Katastrofa Kapitalisme Minol, Solusinya Islam Kafah yang Jempol



Peraturan terkait Minol kini terus mengemuka seiring dengan derasnya investasi asing di Indonesia. Minol yang bukan rahasia umum lagi sebagai biang kejahatan dan kerusakan generasi ini semakin masif menyasar tak melihat umur serta jenis kelamin. 

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada 2007 jumlah remaja pengonsumsi minuman beralkohol masih di angka 4,9 persen. Tapi pada 2014, berdasarkan hasil riset yang dilakukan GeNAM jumlahnya melonjak hingga angka 23 persen dari total jumlah remaja saat ini sekitar 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang.

Data survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2017 menunjukkan bahwa peminum alkohol yang terdiri dari 70 persen pria dan 58 persen wanita adalah remaja usia 15-19 tahun.

Data ini disampaikan Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K) dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Pada usia 20-24, 18 persen pria dan 8 persen wanita telah menjadi peminum alkohol. Padahal, masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Jika para remaja mengonsumsi alkohol, maka dampak negatif yang bisa timbul adalah perubahan intelektual, emosi labil, dan perilaku menyimpang.

“61,7 persen penduduk dunia berusia lebih dari 15 pernah minum alkohol dalam satu tahun terakhir dan 16 persennya adalah peminum berat menurut WHO 2014.

Sedangkan, menurut Kementerian Kesehatan RI (2007), di Indonesia ada 8,8 persen pria dan 0,7 persen wanita yang minum alkohol. Peminum alkohol pada usia 15 sampai 24 tahun sebanyak 5,5 persen.

( Health-Liputan6.com10/3/2021) 

Bahkan di daerah seperti Bali, Sulawesi Utara, NTT dan Papua yang masih melegalkan miras dengan alasan kearifan lokal justru menimbulkan efek negatif yang luar biasa salah satunya yaitu meningkatkannya kekerasan pada perempuan. 

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA), Papua memiliki jumlah kasus KDRT yang tinggi. Salah satunya disumbang oleh konsumsi minuman keras.

Kemudian, Riset Kesehatan Dasar pada 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi alkohol Papua sebesar 9,9 poin per bulan, lebih tinggi dari tingkat nasional yaitu 5,4 poin per bulan. Sementara itu indeks pembangunan gender di Papua pada 2019 berada di level 80.05. (m.merdeka.Com 1/3/2021) 

Jika kita telisik peredaran minol sebenarnya lagu lama yang sering digaungkan oleh para kapitalis. Terlebih Indonesia yang terus merangkul investor asing dan aseng. Keberadaan investos ading menjadi sebuah peluang agar pelarangan miras /minol ini segera dicabut. Tujuannya sudah pasti materi yang didatangkan. 

Peredaran miras atau minol ini tentu bukan hanya sekadar investasi semata tetapi punya tujuan terselubung yaitu menghancurkan generasi. Hal yang wajar jika kemudian minol ini pun ikut dikonsumsi oleh para remaja perempuan yang kian menjamur. Jika dilarang saja sudah sedemikian rupa kerusakan yang ditimbulkan apalagi saat perpres no 10 tahun 2021 ini melenggang di lapangan. Hal ini tentu akan semakin  nampak kerusakan yang ditimbulkan sedangkan para investor asing dan para kapitalis semakin diuntungkan. 

Minuman beralkohol saat ini mungkin masih dijual secara ketat namun tak menutup kemungkinan nanti akan mudah didapatkan. Layaknya jualan "kacang goreng" akan nebeng di warung-warung nakal. Hal ini karena longgarnya aturan serta keuntungan yang didapat, terutama di daerah wisata yang identik dengan bertemunya para wisatawan asing yang terbiasa mengonsumsi minol. 

Investor Asing Minol Menyasar Perempuan 

Tak ada belas kasihan bagi kapitalisme untuk menghantam semua korban tak terkecuali perempuan. Minol yang merupakan induk kejahatan dan biang kerusakan akan terus dicekoki kepada perempuan. Sekalipun dampak negatif terkait minol ini sudah diketahui banyak orang, tetapi nyatanya angka pengonsumsi minol ini di kalangan perempuan semakin meningkat. Hal ini seiring masifnya paham gender, liberalisme yang kian menohok telah mampu merobohkan rasa malu pada diri kaum perempuan itu sendiri. Perempuan yang identik dengan tingginya rasa malu, adat kesopanan saat ini justru semakin luntur. Menegak miras  sudah menjadi trend hingga tak disadari efek negatif dari segi kesehatan terus menghantui terutama di kalangan remaja putri. Ironis bukan. Seharusnya para perempuan lebih bisa menahan untuk tidak meminum minuman keras tetapi justru kian hari kian meningkat. 

Betapa sulitnya memberantas kejahatan yang diakibatkan oleh miras, karena saat ini penguasa tak lagi memikirkan halal-haram. Fokus dalam kebijakannya berorientasi  materi serta masuknya investasi untuk menambah pendapatan negara. 

Laksana buah simalakama di satu sisi banyak yang ingin segera memberantas kejahatan tetapi di sisi lain justru rezim membiarkan bahkan tunduk terhadap para kapitalis untuk melegalkan minol. Inilah bukti kongkret sistem kapitalisme yang tidak pernah memberikan rasa adil, aman hingga ketaatan secara kafah bagi umat di negeri ini. 

Pandangan Islam

Islam adalah agama yang bukan hanya mengatur masalah ibadah saja tetapi mengatur masalah yang lainnya. Kesempurnaan Islam bisa kita lihat dari berbagai bukti kongkret saat khilafah tegak. Berkenan tentang miras telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya. Di dalam surat Al Maidah 90-91 . Rasulullah saw mendefinisikan bahwa setiap yang memabukkan makan sedikitnya pun haram. Khamer juga disebut induk segala kebejatan. Bahkan Rasulullah melaknat khamer baik peminumnya, penuangnya, pembelinya, penjualnya, pembuatannya, pemesannya, pematok harganya. Semua ini menjadi bukti bahwa keharaman khamer bersifat qath'i, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama. 

Untuk itu khilafah sebagai sebuah negara memiliki peran penting menjaga rakyatnya dari perkara yang diharamkan dan membawa kerusakan. Salah satunya memberi sanksi keras kepada peminum khamr. Di dalam kitab Audhahul at-Tafsir karya al-Khathib bahwa Nabi pernah memerintahkan untuk peminum khamr dipukul dengan sandal. Sementara di masa Umar bin Khattab berkuasa mereka peminum khamr diberikan sanksi 80 cambukan. Hal ini ini agar ada efek jera bagi si pelaku. Jika tidak ada sanksi keras maka kemaksiatan akan merajalela seperti saat sekarang. 

Selain itu juga negara bukan hanya memberi sanksi tegas terhadap peminum khamr, negara akan menyetop atau menghentikan pabrik atau pun peredaran miras melalui berbagai jalur baik di pelabuhan, bandar udara yang dimungkinkan ada penyelundupan barang haram tersebut. 

Oleh karenanya, di dalam sistem khilafah bukan hanya pembinaan akidah secara individu agar terhindar dari miras, tetapi peran negara memiliki peran penting dalam penjagaan umat dari biang kejahatan tersebut. 

Sungguh permasalahan minol akan sulit terselesaikan jika hanya berharap pada sistem kapitalisme. Maka yang harus dilakukan adalah mengakhiri drama kesengsaraan ini dengan sistem Islam kafah bukan yang lain. []

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh Heni Ummu Faiz

Ibu Pemerhati Umat

Posting Komentar

0 Komentar