Kemiskinan, Takdir sebagai Korban Penguasa Neoliberal

 


Masalah kemiskinan bukan pertama kali dialami dan dihadapi bangsa ini, jauh sebelum covid-19 meradang negeri, taraf hidup masyarakat Indonesia sudah tergolong rendah.

Tercatat pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin mencapai 26,42 juta naik 1,63 juta terhitung dari September 2019 lalu

Data tersebut membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata dampak pandemi, pasalnya angka penduduk miskin kian bertambah meski negara ini belum terjamah covid-19.

Kemiskinan merupakan variabel permasalahan yang ada dalam ekonomi makro, artinya permasalahan ini memiliki agregat lebih besar dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa, namun dilain sisi, masalah ekonomi makro adalah  dampak tidak terselesaikannya permasalahan ekonomi mikro, seperti pengangguran, harga kebutuhan pokok tinggi, kesenjangan ekonomi, distribusi sumber daya alam tidak merata, birokrasi yang acak-acakan, dan masih banyak lagi. Maka singkat nya, syarat terselesaikannya permasalahan ekonomi makro adalah beresnya permasalahan ekonomi mikro yang menjamah negeri ini.

Namun apa jadinya, jika pemerintah yang memiliki otoritas tinggi dalam menyemai intervensi dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat justru memilki solusi yang agaknya kurang tepat.

Dikutip dari Antara news.com, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai program keluarga harapan (PKH) merupakan salah satu paket bantuan sosial yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan.

"Diharapkan untuk mengentaskan kemiskinan, karena itu paketnya juga bervariasi sesuai dengan kondisi keluarga," katanya usai meninjau program pemberdayaan dan peningkatan SDM keluarga penerima manfaat (KPM) PKH di Balkondes Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng, Rabu.

Lantas jika dikatakan bahwa cara ampuh mengentaskan kemiskinan adalah dengan memberikan dana bansos, apakah itu adalah solusi yang benar-benar ampuh dan tepat?

Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu jabarkan apa itu kemiskinan demikian pula penyebabnya sehingga pemerintah harus mengambil langkah serius dan tepat guna menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi dengan secepatnya.

Kemiskinan merupakan kondisi dimana masyarakat mengalami adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemasukan, sehingga menyebabkan kondisi kekurangan materi secara berkesinambungan, kemiskinan umumnya dialami oleh orang-orang yang memiliki pekerjaan namun upahnya tidak memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga, atau bahkan karena kehilangan pekerjaan. Sehingga dikatakan bahwa pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan” (Edi 

Suharto, 2009,138).

Dari sini kita mendapatkan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya sebagai akibat dari keterbatasan melainkan juga ketidakmampuan memiliki kesempatan untuk menaikkan taraf hidup lebih baik.

Penyebab kemiskinan yang pertama tentunya maraknya pengangguran, ketika suatu negara memiliki jumlah usia produktif yang melonjak setiap tahunnya namun tidak diiringi dengan adanya penambahan jumlah kesempatan dan lapangan kerja, maka yang terjadi adalah naiknya angka pengangguran secara signifikan dan berkesinambungan. Artinya jika bansos adalah langkah yang tepat, maka itu adalah kesalahan berfikir yang fatal, sebab hal itu bukan saja menyebabkan adanya defisit anggaran karena masyarakat terus di suapi bantuan namun tidak di iringi dengan upaya perbaikan kualitas sumber daya manusia sehingga dapat berdikari dan menghidupkan dirinya sendiri secara terus menerus maka dampaknya adalah tingkat ketergantungan yang tinggi, singkat nya pemerintah harus menyalurkan bansos sepanjang masyarakat belum mampu hidup sendiri. Ini adalah solusi yang tambal sulam, bukan mencari sumber masalah, justru memilih memadamkan hilir tanpa memperbaiki yang hulu.

Maka hal yang pertama yang musti dilakukan adalah memperbanyak lapangan kerja sehingga masyarakat dapat melanjutkan kehidupan lewat upah kerja yang dapat menunjang kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari, namun banyak diantara masyarakat yang terdampak miskin bukan karena semata-mata tidak bekerja melainkan kesenjangan antara kebutuhan dan pemasukan masih saja menghantui segenap para pekerja, pemerintah tidak boleh main-main dalam mengatasi permasalah pengangguran ini, pasalnya projek  "kartu pra kerja" yang diluncurkan tahun lalu bukan solusi yang tepat, dan hal ini tidak boleh terulang untuk dijadikan solusi mengatasi pengangguran.

Pemerintah yang bergaya kapitalis memang tak bisa lepas dari jerat-jerat setir para pemilik modal, imbasnya, pemerintah terlibat kerjasama yang saling menguntungkan oleh mitra dan instansi swasta yang membuka lapangan pekerjaan, namun di lain sisi masyarakat dirugikan, pasalnya APBN yang dianggarkan dalam pelaksanaan kartu pra kerja sangatlah besar, namun di satu sisi, masyarakat tidak merasakan secara langsung manfaat yang setimpal dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan, artinya adanya kesenjangan antara output dan input, sehingga kecurigaan semakin menghantui masyarakat, timbul pertanyaan dalam benak masyarakat, apa sebetulnya yang menjadi tujuan pemerintah melaksanakan projek kartu pra kerja, apakah untuk mensejahterakan dan menstabilkan angka pengangguran ataukah hanya menjadikan jalan kerja sama saling menguntungkan antara pemerintah dengan mitra?

KPK bahkan menemukan 4 hal kejanggalan terhadap projek pilpres 2019 pasangan kosong satu ini. Yang pertama permasalahan dalam proses pendaftaran yang tidak tepat sasaran, kemitraan dengan platform digital yang dinilai tidak transparan, materi pelatihan yang bisa diakses secara gratis di YouTube, hingga proses pelaksanaan yang terkesan fiktif pasalnya, lembaga pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih, selain itu peserta sudah mendapatkan insentif meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar keseluruhan pelatihan yang tidak diikuti peserta. Bahkan Topan Adnan Husodo selaku koordinator ICW menilai bahwa projek ini hanyalah akal-akalan pemerintah.

Lantas jika solusi pengangguran yang pernah ditawarkan rezim adalah nihil dan ironis, lantas bagaimana dengan solusi permasalahan ekonomi mikro lainnya yang belum juga terselesaikan.

Bukan hanya pengangguran, distribusi dan pengelolaan sumber daya alam menjadi komoditas pemenuhan kebutuhan primer masyarakat pun belum terlaksana dengan baik, bahkan dinilai amat buruk, bagaimana tidak? Negara dengan kekayaan alam melimpah seharusnya dengan mudah dapat menghindari masalah kemiskinan yang meradang penduduknya.

SDA dipandang sebagai berkah yang turun dari langit dan menjadi alat untuk membasmi kemiskinan, namun jika tidak diimbangi dengan pengelolaan 

yang baik. Akibatnya, mis-management dan korupsi yang lebih menonjol sementara kesejahteraan penduduk tidak pernah membaik. Dan hasilnya nihil. Demikianlah yang dialami Indonesia.

Negara ini memiliki potensi besar untuk menjadi penghasil komoditas pangan terbesar di Asia bahkan di dunia, dengan tanah yang subur dan strategis, seharusnya kualitas produksi pangan tak dikhawatirkan, namun anehnya, Indonesia justru memiliki ketahanan pangan yang buruk bahkan berada setelah Ethiopia yang tidak bisa dibandingkan, bahwa Indonesia tentunya lebih unggul dalam segala potensi alam.

Patut kita sadari, bahwa ada masalah sistem yang meradang negeri ini, Indonesia sebagai negeri agraris pun menjadi negeri impor beras terbesar di Asia tenggara, dan tercatat sebagai negara importir beras sejak lama bahkan pada tahun 2015-2018 jumlah impor pangan naik 2 kali lipat.

Selain di atas adalah bukti negeri memiliki sistem distribusi SDA yang acak-acakan, Indonesia pun memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi, lantas langkah nyata apa yang sudah pemerintah lakukan dalam mengatasi kemiskinan? Apakah SDA Indonesia tak cukup memadai? Sehingga kita harus mengalami kemiskinan yang kian menjamur tak terselesaikan? 

Namun di tengah ketidakberesan sistem tata kelola kebijakan kesejahteraan, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, menggemparkan seluruh jagat tanah air, apa pasalnya ia optimis mengandalkan bansos sebagai solusi tuntas mengatasi kemiskinan? Bahkan setelah korupsi bansos pandemi yang tak tanggung-tanggung, langsung di lahap oleh Mentri sosialnya sendiri? Apakah ini sebuah tanda bahwa akan ada kejadian terulang oleh orang yang berbeda?

Di tengah urusan birokrasi yang tidak becus di urus oleh pemerintah, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, pembangunan yang tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang tergolong rendah, pengelolaan SDA dan terlantarnya SDM produktif, dengan ringan mulut, atasi saja kemiskinan dengan bansos, apakah tidak ekstrem pernyataan ini di tengah keruwetan permasalah ekonomi yang dihadapi bangsa?

Jika kemudian terulang lagi kasus korupsi bansos, apakah masyarakat akan percaya bahwa upaya bansos adalah semata-mata demi mengatasi kesejahteraan rakyat bukan untuk memperkaya otoritas yang tidak bertanggung jawab? Jika seandainya pun kemudian tidak terjadi korupsi bansos namun birokrasi yang masih acak-acakan tak kunjung diperbaiki apakah yakin penerima bansos akan tepat sasaran dan merata?

Apabila bansos dilaksanakan secara berkesinambungan tidak diiringi dengan upaya pengembangan sumber daya manusia unggul dan penyediaan lapangan kerja, apakah pemerintah yakin bahwa ini tidak akan menyebabkan angka ketergantungan tinggi masyarakat dan timbul paradigma baru dengan mengandalkan bansos menjadi pemenuhan kebutuhan primer masyarakat?

Seandainya bansos dilakukan tanpa adanya pengelolaan sumber daya alam dan perbaikan distribusi, apakah negeri ini akan bertahan tanpa adanya penambahan utang luar negeri?

Maka kesimpulannya kemiskinan bukanlah hasil dari upaya pemerintah yang tidak optimal melainkan sistem kapitalis neoliberal yang menjamah  negeri membuat pemerintah tak kunjung fokus mengurus rakyatnya, dari projek kartu pra kerja yang ternyata dalil bantuan sosial hanyalah jalan akal-akalan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan, hingga bansos yang dijadikan solusi membantu mengasuh para terdampak pandemi masih saja menjadi celah untuk diambil keuntungan, hingga tak segan-segan untuk dikorupsi.

Jika kita tak segera bergegas mengganti sistem yang merusak negeri ini, entah sampai kapan kemiskinan menghantui segenap masyarakat tanah air.[]

Wallahu a'lam bisawab

Oleh Dian Fitriani

Posting Komentar

0 Komentar