Kala Infrastruktur Tak Terukur Menihilkan Aspirasi Rakyat yang Jujur


Guru SMPN 1 Cicantayan yang bernama Eko Purtjahjanto tak pernah menyangka postingannya tentang jalan rusak di Desa Cijalingan yang ia unggah di media sosial Facebook membuatnya menjadi sasaran kemarahan perangkat desa setempat. Aksi arogan ini terungkap dari video berdurasi 4 menit 29 detik yang beredar viral di media sosial. Nampak beberapa orang berkemeja putih dan celana hitam sambil duduk dengan nada tinggi mempertanyakan unggahan Eko ihwal jalan rusak mirip sungai yang sudah kering. Video tersebut diambil di salah satu ruangan di SMPN 1 Cicantayan pada Rabu, 10 Maret 2021. 

Rusaknya jalan di Desa Cijalingan tepatnya jalan penghubung antara Kampung Cisande dengan Kampung Cijalingan menjadi ironi di tengah gencarnya pemerintah membangun infrastruktur jalan tol. 

Dilansir dari Mahkamahnews.org (20/7/2020) Budi Hermawan dari LBH Yogyakarta dalam sebuah Diskusi Online Kotagede dengan tajuk “Kepentingan Ekonomi Politik di Balik Pembangunan Jalan Tol Indonesia” pada Rabu (15/07) menyatakan bahwa proyek pembangunan jalan tol termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional. Jalan tol menjadi salah satu fokus utama dalam pembangunan infrastruktur yang direncanakan pemerintah di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama periode pertama Jokowi bersama Jusuf Kalla, sepanjang 980 km ruas jalan tol telah berhasil dibangun. Pun juga pada jalan nasional sepanjang 3.793 km dan jalan perbatasan sepanjang 2.778 km. 

Tahun ini ada tambahan sembilan ruas dari Waskita Karya yakni ruas Medan – Kualanamu, Tebing Tinggi, Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat, Cibitung – Cilincing, Cinere – Serpong, Bogor – Ciawi – Sukabumi, Depok – Antasari, Pemalang – Batang, Batang – Semarang dan Krian – Legundi – Bunder Manyar. Kesembilan tol ini memiliki nilai investasi sebesar Rp 11 triliun (radarsukabumi.com, 17/2/2021).

Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta menjelaskan tentang pembangunan infrastruktur pasca reformasi yang tidak terlepas dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang diinisiasi di era SBY. MP3EI dijalankan dengan koridor-koridor ekonominya di sektor perkebunan, pertambangan, pariwisata, kelautan, dan sebagainya. Tentunya semua itu digunakan untuk jalur gerak logistik yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hadirnya jalan tol ditujukan untuk memproduksi kepentingan kapitalis dan keuntungannya hanya dinikmati oleh mereka yang berkepentingan dalam penyaluran logistik (material mentah menjadi suatu produk industri). 

Ia menuturkan bahwa jalan tol juga lebih banyak digunakan masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Kalau memang jalan tol merupakan infrastruktur publik, seharusnya lebih disediakan fasilitas berupa mobilitas yang lebih masif dan bukan individual. Pembangunan jalan tol dilakukan dengan pendekatan-pendekatan sosial yang kurang mementingkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan jalan tol perlu ditinjau ulang kedepannya karena jalan tol cenderung merupakan fasilitas kaum oligarki dan globalis. Sedangkan kaum petani akan semakin kecil dalam mendapatkan sumber daya pertanian produktif yang menjadi penghidupannya.

Apalagi kini setelah ada LPI (SWF-INA), dimana LPI berperan sebagai investor yang akan mengambil alih proyek investasi yang telah beroperasi seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan yang saat ini dimiliki oleh BUMN. Bentuk kerja sama yang diharapkan LPI adalah dalam bentuk pelepasan saham jalan tol yang saat ini dimiliki oleh anak usaha Waskita yaitu Waskita Toll Road. Setelah sebelumnya pemerintah mengumumkan akan melelang proyek pengerjaan tol Bocimi (bogor-Ciawi-Sukabumi) dan delapan tol lainnya ke Swasta. Kini muncul wacana, bahwa pengerjaan tol tersebut akan dibiayai oleh Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia atau Indonesia Investment Authority (INA) (radarsukabumi.com, 17/2/2021).

Saat ini, Waskita mempunyai kepemilikan pada 17 ruas di Pulau Jawa dan Sumatera dimana 12 telah beroperasi, baik secara penuh maupun parsial (msn.com, 8/3/2021). Sejak akhir tahun lalu, Taufik katakan, manajemen Waskita telah melakukan diskusi intensif secara informal dengan tim dari INA. Padahal cukup jelas bahwa lembaga SWF-INA yang membuka ruang selebar-lebarnya untuk masuknya investasi asing itu sangat berbahaya. Ini hanya jalan baru untuk semakin memperkuat cengkeraman asing di negeri ini. Mereka adalah para Kapitalis yang haus dengan kekayaan negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas muslim.

Pembangunan infrastruktur dalam suatu negara adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Masalahnya, insfrastruktur seperti apa dan dari mana sumber dana pembangunan proyek infrastruktur ini berasal? 

Dalam sistem ekonomi dan politik Islam, pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggungjawab negara, bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain. Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan (lihat proyek jalan tol yang senantiasa berbayar) atau arena untuk kepentingan politik semata seperti proyek kereta cepat.

Pembangunan infrastruktur dalam sistem khilafah telah terbukti berjalan dengan baik. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Sementara Paris baru dua ratus tahun kemudian (tahun 1185) berhasil meniru Cordoba.

Masa emas kekhilafahan mengembangkan teknologi kapal laut, mulai dari tipe perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang.  Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya sesuai teknologinya saat itu, selain kaum muslimin memuliakan jenis kuda dan unta yang kuat menempuh perjalanan.  Bahkan untuk transportasi udara pun ilmuwan muslim sudah memikirkan.  Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying."

Yang menarik, bahkan hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”. Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Dan pada tahun 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. 

Persoalan dana pembangunan proyek infrastruktur termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi tidaklah akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan oleh suatu negara adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus ngutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini yang berujung dan bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menangguk keuntungan dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan  kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak. 

Dengan demikian jelaslah hanya Sistem Ekonomi dan Politik Islam-lah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para khulafaur rasyidin hingga khilafah utsmaniyyah. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.

Praktisi Pendidikan

Posting Komentar

0 Komentar