Perumahan layak huni adalah Pekerjaan Rumah (PR) yang tak kunjung usai diselesaikan Pemprov Jakarta. Kampung deret memberi angin segar pada warga yang masih digantung janji. Anies menyatakan, program rumah deret sifatnya sangat grass root, harus dikerjakan oleh grass root (warga) sendiri supaya rasa kepemilikannya tinggi. (Tirto.id, 21/05/2019)
Sapto Nugroho, dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta menyatakan pemukiman kumuh ada justru karena kebiasaan warga itu sendiri. Itulah, mengapa kesulitan menyelesaikan kampung kumuh terkendala pada pemahaman dan partisipasi masyarakat. Padahal, kendala pembiayaan kampung deret DKI Jakarta adalah masalahnya. (Perkim.id, 22/06/2020)
Kebutuhan bantuan dana sosial dan terpenuhinya hunian yang layak bahkan memadai untuk sebagian masyarakat Jakarta yang belum direlokasi adalah kebutuhan pokok. Sejatinya, Pemprov harus memberikan keduanya, tanpa pilihan.
Namun, adanya proyek pembanguan Jakarta International Stadium (JIS) memperlihatkan kepentingan warga makin tidak terakomodasi. Resettlement Action Plan (RAP) oleh PT Jakarta Propertindo untuk 20% warga Kampung Bayam, Jakarta Utara, yang bertahan tinggal di lingkungan pembangunan tak disambut warga dengan kesepakatan. (Tempo.co, 24/02/2021)
Ketidakserasian janji dan bukti aksi Pemprov DKI Jakarta pada warga Kampung Bayam inilah yang membuat kisruh penuntasan RAP berlarut-larut. Kontaproduktif kegiatan antara merelokasi pribumi Kelurahan Papanggo dan mengebut pembangunan JIS memunculkan kenyataan betapa kebutuhan publik tak lebih krusial dari citra sebuah bangunan bertaraf internasional itu.
Tagih Janji kampung deret dari Anis oleh sipil menjadi solusi ambyar, seolah mustahil terwujud. Menurut Furqon, salah satu warga Kampung Bayam menyatakan kompensasi ganti untung seharusnya bukan sekedar dana, tapi juga tempat tinggal baru serta menyiapkan kegiatan ekonomi masyarakat. (Rm.id, 01/03/2021)
Sungguh nyata, pengabaian hak rakyat mendapatkan perumahan yang layak dalam sistem kapitalisme begitu mengentara. Penguasa lebih berat hati mewujudkan gedung-gedung tinggi menjulang para kapitalis untuk kesenangan semata. Tempat teduh keluarga bagi khalayak yang tak lebih besar dari area parkir JIS, mangkrak dari penyediaannya.
Pelayanan kepada penduduk Kecamatan Tanjung Priok teralihkan pada pengabdian untuk mancanegara. Benarlah ungkapan Fernand Braudel yang menyatakan bahwa kaum kapitalis merupakan spekulator dan pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan besar tanpa menanggung banyak risiko. (Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 3)
Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk menciptakan keselarasan antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adalah suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ia benar-benar menjadi hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan (Huda, Choiru, Ekonomi Islam dan Kapitalisme, 2016, hal. 9).
Alhasil, kebebasan kapital membuahkan ketimpangan komunitas yang kian lebar wajar dibiarkan menguar. Target kampung deret mengurangi kesenjangan sosial yang berlangsung di ibu kota, makin tidak jelas. Melesat untuk kapitalisasi infrastruktur, namun minus untuk sarana kebutuhan rakyat.
Berkaca pada Islam yang paripurna menutup pintu perbedaan kelompok dan optimal memenuhi hajat primer rumah bagi rakyat, sangat direkomendasikan. Islam dengan penduduk yang heterogen secara etnik dan kebiasaan hidup, sangat cakap mengharmonisasi perbedaan.
Islam memperkuat persamaan dalam fasilitas pokok seperti pangan, sandang, dan papan yang menjadi tanggungan negara. Penunjang fisik yang diadakan tidak pernah dikhususkan untuk segmen tertentu. Kelengkapan dan pemeliharaannya pun dibebankan pada negara, bukan kepada golongan terpilih yang akhirnya membatasi akses umum.
Sesungguhnya rumah, jalan, dan kota merupakan sesuatu yang melingkupi manusia saat ini adalah bagian dari tujuan wujud kehidupan insan dalam Islam. Allah Swt. berfirman, Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. (T.Q.S. Hud: 61). Zaid bin Aslam (Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, karya Abu Hayan Al-Andalusi, 5/236)
Artinya, Allah memerintahkan kalian untuk memakmurkan apa yang kalian butuhkan berupa membangun rumah dan menanam tanaman. Dikatakan bahwa Allah mengilhamkan kalian untuk memakmurkannya dengan menanam tanaman, menggali sumur dan lain sebagainya. Perintah wahyu inilah, yang mendorong Penguasa Islam selalu memperhatikan semua kebutuhan pokok rakyat seperti tempat tinggal. Dalam pelaksanaannya, Allah Swt. mewajibkan negara mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia.
Islam memerintahkan kebersihan, melarang bentuk-bentuk kotoran dan mendorong untuk menanam tanaman. Karena itulah, tata kota Islam tampak indah dan penuh pesona. Tak ada rumah-rumah yang terlihat gelap apalagi kumuh. Dengan dorongan keimanan mengikuti sunnah Rasulullah saw, Khalifah dan rakyat mengamalkan sabda beliau, Bersihkanlah halaman-halaman kalian, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak membersihkan halaman-halaman mereka. (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mujam Al-Wasith, 4/231).
Islam juga menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan shalat sunah di rumah. Jabir ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, Jika salah seorang di antara kalian menyelesaikan shalatnya di masjid, hendaklah ia melaksanakan shalat sunnah di rumahnya, karena sesungguhnya Allah swt. menjadikan kebaikan untuk rumahnya karena shalatnya itu. (HR. Muslim, Kitab: Al-Hajj, Bab: Istihbab Ramy Jamrah Al-Aqabah Yaum An-Nahr Rakiban, hadits no. 1298)
Dengan panduan Islam paripurna inilah, umat Muslim harus memiliki hunian yang bersih dan sehat, hingga dapat melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. dengan sempurna. Kepemilikan rumah bagi warga negara Islam, tidak dibebankan pada individu masyarakat, meski negara tidak melarang tiap kepala keluarga mengupayakannnya sendiri. Akan tetapi, beban memberikan tempat tinggal yang layak bagi penduduk ada pada Penguasa (Khalifah) sesuai standar syara.
Walhasil, proyek JIS yang menampilkan wajah metropolitan Jakarta sedikit berbeda, tapi abai menjaga alam bahkan sampai tidak mengindahkan perumahan layak bagi warga sekitarnya adalah bentuk lepas tangannya Pemprov dalam pembangunan pemukiman yang pantas bagi masyarakat.
Selama asas kapitalisme yang digunakan sebagai standar kepentingan, keperluan mendasar warga Jakarta akan sulit didapatkan. Sejatinya, mengambil Islam sebagai aturan mengurusi rakyat dengan pengurusan yang totalitas adalah harga yang sepadan agar masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya di Jakarta teratasi dengan komprehensif, termasuk didalamnya rezim berkewajiban menyediakan tempat tinggal yang layak bukan hanya menyediakan kemudahan akses pembangunan untuk kelompok kapitalis dengan mengorbankan hunian warga sekitar. Wallahu alam bishshawab.
Oleh N. Suci M.H
0 Komentar