Kritik Penegakan Hukum dalam Sistem Sekuler


 

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan upaya banding yang diajukan Direktur Keuangan Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018, Hary Prasetyo. Ia merupakan salah satu terdakwa kasus korupsi pengelolaan dana investasi Jiwasraya. Majelis hakim PT DKI meringankan hukuman Hary menjadi 20 tahun penjara yang sebelumnya divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Pengadilan membacakan isi putusan dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 20 tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000, jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 4 bulan, (Kumparan.com, 24/2/2021).

Majelis hakim pimpinan Haryono secara umum mempertimbangkan pembinaan yang berbasis pada pendidikan moral, intelektual dan kesadaran hukum karena setiap orang harus dipandang sebagai makhluk Tuhan yang berpotensi bisa diperbaiki, dibina, dan dikembalikan kepada kehidupan bermasyarakat dan bersosial serta diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, (cnnindonesia.com, 25/02/2021).

Dalam teori utilitas atau teori kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, suatu keputusan harus bisa menjadi instrumen koreksi dalam pribadi si Pelaku/Terdakwa/Terpidana serta merupakan jawaban dari keadilan responsif bagi masyarakat terutama menuju perbaikan tatanan moral dan tatanan sosial.

Berdasarkan dalil hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim yang telah memutus perkara diatas, maka ditemukan beberapa masalah hukum yang bisa membuktikan bahwa sistem peradilan di Indonesia nampaknya tidak mampu menerapkan hukum secara adil bagi semua pihak. 

Sebagai contoh kasus hukum terbaru, bagaimana hukum di Indonesia menetapkan kasus hukum secara searampangan dan tidak adil, terbukti pada kasus kerumunun HRS yang bukan hanya terkena sanksi administratif berupa denda senilai Rp 50 juta namun juga ditahan dengan dugaan melanggar protokol kesehatan Covid-19.

Meski peristiwa hukumnya sama, namun perlakuan bagi setiap orang di negeri ini terlihat jelas berbeda. Kasus kerumunan orang nomor 1 di Indonesia, Presiden Joko Widod di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maumere (bbc.com, 23/2/2021) meski telah dilaporkan namun ditolak Badan Reserse dan Kriminal Polri (Republika, 25/02/2021).

Terbukti, pemicu utama kerumunan tidak dipolisikan. Meski covid-19 Indonesia terus naik, pelanggar prokes makin banyak, penegakan hukum pada peristiwa hukum yang sama ditemukan memperoleh perlakuan yang berbeda. Pelanggaran prokes di markas efpei, ditindak tegas oleh pemerintah termasuk mencopot Kapolda Metro Jaya dan Jawa Barat. 

Namun pada kasus pelaggaran prokes di NTT dan Maumere, aparat yang seharusnya menegakkan hukum seperti layaknya kasus kerumunan yang menimpa HRS akan tetapi ditolak laporannya. Menurut Mantan Sekretaris Umum efpei, Munarman kasus kerumunan bersifat delik umum sehingga proses hukumnya harus menunggu inisiatif aparat. Dia pun menantang aparat penegak hukum untuk mengusut kerumunan yang viral tersebut.  Apalagi, pemerintah saat ini gencar memproklamirkan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk menunjukkan keadilan (Tempo, 24/2/2021). 

Secara terpisah, Iwan Setiawan epidemiolog Universitas Indonesia menjelaskan situasi zona merah kasus Covid-19 mengharuskan pejabat publik yang perilakunya ditiru masyarakat, untuk menunjukkan kepatuhan pada protokol kesehatan, Iwan melihat ada pejabat pemerintahan yang justru mengabaikan anjuran itu, (bbc.com, 25/02/2021).

Padahal pejabat pemerintah seharusnya menjadi teladan. Kalau mereka tidak memberikan contoh yang baik, masyarakat pasti keliru menerima pesan dan makna kebijakan pemerintah. Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan perlu diadakan forum khusus (previlegiatum) untuk bisa mengadili Presiden Joko Widodo terkait kerumunan NTT dan Maumere.

Hal itu diperlukan sebab pemidanaan pada kepala negara tidak dimungkinkan karena aparat yang ditugaskan adalah bawahan dari presiden. Adapun langkah yang bisa diambil untuk mengadili Jokowi adalah melalui tindakan politik ketatanegaraan, (cnnindonesia.com, 25/02/2021).

Forum khusus itu harus diawali dengan langkah DPR untuk menyatakan bahwa Jokowi diduga telah melanggar undang-undang. Dalam hal ini melanggar Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan oleh DPR. Jika DPR menyatakan demikian, permasalahan ini bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C soal kewajiban Mahkamah Konstitusi membuktikan kebenaran dugaan tersebut.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Jokowi bisa saja dipidana dalam kasus kerumunan selama masa pandemi Covid-19. Menurutnya aparat penegak hukum bisa langsung menindak Jokowi sebagai seorang individu yang melanggar Undang-Undang, seperti apa yang terjadi pada kasus HRS saat memunculkan kerumunan.

Ini merupakan wajah buruk pengakan hukum di Indonesia, dimana hukum hanya tegak bagi rakyat atau istilah tajam kebawah tumpul keatas, namun ketika pelanggaran dilakukan oleh penguasa, maka hukum tiba-tiba lemah dan tidak berdaya. Ragam dalil dikemukakan untuk membebaskan pelanggar prokes atas nama jabatan yang melekat pada dirinya. 

Artinya, hukum sekuler yang dianut negeri ini sungguh-sungguh pincang karena tidak memiliki kuasa untuk memidanakan pihak-pihak yang melanggar hukum dengan jelas. Hukum sekuler bisa diterjemahkan lemah, cacat dan tidak fungsional menghukum secara adil dan proporsional bagi semua pihak yang melanggar. 

Meski secara substansi, hukum seharusnya memilki wibawa menegakkan keadilan tanpa mengenal strata sosial dan kekuasaan seseorang, karena apabila hukum celah hukum bagi penguasa maka hukum menjadi lumpuh, dilemahkan dan perlu digantikan dengan sistem hukum yang lebih mempuni yang mampu memberi efek jera dan berkeadilan,

Sistem hukum yang berdasarkan pada asas keadilan bagi semua individu tanpa membedakan jabatan dan kekuasaan seseorang. Hukum yang dimaksudkan adalah hukum yang memang diproduksi dari satu-satunya pembuat hukum, yakni Allah Swt. Karena bila hukum didesain oleh manusia, maka konsekuensi yang timbul adalah keberpihakan dan ketidakadilan. 

Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat hanya satu. Keputusan pengadilan dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding dan peninjauan kembali.

Contoh implementatifnya, bagaimana sistem peradilan dalam Islam demikian adil meski yang berperkara saat itu adalah seorang kepala negara. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ketika Sayyidina Ali menjadi khalifah, ada seorang Yahudi yang memiliki baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah bajunya, maka Khalifah pun mengajukan kasus ini ke pengadilan. 

Meski kasus ini melibatkan Khalifah, tetapi Qadhi Suraikh yang bertugas memutuskan kasus tersebut tidak berpihak kepada Khalifah. Justru sang Qadhi memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi yang sebenarnya milik sang khalifah karena, khalifah Ali tidak bisa menunjukkan bukti dalam persidangan. Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan pemimpin, namun keadilan tidak memandang status seseorang, meski seorang kepala negara, keadilan tetap ditegakkan.

Oleh Rabihah Pananrangi


 

Posting Komentar

0 Komentar