Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) telah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Desember 1979, dan diberlakukan pada 3 September 1981. Pada Juni 2007 tercatat sudah 185 negara yang ikut menandatangani konvensi ini, termasuk Indonesia. Indonesia kemudian mengadopsi pasal yang ada di dalam konvensi CEDAW tersebut ke dalam UU RI no. 7 Tahun 1984.
CEDAW adalah konvensi yang membahas seputar diskriminasi terhadap perempuan. Dalam sejarahnya, sebenarnya persoalan seputar dikriminasi terhadap perempuan jauh hari sudah dibahas dalam Piagam PBB, yang ditandatangani pada 26 Juni 1945. Dalam mukadimah Piagam PBB terkutip, “hak setara laki-laki dan perempuan,” dan di pasal 1 (3) tertulis bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia sedunia tidak memperbolehkan perbedaan atas jenis kelamin.
Kemudian, pada 10 Desember 1948 dibuatlah pengukuhan terhadap perkara hak asasi dan kesetaraan gender ini dengan diadopsinya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia ( _Universal Daclaration of Human Rights/UDHR_ ) oleh PBB. Eleanor Rooselvelt, ketua wanita pertama _Commission of Human Rights_ yang menyusun deklarasi ini, kala itu menyatakan bahwa, “Pada masa depan, deklarasi ini mungkin akan menjadi Magna Carta Internasional.” Kemudian hal itu ternyata terbukti saat ini.
Proses UDHR menjadi konstelasi global diperkuat dengan dilahirkannya Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1967. Lahirnya deklarasi ini adalah muara dari penilaian masyarakat dunia bahwa Piagam PBB dan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) belum cukup untuk melindungi hak-hak perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan yang terus berlangsung mendorong dibuatnya kerangka perlindungan hak-hak perempuan yang menyeluruh dan tepat sasaran. Deklarasi yang terdiri dari mukadimah dan sebelas pasal ini diharapkan akan cukup untuk mengentaskan masalah dikriminasi perempuan. Terlebih karena pada pasal 2 dinyatakan bahwa negara akan mengambil tindakan untuk memberikan perlindungan hukum yang mencukupi bagi perempuan dan laki-laki.
Namun kenyataannya, upaya menerapkan Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dinilai belum cukup juga untuk menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap perempuan di dunia, sehingga kemudian diratifikasilah Konvensi CEDAW oleh PBB. Lalu apakah dengan diratifikasinya Konvensi CEDAW masalah dikriminasi terhadap perempuan dapat dituntaskan? Kenyataannya, walau berbagai upaya telah dicoba, hingga hari ini diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi. Hal ini ternyata kuncinya terletak pada kesalahan cara pandang terhadap akar masalah dan metode penyelesaian yang ditempuh oleh dunia selama ini.
*Perempuan di Ranah Politik*
Demokrasi memandang bahwa keberhasilan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik ditandai oleh meningkatnya partisipasi perempuan di ranah institusi legislatif. Di Indonesia, upaya mengejar keterwakilan perempuan menjadi 30 persen di lembaga legislatif dinilai sebagai upaya paling tepat untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah politik. Namun pada faktanya, terbatasnya kemampuan para perempuan yang dicalonkan untuk lolos ke gedung DPR, menjadikan persentase tersebut belum bisa tercapai.
Cara pandang demokrasi menganggap bahwa, meningkatnya persentase keterwakilan perempuan di DPR akan berkorelasi dengan perbaikan nasib perempuan secara keseluruhan. Anggapan para pengusung demokrasi, semakin banyak perempuan yang menjadi anggota legislatif, akan semakin banyak kebijakan yang menguntungkan perempuan akan dilahirkan. Bahkan Amerika Serikat yang dianggap negara paling demokratis, nasib perempuannya dianggap memprihatinkan karena minimnya perempuan yang duduk menjadi anggota Kongres.
Mereka menilai minimnya legislator perempuan di bidang perekonomian, perdagangan dan industri menyebabkan mirisnya kondisi ekonomi perempuan. Selanjutnya, mereka menilai minimnya legislator perempuan mengakibatkan tidak terjaminnya keadilan serta keamanan bagi perempuan. Padahal, semua pada dasarnya berpangkal dari pembuatan peraturan dan hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Bukan pada banyak sedikitnya legislator perempuan.
Tak peduli ia laki-laki atau perempuan, atau sekelompok laki-laki atau sekelompok perempuan, kenyataanya manusia tidak ada yang mumpuni dalam membuat peraturan kehidupan. Laki-laki memiliki keterbatasan, seperti juga perempuan memiliki keterbatasan dalam membuat peraturan. Jadi meningkatnya persentasi perempuan di lembaga legislatif tidak menjamin perbaikan nasib perempuan, karena sesungguhnya hal itu tidak ada korelasinya.
Nasib perempuan akan buruk ketika peraturan yang dibuat dan diterapkan tidak diawali dengan menggali akar masalah sebenarnya. Kemudian di tataran solusi, peraturan tidak dibuat dengan menggunakan kaca mata yang benar dalam mendudukkan perempuan pada fitrahnya sebagai perempuan. Hal itu terjadi karena demokrasi selalu memandang perempuan dengan kaca mata laki-laki. Sehingga perempuan selalu didorong untuk setara dengan laki-laki di ranah laki-laki. Padahal seharusnya, masing-masing didorong untuk eksis di ranahnya masing-masing.
Dalam pandangan sistem kenegaraan menurut Islam, pembuat hukum dan peraturan tertinggi adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia dalam negara, berdaulat sepenuhnya pada aturan dari Allah ini. Pemimpin membuat peraturan turunan harus merujuk sepenuhnya pada peraturan dari Allah. Sementara di tataran teknis, peraturan dibuat merujuk pada sunnah dan hadits Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salam. Peraturan Allah meliputi keadilan yang hakiki, sehingga bisa dipastikan kaum perempuan tidak akan diperlakukan diskriminatif. Allah berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 50, yang terjemahannya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang meyakini?”
*Perempuan di Ranah Ekonomi*
Dunia dalam kaca mata Ekonomi Kapitalisme menilai martabat perempuan dipandang rendah jika perempuan tidak mampu menghasilkan uang. Perempuan dianggap tidak berguna ketika tidak berkontribusi di dunia kerja. Perempuan akan dianggap berdaya jika bisa menghidupi dirinya sendiri dan menyumbang devisa bagi negara. Karena itu, perempuan senantiasa dipaksa untuk menggerakkan mesin-mesin produksi, dengan iming-iming upah dan kesejahteraan. Padahal upah tersebut hanya sekedar receh dibandingkan besarnya keuntungan para kapital yang memeras tenaga mereka setiap hari.
Sementara di sisi lain, kewajiban utama perempuan di ranah domestik pasti tidak akan dapat ditunaikan dengan sempurna manakala perempuan telah tersita waktunya di dunia kerja. Anak-anak tentu tidak akan mendapat kecukupan asuhan dan pendidikan dalam kehangatan kasih sayang ibu mereka, ketika ibu mereka harus berangkat pagi dan pulang menjelang malam di setiap hari kerja. Semua demi prestis dan eksis di dunia kerja. Atau sebaliknya, demi menopang perekonomian keluarga.
Mempunyai penghasilan sendiri masih menjadi kebanggan dalam pandangan sebagian besar perempuan. Di sisi yang sama, perempuan merasa memiliki nilai tawar lebih tinggi ketika ia mampu mencari uang. Perempuan-perempuan beranggapan, mereka tidak akan diperlakukan semena-mena oleh suaminya, ketika mereka punya penghasilan. Sementara bagi sebagian besar laki-laki, perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri dinilai mempunyai kelebihan, karena dianggap mandiri. Apalagi jika pengasilan istrinya bisa meningkatkan taraf hidup keluarga, atau menolong kondisi ekonomi keluarga.
Semua pandangan dan anggapan tersebut sebenarnya keliru jika dinilai menurut cara pandang Islam dalam menilai perempuan. Menurut Islam, perempuan sesungguhnya mempunyai kewajiban yang sangat berat, yaitu menghasilkan dan mendidik generasi peradaban dengan sebaik-baiknya. Tugas ini sebagian besar memang dibebankan kepada perempuan, sementara kepada laki-laki dibebankan tanggung jawab mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
Pembagian kewajiban antara laki-laki dan perempuan menurut Islam sangat adil. Hal ini karena, kewajiban yang dibebankan sangat sesuai dengan fitrah dan kondisi masing-masing gender. Dalam Quran Surah An-Nisa’ ayat 34, Allah berfirman tentang kedudukan laki-laki, yang penggalan terjemahannya adalah, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, …”
Sedangkan kedudukan perempuan adalah sebagai penanggung jawab rumah tangga, seperti dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, yang penggalannya adalah, “…, dan istri adalah penanggung jawab atas rumah suami (dan anak-anaknya), dan ia akan diminta pertanggungjawaban atasnya.” Sedangkan terkait ibadah individu, Islam tidak membeda-bedakan gender. Laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan Allah melakukan salat wajib dan sunah, sama-sama diperintahkan berpuasa wajib dan sunah, berzakat, berhaji, bersedekah, menutup aurat, menjaga kehormatan, berbakti kepada ibu bapak, menuntut ilmu, berahlak mulia, berdakwah, berpolitik, dan lain-lain.
Jadi sesungguhnya dalam hal-hal yang penting, Islam tidak membeda-bedakan aktivitas yang boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam porsinya masing-masing, Allah memerintahkan baik bagi laki-laki ataupun perempuan untuk menyampaikan pendapat, memberikan nasihat, dan terjun ke kancah politik. Terdapat aturan dan rambu-rambu yang jelas dan mendetil dalam sistem bernegara menurut Islam, tentang aktivitas ini bagi laki-laki dan bagi perempuan.
Alhasil, sesungguhnya apa yang diributkan selama ini, terkait diskriminasi terhadap perempuan sesungguhnya tidak perlu dikawatirkan akan terjadi jika sistem bernegara menurut Islam diterapkan. Bahkan fakta sejarah mencatat bahwa diskriminasi seperti ini tidak pernah terjadi selama penerapan sistem Islam sepanjang 13 abad lamanya. Nyatanya, diskriminasi terhadap perempuan ini baru lahir ketika sistem demokrasi sekuler kapitalistik diterapkan, setelah sistem Islam runtuh seabad yang lalu. []
Oleh Dewi Purnasari,
Aktivis dakwah politik.
0 Komentar