Islam Mengajarkan Kerukunan Beragama? Yes! Pluralisme? No! Simak Perbedaannya



Merupakan suatu hal yang tak dapat ditolak. Adanya keberagaman ras, suku bangsa, bahasa dan agama di tengah-tengah masyarakat. Pluralitas atau keberagaman ini adalah sunatullah. Karena itu, tentu dibutuhkan adanya tatanan sosial yang mengatur agar kerukunan hidup dalam keberagaman ini dapat terwujud.

Santer kita mendengar bahwa pluralisme yang selalu diimbau agar diemban oleh masyarakat dalam mewujudkan kerukunan antar keberagaman tersebut. Khususnya dalam keberagaman agama, apabila paham ini diaplikasikan dalam kehidupan sosial.

Namun, perlu kita telaah bahwa pluralitas jelas berbeda dengan pluralisme. Apa perbedaannya? Lalu benarkah pluralisme yang akan mewujudkan tujuan kerukunan beragama tersebut?

Pluralisme adalah sebuah pemikiran yang lahir dari filsafat perenialisme yaitu sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius (wikipedia.org).

Pluralisme menganggap semua agama adalah sama, yakni menyembah Tuhan yang sama hanya caranya yang berbeda. Dengan kata lain, perbedaan ini hanya tampak di kulit luarnya saja. Sedangkan isinya sama yaitu pengakuan terhadap Tuhan.

Paham ini sangat tidak sesuai dengan realitas. Allah yang disembah oleh umat Islam tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Berbeda dengan keyakinan Nasrani maupun Yahudi yang menganggap Tuhan memiliki anak.

Allah juga tidak pernah menitis sebagai manusia sebagaimana Tuhan menurut kepercayaan agama Buddha. Allah juga tidak sama dengan Sang Hyang Widi, Tuhan yang disembah pemeluk agama Hindu yang digambarkan dalam wujud manusia dengan bentuk yang berbeda. Allah Swt tak bisa digambarkan sebagai wujud makhluk karena Allah gaib, dan berbeda dari makhluknya.

Pluralisme dikembangkan dengan tujuan untuk menciptakan kohesi sosial atau keeratan sosial. Friksi atau perpecahan sosial muncul dengan anggapan akibat adanya klaim kebenaran. Sehingga klaim kebenaran ini harus dihapus, caranya melalui teologi pluralisme agama.

Menurut penganut pluralisme, tidak boleh ada klaim kebenaran di dalam agama. Mengatakan hanya agama dia yang benar, yang lain salah. Lalu dengan pandangan tidak bolehnya ada klaim kebenaran ini, maka tidak boleh juga ada klaim keselamatan.

Pluralisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karenanya, kebenaran setiap agama adalah relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Semua pemeluk agama tersebut akan masuk surga dan hidup berdampingan di sana.

Paham ini jelas bertentangan dengan Islam yang mengakui Islam tidak sama dengan semua agama lainnya. Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Sebagaimana firman Allah Swt,

 إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ  

”Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” QS Ali Imran ayat 19.

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, ayat ini adalah berita dari Allah Swt yang menyatakan tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para Rasul yang diutus Allah Swt di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad saw yang membawa agama penutup.

Karena itu, barang siapa yang menghadap kepada Allah sesudah Nabi Muhammad saw diutus dengan membawa agama yang bukan syariat-Nya, hal itu tidak diterima Allah.

Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

Terkait pernyataan tidak boleh ada klaim kebenaran, nyatanya pandangan ini hanya diikuti secara minor. Di agama Nasrani sekalipun, dalam Dekrit Vatican 2001 menolak adanya pluralisme agama. Secara mayoritas bahkan di semua agama tetaplah mengandung ajaran klaim kebenaran dan keselamatan. Sehingga anggapan tidak boleh ada klaim kebenaran dan keselamatan ini tidak sesuai dengan realitas dari setiap agama.

Sedangkan untuk mewujudkan kerukunan beragama, ini adalah topik lain yang tidak linier dengan faktor adanya klaim kebenaran dan keselamatan yang dimiliki oleh setiap agama tersebut. Hubungan antaragama yang akan menciptakan kerukunan ini sejatinya sangat ditentukan oleh faktor tatanan sosial yang menaungi masyarakat.

Maka di sini kita bicara terkait aturan yang seperti apa dalam mewujudkan hal tersebut. Kalau aturannya baik, maka kerukunan beragama akan terwujud. Namun jika tidak, maka akan terjadi friksi sosial.

Sepanjang fakta sejarah, aturan dalam Islamlah yang terbukti bisa menata sunatullahnya kehidupan majemuk di muka bumi ini. Salah satu contoh saat Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel. Pengikut Kristen Ortodoks yang bersembunyi di Gereja Hagia Sophia sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Tapi yang dijumpai sangat mengejutkan, tidak ada kecemasan. Mereka dilindungi keselamatannya, jiwanya, dan tetap boleh memeluk agamanya.

Contoh lain lagi saat Spanyol dalam naungan Islam selama 700 tahun, didapati beragam kaum yang ada di sana hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Tetapi ketika pergantian kekuasaan ke Katolik, justru Islam tersingkir. Terjadilah inkuisisi, saat itu hanya ada dua pilihan, masuk ke agama Katolik atau terusir dari Spanyol. 

Akhirnya, banyak yang keluar dari Spanyol. Tercatat pula 120 ribu orang Yahudi yang berhasil terusir. Lalu, ke mana mereka yang terusir itu pergi? Nyatanya mereka diterima oleh Muhammad Al Fatih dan ditempatkan di Bukit Galata. Ini menunjukkan bukan hanya kerukunan tetapi juga perlindungan yang mereka dapatkan. Orang-orang Yahudi di Bukit Galata itu pun berkembang hingga hari ini.

Dalam negara khilafah, warga negara nonmuslim akan didakwahi agar memahami agama Islam dan syariatnya dengan cara yang baik dan tanpa paksaan. Dengan begitu, warga negara nonmuslim akan melihat cahaya dan kebaikan syariat Islam bagi kehidupan semua umat manusia bahkan semua makhluk di dunia. Sehingga harapannya ialah mereka pun akan masuk Islam dengan sepenuh keyakinan dan kesadaran. Bukan dengan paksaan.

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. (QS. Al-Baqarah Ayat 256).

Karena Negara yang dibangun atas dasar syariat Islam dan menerapkannya secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan ini sangat menghargai pluralitas warga negaranya. Yaitu seluruh golongan nonmuslim, serta apa pun warna kulit, suku, dan ras mereka. Jika ia mau tunduk dengan aturan Islam yang diterapkan negara, hak-haknya akan dilindungi dan kebutuhannya akan diperhatikan negara Islam. 

Inilah pluralitas atau kondisi keberagaman manusia yang diakui oleh Islam. Maka kaum muslimin semestinya menolak adanya penetrasi ide pluralisme ini. Terlebih lagi, realitas terwujudnya kerukunan beragama tersebut nyatanya nihil. Karena atas nama pluralisme, justru Islam selama ini menjadi tertuduh intoleran ketika memegang paham atau keyakinannya. Sejatinya hanya penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegaralah, yang akan mewujudkan cita-cita lahirnya kerukunan beragama. []

Wallahu a'lam biashawab.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar