendah kualitasnya dibandingkan produk luar, sementara produk luar selain lebih berkualitas ternyata juga lebih murah, maka tak dapat dipungkiri jika opsi impor diambil. Meskipun pada akhirnya dibukanya kran impor ini juga akan menambah kesenjangan harga yang berujung pada kemiskinan.

Kedua, sistem kapitalis menciptakan dominasi negara maju terhadap negara dunia ketiga. Terminologi negara dunia ketiga dalam literatur ilmu pembangunan ekonomi adalah sebutan bagi negara-negara yang sedang berkembang. Negara yang tergolong kelompok ini, umumnya adalah negara yang pembangunan ekonominya tergantung pada bantuan luar negeri dari negara-negara industri atau negara maju. 

Situasi ini menurut Hans Henrick Holm dalam tulisannya yang berjudul The End of The Third World menyebabkan negara dunia ketiga bergantung dengan mekanisme ekonomi internasional dan tidak mungkin melepaskan diri darinya. Sedangkan sistem perdagangan internasional yang ada dikenal sebagai sistem kapitalisme dengan imperialisme yang menyertainya. Sehingga sistem ini dalam perspektif ketergantungan telah melemahkan kekuatan ekonomi politik pada negara dunia ketiga. Satu-satunya cara untuk bisa berkembang adalah melepaskan diri dari sistem tersebut. 

Cengkraman yang kuat dan dominasi politik ekonomi dari negara-negara maju dan organisasi internasional membuat negara dunia ketiga tak lagi punya kekuatan politik ekonomi secara nyata di dunia internasional. Maka ketundukan negara dunia ketiga pada mekanisme internasional ini juga memberikan pengaruh signifikan dalam upaya menekan kran impor produk asing. 

Walhasil, sekalipun seruan benci produk asing itu mendapat sorotan dari media luar negeri, tetapi sudah bisa dipastikan Indonesia takkan mampu berbuat banyak. Intinya memang sebatas retorika. Tidak lebih.

Ketiga, sistem ekonomi kapitalis telah membentuk jiwa bisnis pada para politsi. Hampir semua kebijakan yang ada bertumpu pada penyelesaian dengan perspektif ekonomi. Tengok saja bagaimana negeri ini menyelesaikan persoalan pandemi yang notabene adalah persoalan kesehatan. Pertimbangan ekonomi justru lebih dikedepankan daripada pendekatan kesehatan. Akibatnya justru memperparah kondisi yang ada. 

Demikian juga dengan penyelesaian persoalan pendidikan yang berbasis pada aspek ekonomi. Akhirnya negara hanya sekedar mengarahkan pembentukan sekolah vokasi tanpa berusaha mengingkatkan kapasitas sekolah umum yang seharusnya mampu mencetak para teknokrat, pakar, ilmuwan dan cendekiawan. Akibatnya negara seolah tak punya tenaga ahli. Jadi bagaimna mungkin negara mampu memproduksi barang berkualitas dan murah jika tidak memiliki tenaga ahli yang bersedia mengabdi bagi negara. 

Secara umum, tata kelola yang salah ini mengantarkan pada beragam persoalan yang terus berkelindan dan tumpang tindih. Karena itu sistem kapitalis yang memang sudah diakui kebobrokannya ini pantas untuk ditinggalkan. Tentunya harus digantikan dengan sistem yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan semua persoalan yang semakin rumit itu. Sistem ini adalah sistem yang memang sudah teruji dan pernah dijalankan di dunia, yakni sistem Islam dengan politik ekonominya yang tangguh. Dan ini sudah terbukti selama 1300 tahun sebelum akhirnya sistem ini runtuh di tahun 1924.

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin keluar dari berbagai persoalan ekonomi yang mendera, tak ada salahnya jika melirik pada sistem Islam. Mempelajari secara mendalam dan mengkaji akan kemungkinan untuk penerapannya. Jika dari hasil kajian tersebut memang sistem ini layak digunakan, mengapa juga masih bertahan dengan sistem Kapitalis? Wallahu alam bis showwab.

Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar