Hukum Mana yang Lebih Baik dari Hukum Allah?

 


Menghebohkan sekaligus mengherankan, 6 laskar FPI tewas di tragedi KM 50 tol jakarta-cikampek ditetapkan menjadi tersangka pada 4 maret 2021, bukan hanya mengherankan bahkan berita ini menuai banyak cercaan dan nyinyiran dari masyarakatnya, pasalnya, siapa pula yg hendak menjadikan kain kafan sebagai tersangka dalam sebuah kasus yang bahkan kasus tersebut justru mengakibatkan hilangnya keenam nyawa yang di tetap kan sebagai tersangka, maka tentunya kita dapat menangkap bahwa ada hal yang mengganjal dalam pernyataan hukum di negeri ini. 

Dalam Konferensi pers yang ditayangkan di YouTube sekretariat presiden pada tanggal 9 maret 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menjelaskan tentang ditetapkannya enam orang anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat sebagai tersangka penyerangan terhadap anggota Polri. Ia berusaha merasionalkan pernyataan hukum yang dianggap bertentangan dengan normatif, pasalnya polri menemukan adanya senjata berupa proyektil, hingga nomor telepon pihak yang memberi komando pada laskar FPI untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut membenarkan akan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laskar FPI hingga akhirnya tewas sehingga mereka dapat dinyatakan sebagai tersangka penyerangan terhadap polri. 

"Oleh karena sekarang enam orang terbunuh ini yang kemudian menjadi tersangka dicari pembunuhnya, maka dikonstruksi dulu dia tersangka karena dia memancing aparat untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa senjata," ujar Mahfud. 

Menurutnya, ini hanyalah konstruksi hukum, seharusnya masyarakat tidaklah heran dan menertawakan sebab mau bagaimana pun laskar FPI terbukti membawa senjata yang kemudian memancing aparat untuk melakukan kekerasan dalam rangka menjaga keamanan. 

Namun bukankah pernyataan ini justru sebagai kerusakan logika hukum yang terjadi dalam lembaga penegakkan hukum di tanah air?

Bagaimana mungkin, aparat dibenarkan membunuh 6 orang dengan dalih karena mereka membawa senjata dan memancing melakukan kekerasan. Bukankah ada prosedur aparat dalam penangkapan tersangka kasus kekerasan, tidak langsung menembak mati melainkan terlebih dahulu melakukan penembakan peringatan. 

Seolah pembunuhan menjadi halal hanya karena mereka adalah laskar FPI yang membawa senjata, seharusnya polisi justru yang dinilai zalim dan melakukan tindakan pelanggaran HAM, bukan sebaliknya. Namun saat ini kita menyaksikan adanya paradoks hukum yang menggelikan dan memprihatinkan. 

Kemudian setelah pernyataan yang melazimkan pernyataan hukum yang rusak, datang lagi pertanyaan demi pernyataan terkait bagaimana peradilan berlangsung. Sebab tidak mungkin kain kafan duduk dalam sidang peradilan. Hal ini pun menjadi guyonan riuh dalam sosial media, masyarakat berlomba mengomentari dari para tokoh seperti ahli hukum Haris azhar, hingga para komentator media dan masyarakat umum. 

Di samping itu, banyak hal yang seharusnya mematahkan pernyataan hukum 6 tersangka tersebut, pasalnya penetapan tersangka setelah gugurnya nyawa tersangka dinilai bertentangan dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 

Hal ini pun di komentari oleh ahli hukum sekaligus tim kuasa hukum FPI, Aziz Yanuar. "Sewenang-wenang, sebab Pasal 77 KUHP menyatakan kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia," kata Aziz. Ia menilai bahwa polri terindikasi bertindak dzalim, adanya logika hukum yang terbalik, sebab seharusnya kematian 6 laskar FPI yang di usut bukan justru dicari kesalahan mereka, namun sebaliknya justru mirisnya aparat yang seharusnya bertanggungjawab atas kematian 6 laskar FPI yang dapat dikatakan korban kekerasan aparat, justru dijadikan sebagai tersangka dalam kasus yang merenggut nyawanya, maka tentu menurut Aziz, tak lain ini sebuah kedzaliman yang nyata. 

Belum rampung terkait penyataan penetapan tersangka 6 laskar FPI, kembali menghebohkan tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) menyatakan memiliki bukti setebal dua jilid buku bahwa kematian para pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) itu adalah tindakan pelanggaran HAM berat.

Demikian diungkapkan Ketua TP3 Abdullah Hehamahua dalam diskusi bertajuk 'Terungkap! Maksud Amien Rais Temui Jokowi Soal FPI!', pada Minggu, 14 Maret 2021.

Ketua TP3, abdullah mengungkap bahwa kasus ini merupakan rencana terstruktur, masif dan sistematis dari para aparat dan penegak hukum negeri, sebab adanya logika hukum terbalik yang baru ini tersiar di tanah air yakni terkait penetapan tersangka 6 laskar FPI, belum lagi perihal ketegangan antara FPI dan istana diduga menuai konflik terencana. 

Bahkan, Abdullah bersikukuh akan membawa bukti setebal dua jilid itu di depan presiden, "Itu nanti akan kita sampaikan kepada presiden, kepada Kapolri, Jaksa Agung, Komnas HAM, dan instansi terkait baik dalam negeri dan luar negeri," katanya.

Namun di samping itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik meragukan akan adanya keadilan dalam peradilan kasus ini, sebab ia menilai kasus kematian enam laskar FPI akan sulit dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. Terlebih, hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan kasus tersebut bukan kategori pelanggaran HAM berat. Dan ia pun menambahkan, bahwa upaya Komnas HAM untuk membawa 12 kasus tersebut ke ICC terkendala status Indonesia yang bukan merupakan negara anggota Statuta Roma. 

Maka hal tersebut membuktikan bahwa adanya sistem hukum yang terkesan subjeknya dan tidak memperhatikan aspek normatif. 

Prihatin menyaksikan fakta keadilan penegakkan hukum yang terjadi di tanah air, bahkan lembaga hukum internasional pun tak dapat membantunya menyelesaikan keruwetan permasalahan hukum yang terjadi, tarik ulur kasus pembunuhan ini membuat mata kita semakin buram menilai mana yang hak dan mana yang batil. 

Berbeda dengan hukum Islam yang menjaga jiwa dengan hukum qisas yang berlaku, aparat tak mungkin dengan mudah menarik pelatuk hanya karena bersitegang antara kedua belah pihak, sebab pembunuhan dalam Islam pun dibagi menjadi tiga yakni pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan tidak sengaja, dan masing-masing mendapatkan hukuman, tidak ada satupun tindakan pembunuhan yang dibenarkan atas alasan apapun, sebab dalam agama Islam tegas melindungi nyawa/jiwa umatnya. 

Islam pun pasti dengan tegas melampirkan bukti dalam sebuah kasus pidana, tidak mungkin terjadi saling klaim antara kedua belah pihak terkait siapa yang benar siapa yang salah, dalam Islam, seluruh persaksian dan pembuktian diatur dengan tegas, bahkan dalam kasus perzinaan, saksi diwajibkan 4 orang. 

Jika kemudian kita merasakan adanya paradoks hukum, saling tabrak norma dan HAM, saling mengaku paling di dzalimi dan tarik ulur kasus pidana, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa ini adalah dampak dari terabaikan nya hukum Allah Swt, seadil-adilnya hakim, Sebaik-baik nya pencipta hukum bagi seluruh alam. 

Allahlah yang paling tahu bagaimana keadaan hambanya, pencipta alam semestalah yang pantas menjadi hukum, manusia tidaklah pantas mengatur dirinya sendiri apalagi mengatur kehidupan seluruh manusia dengan sistem hukum yang diangkat oleh sebagian manusia yang memiliki kepentingan. 

Allah berfirman dalam surah At-tin : 8

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

"Bukankah Allah hakim yang paling adil?"

Maka tentulah Allah Swt adalah hakim yang paling adil, maka tidak ada hukum yang pantas mengatur alam semesta kecuali hukum Allah Swt. 

Allah berfirman dalam surah lain, yakni surah Al-Mā'idah : 50

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"

Ayat tersebut menjelaskan apabila hukum Allah yang diterapkan, maka tentunya Islam dapat mewujudkan fungsi sebenarnya yakni sebagai agama rahmatan lil'alamin, sebab terbukti hanyalah hukum Allah yang terbaik, bukan lah hukum jahiliyah yang kini telah meradang seluruh dunia. Marilah kita bersama-sama menerapkan hukum Allah secara keseluruhan, agar terwujudnya agama Islam rahmatan lil'alamin. 

Dan semoga kita termasuk orang-orang yang meyakini agama dan hukum Allah adalah yang terbaik dan pantas mengatur alam semesta. Amin.

Wallahu a'lam bisawab.


Oleh Dian Fitriani 


Posting Komentar

0 Komentar