Kawasan perkebunan singkong di desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah mendadak menjadi buah bibir karena ramai diberitakan. Kawasan ini ditargetkan menjadi kawasan yang akan dikelola untuk program Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Rencananya, kawasan ini akan dijadikan area untuk cadangan logistik strategi nasional melalui program _food estate_. Program ini dicanangkan sejalan dengan amanat Presiden RI untuk pengembangan lumbung pangan nasional.
Luas area lahan singkong yang ditargetkan mencapai 30 ribu hektare ini menjadi tanggung jawab Kemenhan dalam pengelolaannya. Dalam kunjungannya pada Rabu (10/3/2021) ke kawasan lahan singkong tersebut, Menhan, Prabowo Subianto menyatakan bahwa, pertanian adalah masalah kebangsaan, pangan adalah mutlak, karenanya tak ada yang bisa dikerjakan tanpa pangan.
_Food estate_ digadang-gadang merupakan program pengembangan pusat pangan, yang tidak hanya untuk pertanian padi, tetapi juga untuk pangan lainnya, seperti singkong, jagung, dan lain-lain, sesuai kondisi lahan. Presiden RI mencanangkan dalam siaran pers Istana (9/7/2020), bahwa _food estate_ akan dijadikan cadangan logistik untuk mengantisipasi krisis pangan, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian se-dunia (FAO). Krisis pangan tersebut dianggap perlu segera diantisipasi mengingat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, ataupun krisis ekonomi yang sedang melanda dunia saat ini.
Lebih jauh, Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara menhan menjelaskan alasan Kemenhan mengurus lahan singkong adalah karena merupakan bagian dari upaya menjamin cadangan logistik strategis, sebagai salah satu aspek pertahanan negara. Menurutnya, jika terjadi perang, tentara RI dapat menggunakan cadangan logistik singkong ini untuk dikonsumsi. Hal ini karena singkong dianggap bisa menjadi pengganti beras sebagai bahan makanan pokok.
Terkait bahan makanan pokok pengganti beras, marilah kita kilas balik pada program yang pernah diunggulkan di Depok, yaitu One Day No Rice (ODNR), di masa Nur Mahmudi Ismail menjabat sebagai Wali Kota Depok. Program yang dihentikan berlakunya pada 23 Februari 2016 ini dinilai tidak efektif ketika diberlakukan. Bahkan para ASN Pemkot Depok memberikan tepuk tangan meriah sesaat setelah diumumkannya penghapusan program ODNR ini. Hal ini wajar, karena program ini ternyata sangat menyulitkan bagi ASN yang nota bene bagian rakyat Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi setiap hari.
Ketika setiap hari Selasa tidak boleh makan nasi, maka para ASN merasa kesulitan dalam hal mengisi perut. Makanan berbahan dasar selain nasi dirasa tidak bisa cukup memenuhi kebutuhan perut mereka. Apalagi, bagi ASN yang diharuskan makan nasi setiap hari, karena menjalani pengobatan penyakitnya, program ini menjadi sangat menyulitkan. Akhirnya, ketika program ODNR yang telah berjalan selama empat tahun itu dihapuskan, hal ini disambut suka cita oleh para ASN dan masyarakat secara umum.
Masyarakat Indonesia sejak dahulu makanan pokoknya adalah nasi. Secara kultural, jenis bahan makanan pokok suatu bangsa tidak dengan mudah diganti dengan jenis yang lain. Walaupun sama-sama berbahan dasar karbohidrat, tetapi nasi tidak serta merta dapat diganti dengan singkong sebagai bahan makanan pokok. Karena itu, jika singkong kemudian ditetapkan sebagai prioritas proyek _food estate_, hal ini menjadi tidak tepat.
Jika makanan pokok negeri ini adalah nasi, maka seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan ketersediaan beras. Jadi lahan pertanian untuk menanam padi seharusnya dikelola dengan maksimal untuk menghasilkan ketersediaan beras yang mencukupi bagi rakyat. Bahan pangan sekunder seperti singkong boleh saja tercukupi ketersediaannya, tetapi tetap tidak bisa disejajarkan dengan beras. Apalagi, jika dicanangkan menjadi pengganti beras.
Kemandirian atau swa sembada beras kiranya harus dijadikan fokus perhatian bagi pemerintah. Ketersediaan beras yang mencukupi bagi rakyat harus dihasilkan oleh para petani negeri sendiri. Hal ini, seiring dengan upaya memperkuat ketahanan pangan negeri ini. Namun anehnya, pemerintah dalam waktu dekat berencana melakukan impor beras sebanyak satu juta ton. Rencana ini telah disampaikan olah Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi. Jadi alih-alih menanam padi sendiri, pemerintah lebih memilih melakukan impor beras.
Rencana impor beras yang disebut-sebut bertujuan untuk menjaga stok beras nasional untuk tahun 2021 ini, menuai kritikan dari banyak pihak. Pasalnya ketersedianan stok beras dari petani Indonesia masih mencukupi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi panen petani Indonesia mengalami kenaikan. Kepala BPS, Suhariyanto menyebutkan, potensi produksi beras untuk periode Januari-April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton. Hal ini setara dengan kenaikan sebesar 3,08 juta ton atau 26,84 persen. Sedangkan potensi luas panen padi pada subround Januari-April 2021 juga mengalami peningkatan sebesar 1,02 juta hektare atau naik 26,53 persen.
Rencana pemerintah untuk mengimpor beras mau tidak mau bertentangan dengan semangat kemandirian pangan, dan peningkatan kesejahteraan petani, seperti yang diutarakan Suwandi, Direktur Jenderal Tanaman Pangan. Demikian pula dengan program korporasi petani, perluasan areal tanaman baru, dan _food estate_, menjadi mandul ketika dilibas oleh impor beras.
Kalangan yang lebih merasakan sakit tentu petani lokal, karena di tengah masa panen beras di bulan Maret-April 2021 ini, pemerintah malah menggulirkan wacana impor beras. Jadi, saat presiden membanggakan peningkatan pertanian beras, rakyat justru ‘hilang harapan’. Belum lagi ancaman resesi ekonomi yang selalu mengintai. Ketika beras diimpor, petani adalah pihak yang pasti paling terdampak resesi, karena anjloknya harga beras lokal. Bahkan, menurut para petani di Subang, Kulonprogo, dan Klaten, ketika saat ini impor beras masih tahap wacana saja, sudah langsung berdampak pada harga gabah kering petani. Kesempatan inipun segera dapat dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk memainkan harga, sehingga belum apa-apa, petani sudah rugi.
Program _food estate_ dan impor beras sejatinya bukan menguatkan ketahanan pangan nasional, tetapi justru melemahkannya. Program _food estate_ dengan meningkatkan pertanian singkong, secara tidak langsung akan menguras perhatian pemerintah yang seharusnya lebih fokus pada pertanian beras. Padahal sudah diketahui bersama bahwa, petani selama ini masih banyak yang terkendala tingginya harga bibit padi dan pupuk. Kemudian hasil panen yang menjadi sasaran empuk para tengkulak, juga perlu ditangani dengan serius. Hal ini jika ditambah dengan impor beras, maka sempurnalah derita petani.
Hendaklah kita bercermin pada kebijakan Rasulullah SAW ketika mengatur pertanian di Daulah Islam Madinah. Rasulullah sebagai kepala negara secara langsung mengurus pertanian dengan menerapkan aturan berbagai transaksi. Rasulullah juga terjun langsung memecahkan berbagai problem yang muncul dari interaksi seputar pertanian, seperti antara pemilik tanah dengan pemilik tanah yang lain, atau antara pemilik tanah dengan petani yang mengolah tanahnya.
Bukan hanya di Madinah saja, di luar Madinahpun dijadikan oleh Rasulullah sebagai kantung-kantung pertanian. Wilayah Khaibar, Wadil Qurra, dan Faddak contohnya, wilayah-wilayah ini dijadikan sebagai basis pertanian dan perkebunan bagi negara. Rasulullah menyerahkan penggarapan pertanian di wilayah-wilayah ini kepada penduduk Yahudi yang ahli dalam bertani, dengan imbalan separuh hasilnya untuk para petani yang mengelola, dan separuhnya lagi diserahkan kepada negara. Hal ini karena, lahan-lahan pertanian tersebut dimiliki oleh negara, dan hasil pertaniannya diperuntukkan untuk seluruh rakyat lewat mekanisme Baitul Mal.
Sementara lahan pertanian milik individu tetap akan dimilikinya dan dinikmati hasil pertaniannya oleh pemiliknya. Ditambah lagi, negara membuka kesempatan bagi tiap individu untuk bisa memiliki lahan ketika ia mau mengelola lahan tersebut sehingga menghasilkan. Inilah pengelolaan tanah mati yang sangat menguntungkan rakyat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (terlantar), maka tanah itu menjadi miliknya.”
Alhasil, siapa saja warga negara yang tidak punya tanah, asalkan ia mau mengelola tanah-tanah ‘menganggur’, maka negara membolehkannya memiliki tanah tersebut. Jadi tak akan ada rakyat yang kelaparan, jika ia mau bekerja. Sementara di sisi lain, pertanian dan perkebunan jadi berkembang pesat untuk kesejahteraan rakyat. Inilah sekilas potret pengelolaan ketahanan pangan yang benar. Efektif, efisien, simpel, namun menghasilkan kebaikan luar biasa bagi rakyat dalam negara, dan ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah 1400 tahun yang silam. []
Oleh: Dewi Purnasari,
Aktivis dakwah politik.
0 Komentar