Larangan Mudik Yang Mengusik

 


Larangan mudik yang ditetapkan pemerintah kembali menuai pro dan kontra.  Larangan mudik ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pada Jumat (26/3/2021). Berdasarkan keputusan rapat tingkat menteri (RTM), warga dilarang mudik mulai 6-17 Mei 2021. Larangan ini berlaku bagi seluruh ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, karyawan swasta dan seluruh masyarakat.

Kebijakan tersebut diambil selain untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19, juga untuk menyukseskan program vaksinasi yang digalakkan pemerintah. Selain itu, Muhadjir juga mengingatkan sebelum dan sesudah tanggal tersebut, masyarakat tidak diperkenankan melakukan kegiatan ke luar daerah.

Namun beberapa kalangan menganggap larangan ini tidak realistis. Relawan Covid-19, dr. Tirta Mandira Hudi melalui video yang dibagikan melalui akun twitternya @tirta_hudhi menyarankan agar kebijakan larangan mudik dievaluasi sebelum diimplementasikan. Mudik tidak bisa dicegah. “Jadi saran saya larangan mudik ini dievaluasi, lebih baik mengetatkan kebijakan pencegahan Covid-19 dengan koordinasi kepala daerah,” demikian cuitannya.

Pelaksanaan program vaksinasi dan turunnya angka Covid-19, turut menyisakan pertanyaan bagi masyarakat. Sebab jika larangan ini berlaku tahun lalu, masyarakat masih bisa memahaminya. Realitanya tahun ini berbeda dengan tahun lalu. Tahun ini, program vaksinasi sudah jalan dan angka penularan Covid-19 sudah menunjukkan tren menurun. Itu sebabnya kebijakan ini dianggap cukup aneh.

Lebih aneh lagi, jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah membuka pintu bagi wisatawan asing dan juga tempat-tempat wisata dengan protokol kesehatan. Di satu sisi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa peniadaan libur panjang untuk mudik Lebaran dilakukan guna menekan penyebaran Covid-19. Terlebih, momentum libur panjang memang rentan menyumbang kenaikan kasus Covid-19. Tetapi sebaliknya, di sisi lain, mulai bulan depan, pintu wisatawan mancanegara atau turis asing, khususnya dari Singapura bakal dibuka pemerintah. Pembukaan dimulai di Kepulauan Riau berdasarkan kesepakatan travel bubble antara kedua negara, dan diperluas hingga Bali. Terkait ini, Luhut mengatakan pembukaan kembali wisata dimungkinkan lantaran program vaksinasi saat ini tengah dilakukan pemerintah, termasuk di Bali.

            Kebijakan aneh ini pun dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan pelarangan mudik yang dibarengi dengan mendorong orang pergi ke tempat wisata, adalah dua hal yang bertentangan. "Mendua lagi ya. Kalau mendua terus ya sebenarnya tujuan larangan mudik apa sih. Mencegah penularan? Kalau mendorong pariwisata itu akan mendorong penularan," katanya, sebagaimana dilansir tribunnews.com.

Benarkah larangan mudik semata-mata untuk mencegah penularan? Pertanyaan ini pada akhirnya mengusik siapa saja. Mantan Menag, Lukman Hakim Saifuddin ikut angkat bicara. Dia menilai bahwa larangan mudik oleh pemerintah kurang tepat. "Mudik itu adalah ritual budaya yang sarat nilai dan semangat agama, yang dampak sosial dan ekonominya amat luas. Pengaturan mudik dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat akan jauh lebih maslahah dibanding melarangnya," tulis Lukman Hakim di akun twitternya.

Islam memang tidak memiliki tradisi mudik. Tetapi dalam ajaran Islam, silaturahmi adalah bagian dari perintah dari Allah swt. Silaturahmi dijadikan tolok ukur keimanan setiap Muslim. Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bersilaturahmi” (HR Bukhari). Dalam hadits yang lain banyak pula disebutkan tentang keutamaan bersilaturahmi.

Dan bagi kaum muslimin dimensi ukhrawi inilah aspek terpenting yang selalu ingin diraih. Rasulullah saw bersabda, "Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat." (HR Ibnu Majah).

Sementara ada hadits lain yang memberikan ancaman dosa bagi orang-orang yang memutuskan tali silaturahmi. "Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat daripada perbuatan zalim dan memutus silaturahmi." (HR Abu Daud).

Motivasi itulah yang kemudian melandasi terjaganya silaturahmi agar tetap dipelihara dan dipertahankan pada setiap lebaran tiba. Tentunya aktivitas ini tidak bisa digantikan dengan sekadar bertegur sapa secara virtual. Apalagi jika libur lebaran yang hanya 1 hari diganti dengan mendatangi tempat wisata. Sungguh ini adalah aktivitas yang tidak bernilai dalam pandangan seorang muslim.

Oleh karena itu akan lebih bijak jika pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakannya agar kaum muslimin tak lagi terusik saat ingin menjalankan ajaran agamanya. Tentu dengan tetap menjalankan prokes dengan kontrol ketat agar pandemi segera berakhir.



Penulis: Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar