Matinya Penegakan Hukum Dalam Demokrasi



Berbagai media online telah mewartakan bahwa Bareskrim Polri menyatakan enam orang Laskar efpei yang tewas dalam bentrok dengan polisi di Jalan tol Jakarta-Cikampek, pada Desember 2020, jadi tersangka. Banyak pihak yang resah dan bingung dengan penetapan seseorang yang telah meninggal sebagai tersangka.

Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan, secara proses hukum terhadap tersangka yang sudah meninggal dunia, mutlak harus dihentikan. "Untuk kasus yang tersangka sudah meninggal memang harus dihentikan. Karena siapa yang mau diadili? Kain kafan?" (jpnn, 04/03/21)

Semestinya polisi yang terlibat insiden penembakan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 itu yang harus diperiksa. Pemeriksaan terhadap hal tersebut bisa dilakukan oleh pengawas penyidik. jika tidak ditemukan kesalahan polisi yang bertugas di lapangan, kasus tersebut mutlak harus dihentikan. "Jika ditemukan kesalahan, maka si polisi di lapangan yang harus ditindak."

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai penetapan enam almarhum laskar efpei sebagai tersangka oleh pihak kepolisian bertentangan dengan aturan yang tertuang dalam Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Karena kematian atau meninggalnya seseorang menjadi alasan gugurnya atau menutup hak untuk menetapkan orang sebagai pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum. Salah satunya meninggalnya si tersangka atau seseorang yang akan ditersangkakan, (CNNIndonesia, 04/03/2021).

Menurut ketua tim advokasi Hariadi Nasution terkait kasus kematian enam anggota laskar efpei, tindakan polisi tersebut tidak sesuai aturan perundang-undangan. "Pernyataan polisi tersebut menempatkan dirinya di atas UU atau lebih tinggi dari UU (Tirto, 04/03/2021).

Kabareskrim Komjen Agus Andrianto mengungkapkan alasan keputusan polisi menetapkan enam anggota efpei sebagai tersangka. Agus mengungapkan bahwa harus ada pertanggungjawaban hukumnya.

Walaupun ditetapkan sebagai tersangka, polisi kemudian akan mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian penyidikan (SP3) karena tersangka meninggal dunia sesuai dengan Pasal 109 KUHP. 

Hasil investigasi Komnas HAM menegaskan bahwa dua anggota efpei tewas akibat baku tembak dengan polisi di KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Sementara, empat anggota lainya tewas saat sudah dibawa dan berada di mobil petugas. Komnas HAM menyatakan ada indikasi unlawfull killing atau pembunuhan yang terjadi di luar hukum terhadap empat orang tersebut.

Keputusan polisi menetapkan enam anggota efpei sebagai tersangka dan kemudian mengeluarkan SP3 merupakan bentuk upaya untuk melepas tanggung jawab atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan personelnya. 

Seakan-akan enam orang meninggal itu semua bersalah. Jadi supaya polisi tidak punya beban, tidak disalahkan, sementara dari pihak polisi yang harusnya menjadi pelindung masyarakat tidak ada tersangkanya, ini benar-benar dagelan kasus. 

Keputusan ini juga sebagai bentuk upaya polisi yang sedang melakukan pengalihan isu akan substansi masalah, dari fakta yang diungkapkan dalam rekomendasi Komnas HAM, yaitu dua orang anggota efpei meninggal dalam baku tembak, dan empat meninggal saat diamankan petugas polisi.

Polisi sedang melakukan pengalihan substansi perkara dari yang sebenarnya. Polisi tidak ingin dipandang sebagai pihak yang bersalah. Penetapan tersangka ini yang menekankan bahwa mereka semua bersalah padahal seorang yang meninggal tidak bisa ditetapkan tersangka.

Bukankah pada Pasal 77 KUHP ditegaskan bahwa wewenang untuk menuntut pelaku tindak pidana yang sudah meninggal dunia menjadi gugur? Logika yang ingin dibangun itu akan bersifat multiflier effect. Setidaknya ada 3 efek yang dimungkinkan diprediksikan terjadi atas penetapan seseorang yang telah meninggal sebagai tersangka, yaitu:

Pertama, penetapan seseorang yang sudah meninggal menjadi tersangka jangan dikira tidak punya makna. hal ini jika ditindaklanjuti oleh jaksa dengan deponering, maka perkara tidak akan berhenti di situ. Perkara bisa berlanjut pada pencarian tersangka baru atas keterangan saksi di persidangan atau bahkan di proses penyidikan pada tingkat kepolisian. 

Jika tidak diarahkan ke sana, lalu buat apa menetapkan seseorang yang sudah meninggal menjadi tersangka pada tahap penyelidikan? mestinya perkara ini dapat diberhentikan pada tahap penyelidikan tersebut, dan tanpa perlu ada penetapan seseorang yang sudah meninggal menjadi tersangka. patut diduga penetapan seseorang yang telah meninggal dunia dilatarbelakangi oleh upaya pencarian tersangka lain.

Kedua, tindakan penetapan tersangka terhadap seseorang yang telah meninggal dunia juga dapat menutupi perkara yang dapat dipakai untuk menghapus jejak lawan sebagai korban (victim) sehingga akan terlepas dari kemungkinan sebagai tersangka. Jadi, terkait dengan terbunuhnya 6 laskar efpei itu.

Dengan penetapan mereka sebagai tersangka maka dapat dipastikan para pelaku penembakan (yang waktu itu belum diketahui sebagai polisi) akan selamat dari tuduhan telah melakukan unlawfull killing atau extrajudicial killing terhadap 6 anggota laskar efpei. 

Hal ini terjadi karena hingga detik ini aparat kepolisian tetap menyatakan bahwa 6 anggota laskar efpei tersebut yang dituduh melakukan penyerangan kepada aparat (yang waktu kejadian sebenarnya belum bisa dipastikan aparat kepolisian), maka sah tindakan polisi untuk melakukan tindakan yang disebut "tegas dan terukur". 

Enam pengawal H*RS itu dijadikan tersangka karena melakukan penyerangan kepada anggota Polri. Keenamnya dikenakan dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Atas logika yang dibangun ini diharapkan nama dan kehormatan institusi kepolisian dapat diselamatkan.

Ketiga, penetapan 6 laskar efpei yang telah meninggal sebagai tersangka juga dapat digunakan sebagai dalih untuk memberikan citra baik kepada dunia internasional bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang benar terhadap pelaku kejahatan apalagi pelakunya ini tergabung dalam kelompok LSM yang dikenal "radikal", fundamentalis di bawah komando H*RS. 

Boleh jadi kesan kelompok radikal ini juga sebagai alasan pembenar atas tindakan aparat kepolisian dalam membunuh seseorang yang disebut sebagai terduga pelaku kejahatan. Terkesan seolah Indonesia telah melakukan perannya dengan baik dalam mendukung program Barat melakukan "war on terrorism" atau setidaknya "war on radicalism". 

Proses penyelesaian perkara ini di level dunia, yakni di Mahkamah Internasional akan sedikit terhambat pembuktiannya dengan adanya penetapan 6 anggota laskar efpei yang sudah meninggal sebagai tersangka. Peradilan yang dijalankan tanpa kebenaran dan keadilan (trial without truth and justice).

Berdasarkan fatkta diatas, Nampak bahwa hukum yang ditegakkan dalam sistem demokrasi demikian kabur dan ditafsirkan menurut kepentingan penguasa. Bukan hanya persoalan penetapana tersangka bagi orang-orang yang telah meninggal dunia cacat secara konstitusional  dan tidak manusiawi. Bukankah pembunuhan enam lascar efpei merupakan kasus pembunuhan diluar ranah hukum?

Namun, ini merupakan realiatas yang menyakitkan, dimana hukum dalam demokrasi makin memperjelas identitasnya dengan mudahnya menghilangkan nyawa orang lain tanpa proses hukum apapun sebelumnya. Makin jelas pula bahwa demokrasi sesungguhnya tidak punya pijakan hukum yang pasti bahkan cenderung absurd dan menzalimin. 

Situasi ini amat berbeda dengan sistem Islam. Penegakan hukum dalam Islam adil dan menyeluruh tanpa merugikan pihak manapun. Bahkan dalam Islam, satu nyawa yang tidak berdosa maka seolah-olah membunuh nyawa seluruh umat manusia, (TQS. Al-Maidah: 32). Nyawa dalam Islam begitu dilindungi dan dijaga serta tidak ada satupun sistem yang lebih holistik dibandingkan dengan sistem Islam. 

Dalam Islam sebagai tindakan preventif maka pembunuhan yang disengaja, Islam memberikan sanksi keras berupa hukuman qhisas untuk memberi rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan, namun apabila keluarga korban tidak menghendaki qhisah maka pihak keluarga bisa menuntut diyat atau denda pada pelaku pembunuhan berupa 100 ekor unta, 40 diantaranya dalam keadaan bunting.

Demikianlah mulia dan adilnya Islam dalam melindungi nyawa manusia. Karena sepanjang sejarah tegaknya daulah Islam sejak Nabi Saw di Madinah, kaum muslim mendapatan perlindungan yang luar biasa dan menciptakan ketentraman dan keadilan. Karena tidak ada setetes darah yang tumpah melainkan daulah hadir memberi pembelaan. Wallahu’alam bissawab.


Oleh Apri Hardiyanti, SH

Posting Komentar

0 Komentar