Fenomena Bank Emok, Riba Jadi Solusi Atasi Kesulitan Ekonomi Warga



 Kesulitan ekonomi akibat pandemi semakin membuat sebagian penduduk Sukabumi terjepit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum kapital untuk mengeruk keuntungan dengan memberikan pinjaman tanpa jaminan tapi bunga selangit, bank emok salah satunya. Praktik yang digunakan strategi jemput bola memberikan pinjaman langsung pada warga. Persyaratan yang mudah dan bunga yang mencekik ringan dengan adanya model tanggung renteng. Skema ini mengharuskan peminjam dana berkelompok 10 orang. Jika salah seorang dari kelompoknya tidak dapat menyelesaikan pembayaran utang, maka anggota lain dalam satu kelompoknya harus membantu melunasi. (Finance.detik.com, 19/11/2019)


Tak sedikit warga yang mengeluhkan busuknya iming-iming tanggung renteng ini. Dari habisnya harta, perceraian bahkan utang yang kian membengkak tanpa mampu mencicil bahkan melunasinya menjadi masalah yang tak berujung. Kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Dian Mandiri yang diperkarakan ke jalur hukum oleh warga Bojonggenteng Sukabumi yang diduga menyegel rumahnya karena belum bisa melunasi tunggakan utang RP400.000 dari total pinjaman RP1,5 juta ternyata menggunakan model operasi bank emok. Mediasi yang menghasilkan poin yang belum disepakati kedua pihak ini, menegaskan bahwa pinjaman rente ini mengikat dan membahayakan warga. Adanya unsur saling menguntungkan dalam KSP ini, nyatanya semu bagi nasabah. (Sukabumiupdate.com, 21/01/2020)


Seakan tak pernah kehabisan modal menjerat mangsanya, menjamurnya bank emok dengan praktik rentenirnya ternyata didukung oleh BPR yang sudah berizin OJK sebagai penyalur utama pinjaman dana mikro ini. Hal ini diungkap oleh Anggota Komisi XI, Puteri Komarudin saat rapat dengan OJK di Gedung DPR, Jakarta, Senin (18/11/2019) kepada media Finance.detik.com. Adanya dukungan dana yang besar dan ketergantungan warga akan utang rente, membuat bank emok sulit diberantas. 


Hal ini ditegaskan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso. Ada sebagian masyarakat yang merasakan manfaat dari rentenir. Dengan kondisi demikian, sulit untuk memberantas rentenir. Menurutnya, ekosistem rentenir dan peminjam telah terjadi saling menguntungkan. Menurutnya, ini tidak menyalahi aturan tetapi hanya menyalahi etika (CNBCIndonesia.com, 16/07/2019). 


Simbiosis mutualisme semusim inilah yang justru menjadi pemicu kesulitan warga kian berat. Perang terhadap bank emok pun lantang disuarakan Pemerintah Sukabumi. Walikota Sukabumi, Achmad Fahmi pada tahun 2019 menyatakan Pemkot melakukan sinkronisasi program komunitas tertentu dengan program pemerintah kredit anyelir, yaitu bantuan permodalan yang difokuskan untuk membantu pembiayaan UMKM di tingkat kelurahan (Radarsukabumi.com, 28/08/2019). 

Program lain didukung oleh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sukabumi yang berkolaborasi dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Sukabumi menggandeng unsur pemerintah desa (Targettipikor.com, 01/02/2021) menekan maraknya bank emok di tengah pandemi Covid-19 mengeluarkan produk layanan baru yaitu Sahabat Mikro. 

Pemberian fasilitas kredit usaha mikro baik perorangan maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kabupaten Sukabumi dengan bunga rendah, yaitu 0,5 persen dengan harapan mengurangi ketergantungan pinjaman kepada rentenir dan mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tidak juga menuntaskan masalah bank emok. (Sukabumiupdate.com, 09/02/2021) 


Alih-alih mendapat kepercayaan masyarakat dan dipilih sebagai jalan keluar bagi warga yang membutuhkan dana tanpa rentenir dengan beban bunga selangit, upaya yang dilakukan Pemkot Sukabumi justru tidak menghentikan warga dari lilitan utang. Pasalnya, warga yang ingin keluar dari ketidakberdayaannya memenuhi kebutuhan hidup mereka terpaksa berutang kepada Pemkot melalui program-program yang ada. Perwal (Peraturan Walikota) dan penataan Unit Pengelolaan Kegiatan (UPK) yang merupakan perubahan PNPM (Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) yang digulirkan Bupati Sukabumi dalam memberikan pinjaman mikro yang hanya 2 persen bunganya (Sukabumikab.go.id), jelas tidak akan pernah merubah pemikiran warga pada utang ribawi. Bukankah ini tambal sulam yang tidak akan membuahkan solusi? Sejatinya, tidak akan pernah ada penyelesaian masalah kehidupan warga dengan rente, sementara peningkatan taraf kehidupan warga tak pernah diperhatikan.


Sistem ekonomi kapitalisme menempatkan penguasa sebagai fasilitator yang menawarkan solusi parsial semata. Keberadaan penguasa yang seharusnya menanggung kesulitan warga dan menghilangkannya, tak akan pernah bisa dipenuhi oleh sistem yang kapitalistik saat ini. Kapitalisme mengajarkan bahwa setiap barang mengandung nilai ekonomi yang dapat diperjualbelikan sehingga menghasilkan keuntungan, termasuk uang.  


Uang bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar tetapi bisa juga berfungsi sebagai komoditi. Sangat lumrah jika uang yang diutangkan dalam sistem ekonomi positif saat ini juga harus menghasilkan keuntungan. Mendapatkan kelebihan dalam transaksi utang piutang uang (riba) adalah sesuatu yang wajar. Secara prinsip, bunga dalam sistem ekonomi saat ini adalah pengerek laju ekonomi. Pendapat inilah yang diampu penguasa Sukabumi dalam memerangi bank emok. Terbukti dengan menetapkan program daerah yang juga ribawi sebagai solusi masalah keuangan untuk warganya. 


Kapitalisme selalu memandang materi adalah kunci berjalannya kehidupan, sehingga penjagaan terhadap ketinggian spiritual masyarakat dengan menjadikan kesadaran hubungan manusia dengan Allah Swt. sebagai pengatur interaksi-interaksi insan dalam kehidupannya, termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya harus selalu dalam koridor meraih ridha Allah Swt. dengan mengutamakan halal dan haram adalah perkara yang harus dijauhkan. 


Aqidah sekularisme yang melandasi lahirnya kapitalisme mensyaratkan aturan agama (Allah Swt.) harus dipisahkan dari aturan sosial dan negara. Walhasil, kewajiban penguasa yang sejatinya melindungi warga dari melakukan pelanggaran hukum syara atas aktivitas ribawi tidak akan pernah terwujud. Justru, riba menjadi ruh berjalannya aktivitas ekonomi keseharian warga, hingga saat derita kekurangan harta dialami warga, solusinya adalah berutang dengan rente. 


Interaksi yang dibangun berdasarkan aturan materi inilah yang akhirnya menyebabkab masalah tidak dilihat hingga akarnya, melainkan pragmatisme sekuler menjadi kendali. Ketika Allah Swt. mengharamkan riba, justru penguasa menghalalkannya karena dalih negara diatur bukan dengan sistem Islam, melainkan dengan sistem ekonomi kapitalisme. Meski mereka harus melanggar perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi: 


اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ


“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Wallahu a'lam.


Oleh N. Suci M.H


Posting Komentar

0 Komentar